Oleh Cep Herry Syarifuddin
Hidup manusia dengan limpahan anugerah ilahi yang tak terhingga merupakan tanda kasih sayang dan cinta Tuhan kepada hamba-hamba-Nya. Semua itu patut kita syukuri dengan mendaya gunakan semua nikmat tersebut untuk kemaslahatan umum hingga terciptanya harmonisasi kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Dalam interaksi sosial di manapun, sudah pasti kita akan menghadapi aneka ragam latar belakang baik pendidikan, sosial, budaya maupun geografis yang membentuk karakter yang berbeda satu sama lain. pada konteks inilah kita perlu memahami seni bergaul dengan siapapun agar kita bisa nyaman dan rileks menjalani kehidupan dengan berbagai problematika dan keunikannya.
Di antara ilmu seni bergaul tersebut, sebagian ulama salaf ada yang memberikan nilai-nilai penting dalam menyikapi ragam perilaku manusia yang sudah barang tentu tidak semuanya selalu sesuai dengan harapan kita. Nasehat-nasehat tersebut bisa kita simak dari untaian kata-kata mutiara berikut ini :
كُلُّنَا اَشْخَاصٌ عَادِيُّ فِيْ نَظْرِ مَنْ لَا يَعْرِفُنَا
“Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenali kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ رَائِعُوْنَ فِيْ نَظْرِ مَنْ يَفْهَمُنَا
“Kita semua adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ مُمَيِّزُوْنَ فِيْ نَظْرِ مَنْ يُحِبُّنَا
“Kita semua istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita.”
Pada penggalan nasehat ini kita diingatkan bahwasanya kita ini sesungguhnya bukan siapa-siapa di hadapan orang yang tak mengenali kita. Setinggi apapun jabatan dan kapasitas kita tidak akan diapresiasi oleh orang yang buta terhadap pribadi dan martabat kita. Karena itu kita harus ingat awal kejadian kita yang tercipta dari setetes air hina, lahir dalam keadaan bodoh dan tidak membawa apa-apa.
Terapkanlah selalu sikap rendah hati kepada siapapun. Jangan ingin selalu dihormati oleh siapa saja di mana kita berada. Jika sikap jumawa yang kita bawa, niscaya kita akan mudah merasa kecewa dan sakit hati yang berimpilikasi terhadap kondisi jasmaniyah dan batiniyah kita yang sakit, tidak bisa menikmati hidup secara semestinya.
Sangatlah wajar jika kita dihargai, dihormati, dan dipuja-puji oleh orang-orang yang memahami dan mencintai kita. Sebab mereka tahu latar belakang kita, bagaimana perjuangan dan pengorbanan kita untuk mereka. Maka tidak aneh jika kita akan selalu didukung lahir batin oleh mereka. Bahkan ada yang sampai rela mengorbankan nyawanya demi membela kita. Kendati demikian pada posisi ini kita tetap harus bersikap rendah hati, menghargai jerih payah mereka, memperhatikan kesejahteraan hidup mereka. Jangan pernah mabuk pujian atau gila hormat. Karena akan berjuang kepada kehinaan dan penyesalan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ اَحَدٌ لِلّهِ اِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu (rendah hati) karena Allah, niscaya derajatnya akan diangkat olehNya. (H.R.Muslim)
Dalam hadits lain diajarkan:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلّهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena Allah, niscaya ia akan diangkat derajatnya oleh Allah dan barangsiapa tinggi hati, niscaya ia akan direndahkan derajatnya oleh Allah Ta’ala.” (H.R. Abu Nu’aim).
Kepingan nasehat berikutnya adalah :
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ مَغْرُوْرُوْنَ فِيْ نَظْرِ مَنْ يَحْسُدُنَا
“Kita semua adalah pribadi yang menjengkelkan dalam tatapan orang-orang yang penuh kedengkian.”
كُلُّنَا اَشْخَاصٌ سَيِّنُوْنَ فِيْ نَظْرِ مَنْ يَحْقِدُ عَلَيْنَا
“Kita semua adalah orang-orang jahat dalam tatapan orang-orang yang iri kepada kita.”
لِكُلِّ شَخْصٍ نَظْرَتُهُ ، فَلَا تَتْعَبْ نَفْسَكَ لِتُحْسِنَ عِنْدَ الْأَخَرِيْنَ
“Pada akhirnya setiap orang memiliki pandangannya masing-masing, maka tak usah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain.”
يَكْفِيْكَ رِضَا اللهِ عَنْكَ ، رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ
“Cukuplah dengan ridha ALLAH bagi kita. Sungguh, mencari ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tergapai. “
وَ رِضَا اللهِ غَايَةٌ لَا تُتْرَكُ . فَاتْرُكْ مَا لَا يُدْرَكُ وَادْرَكْ مَالَا يُتْرَكُ
“Sedangkan ridha ALLAH adala dstinasi (tujuan) yang pasti sampai. Maka tinggalkanlah segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridha ALLAH.”
Kebalikan dari fenomena sosial sebelumnya adalah kita pasti akan menemukan orang atau kelompok yang tidak menyukai kita. Mereka bisa berarti saingan atau rival kita, atau siapa saja yang tidak happy dengan capaian prestasi yang kita raih, fasilitas kehidupan yang kita nikmati, derajat yang tidak bisa mereka jangkau. Otomatis hal itu menjadikan mereka hasud (iri dengki) terhadap kita. Di mana kedengkian itu adalah menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang yang dibencinya. Dan penyakit ini merupakan penyakit sosial yang berbahaya. Sehingga Allah Ta’ala mengajarkan kita agar mewaspadai para pendengki apabila ia menjalankan kedengkiannya (wa min syarri haasidin idzaa hasad).
Menyikapi para pendengki atau pembenci ini, kita diajarkan oleh para ulama salaf untuk tetap rileks. Anggaplah sebagai suatu kewajaran dan keniscayaan dalam hidup yang tidak bisa kita hindari. Sebab dalam hidupnya, seseorang pasti akan menjumpai dua kelompok orang yakni kelompok yang pro dan kelompok yang kontra kepada kita. Ada kawan dan ada lawan. Tidak mungkin semua orang akan mencintai dan mendukung kita. Pasti saja akan ada orang atau komunitas yang senantiasa mencari-cari kesalahan kita, menunggu kapan kita terpleset, nyinyir terhadap perkataan dan gerak langkah kita, nyinyir terhadap pemikiran dan kebijakan kita. Pepatah Arab mengatakan :
لَا يَخْلُوْا الْمَرْءُ مِنْ وَدُوْدٍ يَمْدَحُ اَوْ عَدُوٍّ يَقْدَحُ
“Senantiasa orang itu tidak akan terlepas dari pencinta (pendukung) yang senantiasa memuji dan musuh yang senantiasa mencaci.”
Maka jangan heran jika dalam setiap sisi kehidupan ada orang-orang yang mengapresiasi eksistensi dan dedikasi kita, tapi di sisi lain ada yang sentimen terhadap pencapaian kita. Karena orang yang sentimen itu akan senantiasa menganggap buruk terhadap kebaikan dan prestasi yang kita torehkan, apalagi jika kita melakukan kekhilafan sebagaimana layaknya manusia yang tidak mungkin sempurna, sudah pasti kekhilafan itu dijadikan peluru untuk menyerang dan menjatuhkan kita. Maka janganlah dimasukkan ke dalam hati sikap-sikap menyebalkan dari para pendengki tersebut. Dan jangan pula kita berpretensi agar bisa menaklukkan hati semua orang untuk mendukung dan mencintai kita. Karena langkah itu adalah sebuah kesia-siaan. Pepatah Arab menuturkan :
رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ
“Mencari ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai. “
Kita bisa melihat dari kehidupan Rasulullah saw. Kurang apa indahnya akhlaq Nabi, Kurang saleh bagaimana pribadi beliau, kurang mulia apa kedudukannya di sisi Allah. Namun Tidak semua manusia mencintai dan mengagumi beliau. Tetap saja ada golongan yang selalu membenci, mencaci bahkan hendak membunuhnya, golongan orang munafik dan orang-orang kafir. Ini level Rasulullah saw, apalagi level kita yang tidak ada apa-apanya. So pasti akan lebih banyak yang membenci daripada yang mengagumi kepribadian kita.
Namun jangan khawatir, selama apa yang kita ucapkan dan kerjakan itu selaras dengan tuntunan Allah dan RasulNya, jangan takut dengan halangan dan rintangan dari mereka yang tidak menyukai kita. Teruslah istiqomah (konsisten) dalam melakukan dan memperjuangkannya. Ingatlah bahwa rahmat Allah itu senantiasa menyertai orang-orang yang senantiasa berniat dan berbuat baik, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :
اِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang yang bertujuan dan berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut : 69).
Alhasil, agar hidup kita bahagia, nyaman dan tidak dipenuhi kekecewaan, kita harus menetapkan tujuan hidup kita adalah menggapai ridho Allah, bukan ridho manusia. Ridho Allah itu pasti bisa kita gapai, sedangkan ridho manusia tujuan yang absurd, penuh fatamorgana dan sulit dicapai. Ridho Allah itu memuaskan, menenteramkan dan menyelamatkan, sedangkan ridho manusia itu melelahkan, mengecewakan, dan menipu daya.
Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim Mekarsari Cileungsi Bogor
https://jabar.nu.or.id/taushiyah/menyikapi-ragam-tipe-manusia-rrg6N