Ukuran Kemuliaan Seseorang

Pagi ini aku tertegun pada sosok manusia “aneh”, namanya Fudhail bin Iyadh.

Fudhail bin Iyadh, (w. 187 H/803 M), adalah seorang muhaddits (ahli hadits) dan sufi besar. Lahir tahun 107 H di kota Samarkan dan dibesarkan di Abiward, sebuah kota di antara Sarakhs dan Nasaai Khurasan. Ia termasuk generasi “Tabi’i al-Tabi’in”. Tokoh ini dipuji banyak ulama sebagai seorang ulama besar ahli hadits yang terpercaya, seorang sufi besar dan seorang argumentator agama.

Banyak ulama besar dan para sufi menimba pengetahuan dari Fudhail. Beberapa di antaranya adalah Imam Sufyan al-Tsauri, Ibnu Uyaynah, Imam al-Syafi’i, Ibnu Mubarak, Al-Humaidi, Yahya bin al-Qathan, Abd al-Rahman bin Mahdi, Qutaibah bin Said dan lain-lain.

Yang aneh, sebelum jadi sufi master, dia adalah jagoan dan perampok besar yang sangat ditakuti masyarakat. Banyak pandangannya yang menarik, mencerahkan dan menyadarkan diri. Antara lain :

قال فضيل بن عياض: ما ارتفع رجل بكثرة الصلاة والصيام، وإنما يرتفع الرجال بسخاء الأنفس، وسلامة الصدور، والنصح للأمة. [حلية الأولياء، ٨/ ٧٨].

“Seseorang tidak akan pernah menjadi mulia hanya karena banyaknya ibadah shalat dan puasa (atau ibadah ritual personal yang lain). Akan tetapi ia bisa menjadi pribadi yang mulia dan terhormat melalui kemurahan jiwa, hati yang bersih dan memberi kebaikan kepada masyarakat.”

Tampak sekali dari pandangan Fudhail tersebut bahwa formalisme kesalehan dan praktik-praktik ritual individual, bukan menjadi ukuran utama kemuliaan dan keunggulan seseorang.

Kebersiahan hati dan komitmen sosial kemanusiaanlah yang membuatnya mulia dan terhormat. Inilah esensi misi dan visi profetik dalam semua agama dan etika kemanusiaan.

KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

https://jabar.nu.or.id/hikmah/ukuran-kemuliaan-seseorang-SUyXM

Author: Zant