Garut, NU Online Jabar
Dalam kajian rutin kitab Fadloilu Syahri Ramadhan karya Syekh Ali bin Muhammad Al Ujhuri Al Maliki, Pengasuh Pondok Pesantren Fauzan Garut KH Aceng Aum Umar Fahmi menerangkan bahwa puasa pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Ada a.s sebagai manusia pertama di muka bumi.
Ia mengatakan Nabi Adam a.s selalu berpuasa di setiap pertengahan bulan atau yang saat ini kita sebut puasa ayyamul bidh, kemudian puasa juga dilaksanakan oleh Nabi Daud dan umat Nabi Isa a.s atau yang kita kenal dengan umat Nasrani.
Lebih lanjut, umat Islam sebelumnya diwajibkan untuk melaksanakan puasa tiga hari di setiap pertengahan bulan dan pada tanggal 10 Muharram atau yang dikenal dengan puasa Asyura sebelum adanya perintah wajib melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
“Bahkan kewajiban puasa pada masa itu, dihitung sejak orang tersebut bangun tidur di sore hari. Misalnya fulan tidur pada sore hari kemudian bangun pada pukul 20.00 atau pukul 01.00, maka sejak ia bangun puasa sudah dihitung.” Terang Aceng Aum yang juga merupakan wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail Garut.
Namun kemudian, sampai pada suatu saat ketika ada salah seorang sahabat nabi bernama Qais bin Shurmah al Anshori pulang bekerja dari kebun dalam keadaan lapar. Sesampainya di rumah, Qais meminta istrinya untuk memberinya makanan, namun karena dirumahnya tidak ada makanan, maka istrinya meminta izin keluar untuk mencari makanan.
Namun, saat istrinya hendak memberikan makanan, Qais justru tertidur sehingga makanan yang ada tidak bisa dimakan karena sampai Qais bangun ia berkewajiban untuk berpuasa. Sehingga pada saat Qais bangun ia tidak bisa lagi makan apa-apa karena sudah masuk pada wajibnya berpuasa. Saat pagi datang, ia kembali bekerja namun menjelang siang ia sudah mulai kewalahan. Kemudian saat sore hari akibat kelelahan bekerja dan puasa, Qais pun pingsan dan kabar tersebut sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Dari kejadian itu, turunlah wahyu Surat al Baqarah ayat 187:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa”.
Dari keterangan ayat tersebut, Aceng Aum jelaskan bahwa kewajiban umat islam berpuasa yang sebelumnya dilarang untuk untuk makan, minum, dan berhubungan suami istri setelah tidur, maka dengan ayat ini diperbolehkan melakukan hal tersebut.
“Ayat tersebut mengandung salah satu maqashidu syariah (tujuan dari syariat) yakni hifdzun nafs (menjaga nyawa). Aceng Aum sampaikan bahwa sejarah Kewajiban puasa turun pada tahun kedua saat akan perang badar, sehingga jika kita hitung nabi Muhammad SAW melaksanakan puasa di bulan Ramadhan selama Sembilan tahun sampai Nabi Muhammad Wafat pada tahun 11 Hijriah,” tandasnya.
Pewarta: Muhammad Salim
Editor: Agung Gumelar
https://jabar.nu.or.id/garut/aceng-aum-jelaskan-sejarah-puasa-umat-islam-k0ENt