Sebagai sebuah konsep, demokrasi memiliki arti yang luas dan terdiri dari beberapa komponen yang rumit. Demokrasi adalah proses politik, sistem pemilihan pemimpin politik. Warga negara memiliki kemampuan untuk memilih salah satu pemimpin politik yang bersaing (David Lechmann, 1989).
Demokrasi adalah kesempatan untuk memilih di antara para pemimpin politik selama masa pemilihan ini. Dengan kata lain, dapat ditunjukkan bahwa demokrasi adalah suatu jenis struktur kelembagaan untuk membuat pilihan politik, di mana orang memperoleh kewenangan untuk membuat keputusan dengan memperebutkan suara.
Namun, proses persaingan harus diatur oleh prinsip-prinsip normatif yang mendukung stabilitas sosial. Etika politik harus dilestarikan dalam demokrasi. Gagasan liberalisasi yang dikaitkan dengan ideologi demokrasi harus dipandang sebagai masyarakat yang bebas dan akuntabel, yaitu masyarakat dengan aturan main yang jelas sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah. Ini dimungkinkan jika ada aturan yang mengatur semua permainan politik, ekonomi, dan budaya.
Aturan main harus memastikan bahwa setiap orang memiliki ruang atau kesempatan yang sama untuk terlibat dalam aktivitas kehidupan. Aturan main yang telah disusun dan ditetapkan dalam bentuk undang-undang harus dipatuhi oleh semua aktor sosial, terlepas dari level atau kapasitasnya. Dengan kata lain, setiap orang baik penguasa, pemerintah, pelaku bisnis, maupun masyarakat pada umumnya harus menghormati dan mentaati hukum (rules of the game).
Siapa pun yang menyimpang dari aturan permainan atau mencoba mempengaruhi hukum permainan akan dikenakan tuntutan tanpa pandang bulu oleh pengadilan. Jika pemahaman logika demokrasi seperti itu telah dilembagakan dan diinternalisasikan oleh masing-masing anggota masyarakat, maka liberalisme sebagai “semangat demokrasi” akan benar-benar menghasilkan kerukunan dan kemajuan peradaban.
Kebebasan berbisnis (free enterprise), kebebasan bersaing (free battle), kebebasan berpendapat, dan kebebasan memilih kesetiaan politik tidak akan menimbulkan anarki, melainkan kemakmuran masyarakat. Namun, harus ditekankan bahwa perkembangan sosial terjadi ketika semua aktor sosial menyadari aturan permainan tersebut. Jika salah satu pihak menyalahgunakan norma permainan dalam praktik politik, terutama dengan mendukung kekuasaan, maka liberalisme akan tereduksi menjadi Darwinisme (Mangunwijaya, 1994).
Darwinisme menafsirkan liberalisme sebagai kebebasan tak terbatas, atau “yang terkuat yang bertahan hidup” atau “yang terkuat yang bertahan hidup”. Orang diizinkan untuk mengatakan apa pun yang mereka inginkan, partai diizinkan untuk menggunakan demagogi sepenuhnya, dan kekuatan politik diizinkan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Hasilnya bukanlah keseimbangan sosial melainkan situasi yang kacau balau. Dalam konteks masyarakat yang tumbuh dan memberdayakan masyarakatnya, tidak perlu merangkul dan mempelajari gagasan liberalisme Darwin, melainkan konsep liberalisme dalam kerangka kepatutan dan kemanfaatan.
Dinamika Sosial Politik Dalam Sistem Demokrasi di Indonesia
Indonesia tidak asing dengan pengertian negara demokrasi sejak awal negara, prinsip-prinsip panduan administrasi dan struktur interaksi pemerintah-warga negara telah didasarkan pada konsep demokrasi. Namun, demokrasi yang dimaksud adalah model yang tidak liberal, tetapi dibatasi oleh cita-cita nasional. Konsepsi founding fathers tentang demokrasi Indonesia yang berlandaskan pada perlindungan massa atau sikap kritis rakyat terhadap penguasa, dialog yang membangun konsensus, dan gotong royong.
Pancasila, sebagai landasan filosofis dan standar normatif bagi sistem hukum Indonesia, dimasukkan dalam proses berbasis hukum yang menerapkan demokrasi. Sebaliknya, negara yang menganut prinsip sosial demokrasi harus memberikan perlindungan sosial bagi penduduknya dari potensi pelanggaran HAM. Selain itu, negara harus mampu memberikan jaminan kepada penduduknya agar dapat mengakses dan menikmati fasilitas pendidikan yang layak. Warga negara tidak hanya diizinkan untuk memperoleh keterampilan, tetapi juga dibimbing untuk dapat berpartisipasi dalam dinamika kehidupan budaya yang lebih luas.
Tak kalah pentingnya, bangsa yang menerapkan paham demokrasi sosial harus mampu menjaga martabat ekonomi dan sosial penduduknya. Oleh karena itu, negara harus mampu mengawasi dan mengendalikan dominasi lingkungan kapitalis untuk memastikan ia terus beroperasi di jalur yang tidak merugikan rakyat. Negara juga harus membuka dan memberdayakan wilayah publik dengan baik sebagai penyalur aspirasi penduduknya (Myron Weiner, 1987).
Gagasan demokrasi sosial meniscayakan bahwa setiap negara yang menerapkannya selalu menawarkan jaminan sosial bagi penduduknya secara keseluruhan. jaminan sosial harus mampu mempertahankan hak-hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Negara harus mampu menjaga pemerataan kemungkinan kehidupan. Selain menjamin keberhasilan ekspansi ekonomi, negara juga harus menjamin kohesi sosial dan stabilitas politik. Di saat terjadi ketidakstabilan sosial, politik, dan ekonomi, negara harus mampu meredam goncangan tersebut agar tidak berlanjut. Negara juga harus mampu memberikan rasa aman kepada warganya dalam menghadapi dominasi sistem kapitalis pasar.
Wacana pengelolaan negara tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang perkembangan demokrasi. Peran pengawasan DPR terhadap pemerintah Indonesia adalah salah satu bentuk demokrasi. Sebagai negara yang telah memilih demokrasi dan menyatu dengan negara hukum, Indonesia akan menata kehidupan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menurut hukum yang demokratis.
Dalam kerangka negara Indonesia yang demokratis dan berlandaskan hukum, bangsa Indonesia akan mewujudkan tatanan sosial yang kondusif untuk hidup berdampingan. Dalam rangka mewujudkan hadirnya sistem hukum nasional yang demokratis di negara tersebut, nilai-nilai demokrasi dan asas-asas hukum akan dipandang sebagai saling simbiosis dan mutualistik. Konstruksi hukum adalah bagian dari aktivitas mengatur masyarakat, yang terdiri dari manusia dalam segala aspeknya, menjadikannya tugas yang menantang untuk merancang dan membuat aturan yang dapat diterima oleh komunitas yang lebih besar.
Tantangan ini bersumber dari fakta bahwa pembuatan undang-undang merupakan bentuk komunikasi antara lembaga penentu, khususnya pemegang kekuasaan legislatif, dan warga suatu bangsa. Nampaknya, sebagai negara berkembang, Indonesia telah lama menghadapi banyak tantangan dalam memberlakukan undang-undang ini. Rakyat Indonesia yang saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan sosial yang merupakan persoalan struktural dan kultural yang bersifat multidimensional, semakin merasakan dampak dari kesulitan yang terkait dengan pembentukan undang-undang ini.
Menanggapi kebutuhan masyarakat dan kompleksitas perubahan dan situasi sosial yang semakin kompleks, perumusan peraturan perundang-undangan ini akan terus meningkat di masa kini dan masa mendatang. Kerangka sosiopolitik masing-masing negara akan mempengaruhi perkembangan sistem hukumnya. Bagi negara yang struktur politiknya otoriter, maka perumusan undang-undangnya juga akan cenderung otoriter. Apalagi, ketika proses pembentukan undang-undang (legislasi) dilihat dari perspektif struktur sosial-politik suatu negara yang demokratis, pasti akan terjadi kompromi-kompromi dari pertentangan antara berbagai nilai dan kepentingan dalam masyarakat.
Bangsa yang demokratis dibedakan dari sejauh mana masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilihan umum. Karena keterlibatan politik rakyat (pemilih) sangat penting bagi struktur negara yang demokratis. Keterlibatan politik mempengaruhi legitimasi masyarakat terhadap berjalannya suatu pemerintahan dalam kaitannya dengan demokrasi. Penyelenggaraan pemilu, seperti keterlibatan politik, mempengaruhi validitas persepsi masyarakat terhadap caleg atau caleg yang terpilih. Preferensi elektoral setiap komunitas ditentukan oleh referensi dan kepentingannya sendiri yang unik. Dapat dikatakan bahwa masa depan pejabat publik terpilih bergantung pada keinginan para pemilih.
Keterlibatan masyarakat dalam pemilu juga dapat dilihat sebagai penilaian dan kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahnya. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong keterlibatan politik di antara masyarakat harus didasarkan pada analisis dan argumen yang kuat. Untuk masa depan yang lebih cerah, perlu diambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dan pembenahan sistem pemilu. Hal ini berimplikasi bahwa argumentasi dan analisis yang dihasilkan harus didasarkan pada: pertama, metodologi atau kerangka yang tepat untuk memahami dinamika partisipasi politik, dan kedua, kepekaan yang kuat terhadap dinamika yang berkembang di bidang ekonomi, administrasi, politik, sosial dan kultural.
Trio Hamdoni, Penikmat Demokrasi
https://jabar.nu.or.id/opini/menyoal-konstalasi-demokrasi-dan-sosial-politik-bangsa-indonesia-YQONM