Apa yang Panjenengan pikirkan dan gelisahkan saat 100 tahun lalu hendak mendirikan Jam’iyah ini? Tongkat dan tasbih dari Syaikhona sudah diberikan, tapi mengapa Panjenengan masih terus saja bermunajat menunggu isyarat langit?
Apakah saat itu Panjenengan tengah memikirkan dan merasakan apa yang akan dihadapi Jam’iyah ini seratus tahun kemudian?
Dari pelosok desa di Nusantara sampai di Melbourne dan kota-kota besar lainnya di berbagai belahan dunia, Jam’iyah ini telah berdiri. Puas dan tenangkah Panjenengan sekarang?
Atau Panjenengan masih juga gelisah menyaksikan gerak langkah Jam’iyah selama satu abad ini? Jama’ah masih banyak yang berada di garis kemiskinan, kami masih sibuk saling sikut dan sindir menyindir sesama warga, kami masih membanggakan jumlah kami yang mayoritas secara kuantitas tapi selalu mengadahkan tangan kepada penguasa dan pengusaha karena kami tak berdaya secara sumber daya.
Jama’ah yasinan dan santri pesantren sejatinya akan terus berjalan tanpa kehadiran Jam’iyah ini. Lantas apa makna kehadiran Jam’iyah selama satu abad ini? Sudahkah Jam’iyah ini menjadi rumah bersama dan pesantren besar bagi jama’ahnya?
Hadratus Syekh yang kami hormati,
sudahkah pula kami ber-akhlak sesuai dengan apa yang Panjenengan ajarkan dan teladankan kepada kami? Kami malu melihat prilaku kami sendiri
Sungguhpun demikian, Jam’iyah ini akan terus menjaga Aswaja dan NKRI sebagaimana yang Panjenengan wasiatkan. Bola dunia di lambang kami yang dilewati huruf dhad menunjukkan kami pun bagian dari peradaban global.
Ketika akhirnya Panjenengan ridha untuk mendirikan Jam’iyah ini seratus tahun lalu, kami yakin Allah dan Rasul-Nya pun telah ridha.
Semoga kami semua tetap diakui sebagai santri-santri Panjenengan.
Al-Fatihah
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School