Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai salah satu pribadi kosmopolit yang menonjol di kalangan Nahdlatul Ulama. Kosmopolitanisme Gus Dur tidak cuma tercermin lewat pemikiran-pemikirannya yang kadang-kadang eklektis, kadang-kadang dianggap liberal; tapi juga terbaca melalui seleranya atas ekspresi musik dan kesenian.
Sebuah foto dari majalah Matra edisi Januari 1987 memotret Gus Dur sedang duduk di Toko Kaset Duta Suara, Jakarta Pusat. Mengenakan hem putih dan kaca mata berlensa tebal, Gus Dur tampak mencoba kaset pada tape meja. Di telinganya, melingkar headphones dengan kabel menjuntai. Ini barangkali foto Gus Dur paling ikonik yang menggambarkannya sebagai music aficionado.
Ia begitu menggemari musik-musik Janis Joplin yang psikedelik. Ia, sebagai orang yang pernah beberapa tahun tinggal di Kairo, mengagumi Ummi Kultsum dengan segala cengkok Mesir-nya yang khas. Di saat yang sama, ia juga menikmati gending-gending Jawa serta tembang macapatan. Dan sebagai santri tulen, Gus Dur takzim mendengarkan shalawatan langgam kampung.
Tapi yang paling terkenal, dan dianggap spesial oleh publik, adalah kegemarannya terhadap musik klasik. Orang-orang menganggap hal ini istimewa barangkali lantaran musik klasik kadung dikira musik elitis yang hanya dinikmati oleh kalangan borjuis yang sangat terbatas. Latar belakang Gus Dur sebagai anak kiai dari pedalaman Jawa Timur serta stereotip santri yang rural membuat selera macam itu seakan-akan sesuatu yang eksepsional.
Persentuhan Pertama
Dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), Greg Barton mengisahkan pertemuan Gus Dur kecil dengan seseorang bernama Williem Iskandar Bueller. Bueller adalah orang Jerman yang menetap di Indonesia dan kemudian memeluk agama Islam. Ia merupakan sahabat dari ayahanda Gus Dur, KH Wahid Hasyim. Saat itu, Gus Dur sering dititipkan di rumah Bueller sepulang sekolah.
Di rumah Bueller itulah, melalui piringan hitam yang diputar dengan gramofon, Gus Dur mulai mendengar “Simfoni No. 9”-nya Beethoven, “Eine Kleine Nachtmusik”-nya Mozart, atau “Konserto Brandenburg”-nya Bach. Ia terutama jatuh cinta kepada karya-karya Beethoven. “Gus Dur terpesona oleh musik Beethoven sejak hari pertama ia mendengarnya lewat gramofon Bueller,” tulis Barton (hlm. 39).
Yang menarik, berdasarkan uraian Barton, Bueller ditengarai merupakan homoseksual. Kiai Wahid barangkali mengetahui tentang hal ini, namun tidak begitu peduli. Mungkin baginya, kebaikan hati dan kesediaan Bueller untuk mengenalkan bahasa, literatur, dan musik Barat kepada anaknya lebih penting dibanding orientasi seksual sahabatnya itu.
“Walaupun diketahui luas bahwa Bueller seorang homoseksual, Wahid Hasyim sendiri tidak tahu akan hal itu ataupun juga tidak peduli. Namun demikian, Gus Dur tidak ingin menceritakan kepada ayahnya hal-hal buruk mengenai Bueller yang didengarnya dari supirnya,” catat Barton.
Kiai Wahid memang dikenal sebagai sosok kosmopolit yang sejak muda tertarik dengan ilmu pengetahuan Barat. Di kediamannya di Matraman, Jakarta Pusat—rumah yang saat ini digunakan untuk kantor Wahid Foundation—buku-buku dan majalah-majalah seperti berserakan pada tiap sudut. Sebagai ayah, ia sangat terbuka: mendorong anak-anaknya untuk membaca apa saja dan mendiskusikan ide-ide mereka dengannya.
Namun, selera musik Kiai Wahid tak seluas minat bacaannya. Cita rasa musiknya, sebagaimana dicatat Barton, “terbatas pada lagu-lagu Islam tradisional dan bacaan Al-Qur’an.” Bueller lah sosok pertama yang memperkenalkan dan membentuk orientasi musik Gus Dur yang mondial.
Beethoven di Istana dan di Hatinya
Ketika Gus Dur meninggalkan Istana Negara karena dilengserkan secara paksa, masih ada beberapa barang miliknya yang tidak ikut dibawa pulang ke Ciganjur. Situasi politik yang memanas dan keadaan yang serba mendesak menyebabkan proses pindahan dari Istana ke Ciganjur dilakukan secara cepat.
Gus Dur tak pernah menyesali apapun atas keluarnya dia dari Istana atau bahkan karena kehilangan kekuasaan. Hanya satu hal yang membuat ia menyesal atas peristiwa yang terjadi pada Juli 2001 itu:
“Kehilangan jabatan presiden bukan apa-apa buat saya. Saya lebih menyesal karena saya kehilangan 27 rekaman Simfoni No. 9-nya Beethoven,” ujar Gus Dur suatu kali, menceritakan tentang koleksi CD musik klasiknya yang tertinggal di Istana.
Pernyataan di atas bisa saja dipakai Gus Dur, seorang politikus cerdik, sebagai cara “ngeles” yang genial. Tapi membandingkan kehilangan kekuasaan dengan kehilangan rekaman Beethoven menandakan betapa musik klasik adalah bagian yang sangat istimewa dalam hidupnya.
Dan sebagai penikmat musik klasik, ia adalah pendengar yang serius, bahkan teramat serius. Seorang pendengar musik klasik kebanyakan akan dengan mudah mengenali judul atau penggubah dari suatu komposisi, tapi bisa mengetahui siapa pengaba yang membawakannya adalah persoalan lain. Gus Dur ada di maqam itu—ia sanggup mengidentifikasi siapa konduktor yang mengayunkan baton di balik sebuah karya.
Theodore Zeldin, sejarawan dan intelektual publik asal Inggris yang banyak menulis tentang sejarah mentalitas, mengisahkan sosok Gus Dur dalam The Hidden Pleasures of Life: A New Way of Remembering the Past and Imagining the Future (2015). Buku ini mengetengahkan refleksi historis tentang pergulatan, kepedihan, serta kesenangan tersembunyi umat manusia melalui beberapa tokoh dunia yang ia anggap unik dan berpengaruh.
Pada paragraf awal bab berjudul How can an unbeliever understand a believer? Zeldin memperkenalkan Gus Dur sebagai ulama tradisional yang “bisa mengenali konduktor sebuah simfoni Beethoven dengan hanya mendengarkan rekamannya” serta “seorang pecinta musik jazz sekaligus musik klasik dan film Prancis, dan berbagai karya sastra Eropa dan Amerika, sambil memiliki gairah terhadap sepakbola hingga pada titik bisa menggambarkan strategi alternatif untuk pembangunan ekonomi dengan membandingkan perbedaan gaya bermain klub-klub Jerman” (hlm. 107).
Kemampuan Gus Dur yang “bisa mengenali konduktor sebuah simfoni Beethoven” itu membutuhkan penghayatan musik yang intens dan saksama. Nada-nada yang ada dalam musik klasik, apalagi simfoni-simfoni Beethoven, lazimnya begitu kompleks dan rumit. Kompleksitas inilah yang kemudian ditafsirkan oleh para konduktor secara subjektif melalui penghayatan dan imajinasi musikal masing-masing. Gus Dur, dalam hal ini, sanggup menyelami dua lapis sekaligus: intensi sang komposer dan interpretasi sang konduktor.
Kala mengalami serangan stroke kedua pada 2003, Gus Dur sempat tak sadarkan diri selama beberapa hari. Setelah agak pulih, hal pertama yang ia minta adalah tape recorder untuk memutar CD Beethoven. Menurut Arifin Junaidi, Wasekjen PBNU saat itu, kesadaran Gus Dur pelan-pelan membaik selepas mendengarkan simfoni-simfoni karya komposer favoritnya itu. Kata-kata Greg Barton dalam Biografi Gus Dur seolah-olah meringkas semuanya: “Bueller dan piringan hitamnya telah membukakan kepadanya (Gus Dur) suatu dunia musik yang baru dan ia tidak mau kehilangan dunia baru ini.”
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Fathoni Ahmad
==========
Untuk menyambut “Bulan Gus Dur” pada tahun ini, Redaksi menayangkan serial tentang Gus Dur dan musik klasik. Serial ini disajikan oleh Ivan Aulia Ahsan, Pemimpin Redaksi NU Online.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/fragmen/gus-dur-dan-cintanya-yang-tak-pernah-lekang-kepada-musik-klasik-coKkj