Desember sering disebut sebagai bulan Gus Dur khususnya oleh warga Nahdliyin. Pasalnya, tokoh yang memiliki nama lengkap KH Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden RI ke-4 (1999-2001), dan Ketua Umum PBNU (1984-1999) itu wafat pada 30 Desember 2009.
Mengingat semasa hidupnya Gus Dur banyak memberikan sumbangsih pemikiran-pemikiran yang humanis, moderat, serta berpandangan jauh ke depan, maka dengan mengenangnya merupakan bagian dalam menghadirkan kembali Gus Dur di tengah-tengah kehidupan kita.
Dari Gus Dur, kita banyak belajar bagaimana cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang baik. Dari Gus Dur pula kita dapat mengerti dan memahami bagaimana pentingnya hidup rukun dan damai di tengah-tengah keberagaman budaya, ras, etnik, golongan, dan agama yang ada. Oleh karena itu, menjadi momen yang tepat bagi kita saat ini untuk kembali merefleksikan perjalanan hidup dan pemikiran-pemikirannya.
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940. Ia merupakan cucu salah seorang pendiri NU KH Hasyim Asy’ari (1871—1947) dan putera KH A Wahid Hasyim (1914-1953) yang pernah menjabat ketua Tanfidziyah NU ke-5 dan menteri agama di era presiden Soekarno. Ketajaman berpikir Gus Dur dipengaruhi oleh pengembaraan pendidikannya.
Ia banyak belajar dari pendidikan pesantren di Indonesia dan pendidikan tinggi di berbagai negara seperti Mesir, Irak, dan Belanda.
Dalam buku “Ideologi dan Gerakan Politik Islam di Indonesia dari NU hingga Syiah” (Ken Miichi: 2022) disebutkan meskipun Gus Dur tidak memiliki ijazah pendidikan formal di perguruan tinggi, Gus Dur berhasil memaknai ulang pemikiran-pemikiran asing ke dalam konteks Keindonesiaan. Bahkan berbagai jenis buku Arab dan Eropa (Freire, Satre, Habermas, dan Foucault) yang dibawanya ke Indonesia banyak dijadikan inspirasi oleh kalangan-kalangan intelektual NU pada dekade 1980-an dan 1990-an.
Dalam rangka mempublikasikan pemikiran dan gagasan terkait permasalahan agama, sosial, dan bangsa, Gus Dur sering menulis di surat kabar Kompas, Tempo, dan majalah Prisma terbitan LP3ES, dan sebagainya. LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) merupakan lembaga kajian intelektual atau semacam ruang diskusi para tokoh intelektual dan mahasiswa yang dibentuk di awal periode kepemimpinan presiden Soeharto yang fokus menyoroti permasalahan pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia.
Gus Dur juga pernah menjadi pemimpin editor “Wawasan” terbitan LSP (Lembaga Studi Pembangunan) sebuah publikasi ilmiah yang mencari jalan alternatif pembangunan.
Sebagai sosok yang berpengalaman dan cakap dalam menterjemahkan pemikiran-pemikiran pemikir Islam dan Barat, maka wajar jika dalam sepak terjangnya Gus Dur kadangkala memiliki statement yang irasional, kontroversial, namun tetap masuk akal.
Dalam ungkapan KH Husein Muhammad (Mustasyar PBNU), Gus Dur itu melampaui. Ia hadir dengan pikiran dan gagasan yang mengagumkan, cemerlang, mencerahkan, dan sekaligus mengguncang publik, dengan caranya sendiri yang unik, eksklusif, dengan menembus ruang-ruang tradisi yang kadang penuh misteri.
Sementara, Bisri Effendy (1953-2020) seorang budayawan, peneliti, sekaligus inspirator intelektual warga NU (baca: Nahdliyin) bahkan pernah berseloroh. Satu tambahan dari tiga ‘misteri hidup yang hanya diketahui Tuhan”, yaitu “kelahiran, jodoh, kematian, serta Gus Dur”. Gus Dur pun merupakan sosok cendekiawan misterius, seperti halnya rahasia Tuhan yang tidak diketahui manusia, bahkan oleh kelompoknya sendiri, yaitu NU dan pesantren. (Pengantar dalam buku Gus Dur “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, 1999: LKiS Yogyakarta).
Itulah Gus Dur, tokoh inspiratif yang pemikirannya banyak menginspirasi generasi-generasi bangsa sesudahnya. Namun, karena keluasan daya berpikirnya yang hebat dan sulit dicerna, kadang ia kontroversial namun tetap masuk akal. Beberapa pemikirannya yang kontroversial di antaranya adalah ide penggantian ucapan assalamualaikum dengan selamat pagi.
Kontroversial
Siapapun orangnya (umat beragama Islam), baik yang taat maupun yang tidak taat pasti akan terhenyak dan emosi jika simbol identitas Islam dilecehkan. Ide ‘gila’ apa dan dari mana sumber inspirasi pemikiran Gus Dur sehingga berani mencoba untuk mensejajarkan, menyetarakan, bahkan mempergantikan ucapan assalamualaikum dengan ucapan selamat pagi maupun dengan sejenisnya.
Sebagaimana diketahui, di tengah kecenderungan umat melakukan “Islamisasi kata dan bahasa” Gus Dur malah menjadi inisiator agar ucapan assalamualaikum diganti dengan ucapan selamat pagi atau ucapan sejenisnya. Dengan wacana seperti itu, sakralitas simbolisasi Islam jelas tereduksi dari ruhnya. Bagaimana tidak tereduksi, ucapan yang selama ini sarat dengan nilai dan makna yang mendalam disejajarkan dengan ucapan yang biasa-biasa saja.
Bukan Gus Dur namanya kalau tidak kontroversial. Atas pemikirannya yang menghebohkan itu, pada tahun 1989 di Ponpes Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, Gus Dur diadili oleh sekitar 200-an kiai. Tampil sebagai inisiasi ‘pengadilan’ dan ‘penggugatan’ atas pemikiran kontroversialnya Gus Dur adalah KH Fuad Hasyim (Buntet Pesantren), KH Ayip Usman (Kempek), Kiai Ibnu Ubaidillah dan Kiai Chozin Nasuha.
Pada waktu itu, para ulama sepakat meminta Gus Dur agar mempertanggung jawabkan atas pernyataan-pernyataan, pandangan-pandangan, dan langkah-langkahnya yang disinyalir menggelisahkan dan menggeramkan publik, termasuk para kiai terkait dengan isu-isu keagamaan. Salahsatu yang diminta pertanggung jawaban yakni permasalahan yang sedang dibicarakan pada tulisan ini.
Hanya dengan penyampaian yang lugas, berbobot, sedikit canda tawa namun penuh arti, Gus Dur meyakinkan dan membuat kagum para peserta ‘sidang’ untuk percaya dengan apa yang telah dipikirkannya. Sembari menyampaikan pandangannya terkait dengan situasi nasional dan internasional saat itu khususnya dalam perpolitikan, Gus Dur pula menyampaikan terkait dengan tradisi kajian di pesantren yang menurutnya harus mempunyai metodologi dan kontekstualisasi dalam membaca zaman, termasuk di dalamnya membaca permasalahan agama, sosial, budaya, maupun politik dalam tatanan lokal, global dan internasional.
Jika kita cermati bersama, pernyataan Gus Dur yang kontroversial itu seolah mendapatkan jawabannya sendiri. Bagaimana kita saksikan di ruang-ruang publik saat ini (dunia nyata dan maya) ucapan-ucapan semisal Insyaallah, Astagfirullah, Alhamdulillah sudah menjadi bagian yang tidak hanya diucapkan oleh orang muslim saja, melainkan juga oleh non-muslim.
Banyak acara-acara reality show (hiburan) yang diperankan oleh para artis-artis non-muslim, dengan gamlang dan tak canggung mereka mengucapkan ucapan yang mengandung simbolisasi Islam. Terlebih lagi dengan ucapan-ucapan simbolisasi Islam lainnya yang dipakai dalam suasana demo anarkis. Dengan realita seperti itu seolah menjadikan sebagian identitas simbolisasi Islam sudah tidak sakral dan transenden lagi.
Boleh jadi, berdasarkan realita semacam itulah kemudian menginspirasi Gus Dur untuk sedikit memberi solusi bagaimana agar identitas simbolisasi Islam itu tetap terjaga dan tetap dimiliki oleh orang Islam itu sendiri.
Ketajaman berpikir Gus Dur dalam mengetahui permasalahan-permasalahan yang akan datang seolah memberikan pesan kepada kita akan kecerdikan Gus Dur. Pemikiran Gus Dur selama ini, seakan memberikan pelajaran berharga bagi kita yang timbul dari seorang intelektual yang sangat peka terhadap permasalahan-permasalahan krusial dalam hal membaca masa depan.
Gus Dur telah memberi arah kepada kita, meskipun pelik namun jelas, bagaimana agar permasalahan-permasalahan yang menyangkut dengan kesakralan simbolisasi Islam dapat tetap terjaga dengan baik.
Selamat berbahagia Gus. Anda tetap tenang di alam sana. Pemikiran dan warisan intelektual yang telah kau sumbangkan selama ini Insyaallah akan menjadi amal jariah yang terus mengalir pahalanya. Aamiin.
Wallahualam
Rudi Sirojudin Abas, penulis adalah pengagum Gus Dur
https://jabar.nu.or.id/tokoh/mengenang-gus-dur-kadang-kontroversial-namun-masuk-akal-5nzgj