Banyak lembaga jasa keuangan hari ini yang berusaha mengembangkan produk multijasa dengan menawarkan pembiayaan syariah pendidikan anak nasabahnya.
Misalnya, Bank Syariah Indonesia (BSI) yang memperkenalkan pembiayaan dengan akad murabahah investasi. Pembiayaan ini dilakukan dengan introduksi akad jual beli antara bank dan nasabah dan disertai dengan tujuan investasi.
Sebenarnya produk ini cukup menggelitik bagi penulis karena melibatkan akad murabahah yang umumnya dilekatkan dengan akad jual beli (bai’). Apalagi dalam produk itu disertai motif investasi. Dalam benak penulis, apanya yang diperjualbelikan?
Namun, kiranya untuk sementara penulis tidak akan mengupas produk BSI tersebut. Penulis akan mengupas pada produk yang kurang lebih serupa, yaitu pembiayaan pendidikan. Bagaimana takyif fiqihnya (sistematika akad fiqihnya)? Apa obyek akadnya? Dan bagaimana agar pihak Lembaga Keuangan Syariah tetap mendapat untung sehingga kasnya (cash-flow) tetap berjalan?
Latar Belakang dikeluarkannya Produk
Latar belakang dikeluarkannya produk pembiayaan pendidikan umumnya, adalah:
- Nasabah sudah mendaftarkan anaknya di Perguruan Tinggi (PT);
- Nasabah tidak punya uang untuk membayar SPP tepat waktu;
- SPP berpengaruh terhadap bisa atau tidaknya anak untuk mengikuti kegiatan perkuliahan di semester itu;
- Nasabah meminta bantuan kepada LKS guna menalanginya.
Bagaimana caranya LKS memperlakukan nasabah ini dan mengatasi persoalannya?
Kedudukan SPP dalam Fiqih
SPP merupakan uang rutin yang harus dibayarkan oleh wali mahasiswa setiap awal semester. Ini merupakan sebuah kemafhuman. Pertanyaannya, apa status SPP itu dalam fiqih?
Fakta yang berlaku di lapangan mengindikasikan, bahwa seorang mahasiswa tidak bisa mengikuti kegiatan perkuliahan di semester itu apabila ia belum membayar SPP. Bahkan ada PT yang menyampaikan ketentuan dengan tegas, bahwa bagi mahasiswa yang tidak membayar SPP maka ia harus mengajukan terminal. Maksudnya, mahasiswa itu tidak dihitung sebagai mahasiswa aktif dan bisa menerima jasa pendidikan PT di semester itu serta boleh mengikuti perkuliahan di semester berikutnya dengan syarat yang sama, yaitu membayar SPP.
Berdasarkan fakta ini, maka secara syara’ SPP berlaku sebagai upah sewanya nasabah (ujrah) ke lembaga bersangkutan (PT). Nasabah sendiri berkedudukan sebagai penyewa (musta’jir).
Jasa PT dan elemen penyusunnya berperan menempati derajatnya al-‘ainul musta’jarah (obyek barang yang disewa). PT dan elemen penyusunnya merupakan badan hukum (syakhshiyah i’tibariyah) dan berlaku sebagai mu’jir (pihak yang menyewakan jasanya).
Pengalihan Manfaat PT oleh LKS ke Nasabah
Memandang bahwa PT dan elemen penyelenggaranya sebagai al-‘ainul musta’jarah dan jasa pendidikannya merupakan manfaat yang dikehendaki dalam akad sewa jasa (ijarah), maka hak pemanfaatan PT dan elemen penyelenggaranya tersebut bisa dialihkan penerimanya kepada pihak lain, baik dengan jalan disewakan ulang atau dihibahkan.
مَن مَلَكَ مَنفَعَةً بِالِاسْتِئْجارِ، مَلَكَ نَقْلَها إلى غَيْرِهِ بِعِوَضٍ أوْ بِغَيْرِهِ
Artinya, “Pemilik manfaat akibat penyewaan, memiliki hak mengalihkan manfaat itu kepada pihak lain, baik dengan ganti (harga) atau tidak.” (Abu Zakaria Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1991], juz V, halaman 14).
Dalam kasus di atas, pihak nasabah tidak punya uang untuk membayar SPP semester. Dengan demikian ia tidak bisa menyewa. Karenanya ia membutuhkan jasa LKS agar membantunya mendapatkan jasa PT dan perangkatnya tersebut dengan jalan nasabah akan menyewanya dari LKS untuk diri nasabah. Apabila LKS setuju dengan usulan nasabah, maka selanjutnya LKS itu bisa berlaku sebagai penyewa (musta’jir) PT dan perangkatnya.
Sebagai pihak yang telah menyewa, maka LKS dapat menyewakan hak pemanfaatan syakhshiyah i’tibariyah PT dan perangkatnya tersebut ke nasabah.
Jadi, dalam hal ini, logikanya adalah sama dengan LKS menyewa sepeda kepada seseorang, kemudian sepeda itu disewakan lagi oleh LKS kepada nasabahnya. Sesederhana itu.
Namun, timbul pertanyaan, yaitu apakah boleh apabila harga sewa ulang itu diambil lebih tinggi dari harga sewa aslinya?
Harga Sewa Kedua lebih Tinggi dari Harga Sewa Awal
Ensiklopedi Fiqih Kuwait menyampaikan rangkuman pendapat para fuqaha salaf sebagai berikut:
جُمْهُورُ الفُقَهاءِ (الحَنَفِيَّةِ والمالِكِيَّةِ والشّافِعِيَّةِ والأْصَحُّ عِنْدَ الحَنابِلَةِ) عَلى جَوازِ إيجارِ المُسْتَأْجِرِ إلى غَيْرِ المُؤَجِّرِ الشَّيْءَ الَّذِي اسْتَأْجَرَهُ وقَبَضَهُ فِي مُدَّةِ العَقْدِ، ما دامَتِ العَيْنُ لاَ تَتَأثَّرُ بِاخْتِلاَفِ المُسْتَعْمِل، وقَدْ أجازَهُ كَثِيرٌ مِن فُقَهاءِ السَّلَفِ، سَواءٌ أكانَ بِمِثْل الأْجْرَةِ أمْ بِزِيادَةٍ
Artinya, “Jumhur fuqaha (Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah serta qaul ashah dari kalangan Hanabilah) menyatakan bolehnya pihak penyewa menyewakan lagi barang yang telah disewa dan diterimanya kepada pihak selain yang menyewakan selama masih dalam batas perjanjian durasi ijarah penyewa pertama, dengan catatan selama obyek sewa tidak berbeda cara pemanfaatannya. Mayoritas fuqaha salaf membolehkan hal ini, baik dengan harga sewa yang sama atau dengan harga sewa yang lebih besar.” (Majmu’atul Muallifin, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wazaratul Auqaf was Syuun Al-Islamiyah:1427], juz I, halaman 267).
Alhasil, jawabannya adalah boleh bagi LKS untuk memungut upah sewa lebih tinggi dari upah sewa yang didapatnya dari PT.
Kiranya, selisih upah sewa inilah yang kemudian menjadi ruang bagi LKS untuk mengambil untung (ribhun) lewat kasus pembiayaan pendidikan di atas. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.