Garut, NU Online Jabar
Kemarin turut serta hadir di sebuah acara diskusi yang bertajuk “Merumuskan Peta Resolusi Konflik Paham Keagamaan” di salah satu hotel di Kabupaten Garut. Acara ini diinisiasi oleh Lakpesdam PWNU Jawa Barat dan Bimas Kantor Wilayah Kementrian Agama Jawa Barat.
Diskusi ini berjalan dengan sangat menarik. Berbagai narasi dan argumen berkaitan konflik keagamaan, wabil khusus yang terjadi di Kab. Garut, muncul saling bersahutan. Kebetulan peserta dari diskusi kali ini didominasi oleh lembaga dan badan otonom PCNU Kabupaten Garut. Ada dari Ansor, Fatayat dan Lakpesdam PCNU Kabupaten Garut.
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat, Prof Dr Bambang Q Anees memancing diskusi dengan melemparkan narasi jika dari dulu Garut itu merupakan laboratorium konflik baik yang bersifat keagamaan maupun politik. Isu-isu yang terjadi di Garut, kerap kali muncul ke permukaan nasional. Dan itu sudah terjadi sejak satu abad silam saat pemberontakan SI Afdeling B terjadi Garut tahun 1919.
Pancingan itu terbukti berhasil. Begitu dilempar, narasi-narasi lain ikhwal konflik faham keagamaan di Garut muncul disampaikan oleh para peserta diskusi. Terlebih tidak sedikit para peserta yang hadir ini berasal dari daerah-daerah di mana gesekan yang didasari faham keagamaan itu kerap kali muncul dalam keseharian masyarakat. Alhasil saya pribadi larut menjadi pendengar yang antusias untuk menyimak setiap kata yang disampaikan dalam diskusi itu. Sampai tiba giliran saya untuk turut serta menyampaikan arah pandangan berkaitan hal itu.
Dalam pandangan saya, tidak ada wilayah konflik yang berbanding lurus pada kesejahteraan masyarakatnya. Terbukti dalam catatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2022 ini Garut menempati posisi ke 25 dari 27 kota kabupaten se Jawa Barat. Artinya ke tiga terendah di Jawa Barat. Sedangkan variabel dari IPM ini meliputi pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Tentu ini menjadi ironi tersendiri.
Jika menilik kondisi itu, artinya kita harus sudah mulai mengubah arah peta penanganan, dari isu-isu gesekan keagamaan pada isu-isu strategis yang berkaitan langsung dengan arah kesejahteraan umat. Dalam hal ini saya kira kader-kader NU perlu merumuskan langkah di mana kita tidak lagi lagi direpotkan oleh isu-isu penanganan konflik keagamaan. Biarkan saja itu menjadi domain kewenangan pemerintah baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Selain menjalankan aktifitas-aktifitas keNUan sebagaimana mestinya, NU juga harus sudah mulai mengencangkan intensitas pada wacana-wacana strategis lainnya. Tentu sembari dibarengi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Nahdlatul Ulama. Toh dalam kacamata saya, potensi warga NU hari ini sudah sangat luar biasa.
Saya membayangkan jika suatu ketika nanti pemetaan konflik di NU itu sudah tidak melulu soal urusan gesekan antara faham keagamaan, tapi sudah bergeser pada isu-isu konflik ekspor-impor, pertambangan, ekonomi strategis, kajian-kajian ke BUMN an atau wacana politik-politik pemerintahan.
Bahkan lebih gila lagi, saya membayangkan suatu ketika nanti, ada kader NU yang menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), sebagai Menteri BUMN, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Direktur Pertamina, Direktur PLN dan lain sebagainya. Dan itu sangat mungkin terjadi ketika NU tidak lagi disibukkan dengan penanganan isu-isu keagamaan. Sebab bisa jadi dan tidak menutup kemungkinan kondisi itu semua sengaja diciptakan oleh sekelompok elite negeri yang tidak menginginkan kader-kader NU bergeser pada isu-isu strategis lainnya sebab takut lapaknya terancam. Alhasil NU terus menerus disibukkan dengan penangan isu-isu konflik keagamaan.
Gus Dur sudah mulai mendobrak itu semua. Gus Dur sudah berhasil meninggalkan satu titik capaian di mana NU tidak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat wacana keagamaan. Pemikiran-pemikiran strategis Gus Dur untuk bangsa ini tidak semata-mata urusan toleransi dan kesetaraan, tapi juga perjuangan kesejahteraan seluruh anak bangsa.
Imam Mudofar, Wakil Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Tasikmalaya