Oleh: Dodo Widarda
Gus Dur dan Beethoven memiliki hubungan unik dalam musik. Gus Dur adalah seorang kiai serta Beethoven merupakan seorang komposer ‘terbaik’ yang pernah ada dalam sejarah. Gus Dur adalah penikmat dari Simponi ke-9 Beethoven, serta banyak yang menjadi saksi, bahkan sampai menjelang wafatpun, Gus Dur minta diputarkan inovasi simponi terbesar dari musisi yang hidupnya berakhir tragis itu.
Kecintaan Gus Dur pada karya Sang Maestro, tentu sesuatu yang tidak lazim di dalam tradisi pesantren karena masih ada ikhtilaf di dalam memandang seni musik. Bagi sebagian komunitas pesantren, komposisi musik adalah ramuan bunyi dari alâtul malâhî (instrument musikal) yang bisa membuat seseorang lupa pada Allah. Sementara ada para ulama seperti Imam Al-Ghazali, baik di dalam “Ihya” maupun “Kimiâus Sa’âdah” yang menulis tidak adanya larangan baik dalam Alquran maupun Hadits terhadap musik.
Imam Ghazali, di dalam “Kimiâus Sa’âdah” malah lebih jauh mengungkapkan sebuah hadits tentang Rasûlullâh yang bersama Siti Aisyah, menonton konser musik di selasar mesjid. Pada suatu hari raya, demikian hadits itu, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, “Inginkah dirimu melihatnya?” Aku menjawab, “Ya.” Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang penuh rahmat, dan dalam waktu lama, aku menikmati pertunjukan itu, sehingga berulang kali beliau berkata, “Belum cukupkah?” Dengan status halal untuk musik-musik yang dipertunjukkan sebagai ekspresi manusiawi wajar dan sama-sekali bukan untuk melupakan Allah seperti dalam hadits yang di kutip “Hujatul Islam”, memberi ruang apresiasi terhadap kebutuhan manusia dengan kecenderungan untuk mencintai keindahan. Allah sendiri mencintai ekspresi keindahan seperti dalam hadits,”Allah itu indah, dan mencintai keindahan.”.
Kalau manusia tidak tersentuh hatinya oleh keindahan, pasti ada sesuatu yang salah serta bermasalah pada jiwanya karena bertentangan dengan sifat Allah dalam hadits tersebut.
Mencintai komposisi musik dari sebuah karya besar Ludwig van Beethoven yang bertempo lambat, namun mampu menggugah ‘kedalaman’ rasa serta membangkitkan vitalitas hidup, tentu saja tidak akan bertentangan dengan aturan fiqih. Jenis musik seperti ini halal untuk bisa diapresiasi, dimaknai, serta sekaligus dihayati. Jika Gus Dur mencintai Simponi ke-9 Beethoven karena berbagai kriteria unggul dalam komposisinya sebagai sebuah karya puncak yang diaransemen ketika Beethoven dalam kondisi tuli, adalah sesuatu yang wajar. Dalam keterbatasan fisik, Beethoven mampu menggubah sebuah karya puncak yang memberi polesan orkestrasi musikal yang magis terhadap sejarah dunia. Sementara Gus Dur–maaf–dengan keterbatasan penglihatan mata lahir, mampu mencapai puncak tertinggi di dalam kepemimpinan dengan menjadi presiden di negeri Indonesia ini (22 Okotober 1999-23 Juli 2001).
Masalah Gus Dur lengser dari posisi presiden itu adalah masalah lain terkait lemahnya dukungan parlemen karena PKB dengan 8% serta PDKB dengan 3% suara, dilihat dari logika manapun, sangat susah untuk mempertahankan Gus Dur dari ‘pemakzulan’ berhadapan dengan 89% suara parlemen mayoritas, yang berkehendak melengserkan Gus Dur.
KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur dengan Ludwig van Beethoven, adalah orang-orang mampu melakukan ‘dialektika in persona’: bergulat dengan tentangan-tantangan dialektis dari diri sendiri. Ketika usia sudah diambang senja, serta daya tahan fisik sudah berkurang, maka kekuatan rohanilah yang membuat seseorang mencapai puncak prestasi tertinggi dalam hidupnya.
Penulis adalah staf pengajar UIN Bandung
https://jabar.nu.or.id/opini/antara-gus-dur-dan-simponi-ke-9-beethoven-YSNcp