Puncak Resepsi 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) menghadirkan banyak berkah, pengalaman, dan pengetahuan. Even akbar yang digelar di Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa (7/2/2023) itu dipastikan telah memunculkan kesan hangat dan mendalam bagi siapa pun yang menyempatkan datang dan membaur bersama ratusan ribu Nahdliyin lainnya.
Memasuki abad kedua, berdasarkan penanggalan Hijriah, NU yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 ini mengagendakan penguatan di bidang intelektualisme dan jejaring global. Penyegaran misi itu dibuktikan dengan panjangnya rangkaian Halaqah Fikih Peradaban yang berpuncak pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban I pada Senin (6/2/2023). Forum bergengsi itu pun sukses lantaran dihadiri sejumlah pembicara maupun ratusan ulama dan cendekiawan dari dalam maupun luar negeri.
Di sisi lain, sejak awal kelahirannya, NU sebenarnya sudah memiliki riwayat yang lekat dengan keberadaan dua modal kekuatan tersebut. Komite Hijaz sebagai embrio pembentukan NU telah menunjukkan taji diplomasi dan kepiawaian lobinya di tingkat internasional jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang.
Komite Hijaz adalah nama kepanitiaan yang dipimpin salah satu pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah dibentuk pada 1926, tim tersebut berangkat menemui Raja Ibnu Saud di Arab Saudi untuk menyampaikan sejumlah permohonan.
Komite Hijaz sepakat untuk menyusun mandat dan materi pokok yang akan disampaikan secara langsung kepada sang raja dalam forum Muktamar Dunia Islam. Risalah itu berisi sejumlah usulan dan permohonan atas beberapa kebijakan penguasa Arab yang dinilai bakal merugikan kelompok berpaham Ahlussunah wal Jamaah.
Kepiawaian diplomasi Kiai Wahab
Pameran Foto dan Dokumentasi Komite Hijaz yang digelar sehari sebelum Puncak Resepsi Satu Abad NU turut memberikan pengalaman menarik bagi para pengunjung. Sebanyak 40 foto lawas dijajar menjadi semacam mesin waktu yang mampu melemparkan imajinasi Nahdliyin ke masa-masa seabad silam.
Rangkaian koleksi foto dalam pameran yang digelar di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jawa Timur pada Ahad sampai Senin (5-6/2/2023) itu diawali dengan nuansa pembentukan Komite Hijaz, peristiwa pengiriman surat ke penguasa Arab Saudi. Lalu ada pula balasan terkait persuratan penting tersebut.
Terpajang pula foto kapal yang digunakan untuk berangkat, foto tim utusan, tempat menginap tim Komite Hijaz, lokasi pertemuan dengan Raja Hijaz, hingga foto perjalanan pulang dari Arab Saudi.
Mantan Konsul Jenderal (Konjen) RI di New York, Dr Arifi Saiman, dalam Diplomasi Santri (2022) menjelaskan, Komite Hijaz telah mampu menunjukkan kepiawaian lobi dan diplomasi kaum sarungan di era pergerakan. Selain itu, terlepas dari memuaskan atau tidaknya jawaban Raja Arab Saudi kala itu, Komite Hijaz telah melaksanakan misi diplomasi dengan penuh tanggung jawab meski dinilai berat lantaran berkaitan dengan nasib kalangan Muslim tradisionalis di seluruh dunia.
Di situlah peran Kiai Wahab yang memang sejak mula tidak pernah diragukan kemampuannya. Kiai Wahab, merupakan sedikit tokoh di masa itu yang memiliki kemampuan diplomasi, terlebih dari kalangan pesantren.
Komite Hijaz dan Budaya Kerja Kemenag
Mengutip situs resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) NU Online, Ibnu Saud, Raja Najed beraliran Wahabi itu menaklukkan Hijaz (Makkah dan Madinah) pada 1924-1925. Dampaknya, aliran Wahabi sangat dominan di Tanah Haram, sementara kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Kala itu, terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang sebelumnya menetap di Haramain. Mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari kemusyrikan dan bidah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah, termasuk makam Nabi Muhammad Saw dan para sahabat hendak dibongkar. Akibat kondisi seperti itulah, umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat prihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut Komite Hijaz.
Ada lima amanat yang diemban Komite Hijaz dalam pelaksanaan misi tersebut. Pertama, memohon diberlakukannya kemerdekaan bermazhab di Negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab itu, imam-imam Salat Jumat di Masjidil Haram diharap bisa ditentukan secara bergilir dengan melibatkan perwakilan setiap mazhab.
Komite Hijaz juga meminta agar kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut, seperti di bidang tasawuf, aqaid, maupun fikih diberi keleluasaan untuk bisa masuk ke Negeri Hijaz.
Kedua, memohon agar tempat-tempat bersejarah tetap boleh diramaikan dan diwakafkan demi memakmurkan masjid-masjid di sekitar lokasi tersebut.
Ketiga, memohon agar penentuan tarif dan biaya syekh dan muthawif diumumkan jauh-jauh hari sebelum musim haji tiba. Dengan demikian, orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup.
Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Kelima, Jamiyah NU memohon balasan surat dengan isi sebuah penjelasan bahwa sebanyak dua orang delegasi telah benar-benar menyampaikan surat dan permohonan-permohonan tersebut kepada Raja Ibnu Saud.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kiai Wahab, yang kala itu didelegasikan bersama Syekh Ghanaim Al Amir barang kali patut disebut sebagai inspirasi dari terbitnya nilai dan budaya kerja yang kini dianut di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) RI. Semangat totalitas yang disebut dengan “Lima Nilai Budaya Kerja Kemenag” itu telah jauh melekat di diri Mbah Wahab bersama keorganisasian NU-nya yang padahal baru saja terbentuk.
Lima Nilai Budaya Kerja yang termaktub dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 582 Tahun 2017 itu mencakup integritas, profesionalitas, inovatif, tanggung jawab, dan keteladanan. Melalui perjuangannya di Komite Hijaz, Kiai Wahab sudah menunjukkan integritasnya lantaran mampu menunaikan misi dengan pendanaan yang swadaya meski dengan nilai tidak seberapa, profesional menunaikan tugas yang diberikan forum ulama NU, terutama Hadaratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, inovatif karena mampu turut ambil bagian dalam kerja-kerja lintas negara, tanggung jawab lewat pencapaian target secara maksimal, dan keteladanan melalui semangat juang tanpa batas demi menciptakan perdamaian dan persatuan di antara umat Islam sedunia.
Diplomasi dan kerja kehumasan
Ahmad Zainuri dalam Strategi Penerapan Nilai Budaya Kerja Kerja di Kementerian Agama Menuju Pelayan Prima di Medina-Te: Jurnal Studi Islam 12.1 (2016) menyebut poin integritas menjadi nilai pertama yang wajib dimiliki aparatur negara baik secara personal maupun organisasi.
Integritas diri bisa dilakukan dengan menyelaraskan antara hak dan kewajiban. Sementara di level organisasi, sikap integritas tercermin melalui perilaku disiplin, kredibel, dan menepati komitmen bersama.
Terkait prinsip tersebut, Kiai Wahab bersama Komite Hijaz-nya telah mampu menjaga nilai-nilai kepercayaan, kejujuran, berpikir positif, dan amanah terhadap segala yang dititipkan pada anggota organisasi NU.
David Van Fleet dan Gary Yukl, dalam Theory and Research on Leadership in Organizations (1992) menyebut integritas sebagai standar moralitas dan etika seseorang. Integritas mencerminkan isi hati dan moral dalam berkomitmen dan akuntabilitas diri.
Di lingkungan Kemenag, kerja-kerja diplomasi sebagaimana yang diteladankan Kiai Wahab dan Komite Hijaz banyak dilakukan bagian kehumasan. Kerja-kerja humas akan sangat menentukan wajah organisasi keseluruhan. Integritas lembaga dalam pandangan dunia luar bergantung pada baik buruknya tenaga kehumasan.
Lebih spesifik dari itu, nilai integritas kian wajib dimiliki oleh tenaga kehumasan di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Hal ini penting karena PTKIN merupakan wajah dari pendidikan dan syiar moral Kemenag di tengah khalayak ramai.
Staf Khusus Menteri Agama bidang Media, Komunikasi Publik dan Teknologi Informasi Wibowo Prasetyo pada Kamis (2/2/2023) di di UIN Sultan Aji Muhammad Idris (UIN SI) Samarinda, Kalimantan Timur menyebut bahwa humas adalah garda terdepan di dalam institusi PTKIN. Humas berperan membentuk wajah kampus, baik atau buruk. Termasuk memenangkan pertarungan wacana, isu-isu strategis, di media konvensional dan media sosial.
Tenaga kehumasan diharap memiliki kapasitas, kreatif, dan inovatif dalam membuat strategi komunikasi agar semua program, informasi, dan seluruh capaian prestasi bisa terinformasikan kepada publik secara luas.
Alhasil, bertahannya NU sebagai ormas Islam terbesar hingga 100 tahun dimulai dari kerja Komite Hijaz yang penuh integritas. Segenap nilai yang dicontohkan Kiai Wahab dan Komite Hijaz perlu dijadikan inspirasi dan teladan bagi tenaga kehumasan demi bisa mewujudkan kerja-kerja maksimal, namun tetap selaras dengan jargon utama Kemenag: “Iklhas Beramal”.
Hayatul Islam, Wakil Sekretaris PWNU Lampung/ Ketua Forum Humas (Forhumas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/opini/komite-hijaz-teladan-kerja-kehumasan-drMKg