Jakarta,NU Online
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBH PBNU) H Fadlansyah Lubis menanggapi soal dinamika Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah belasan tahun tak kunjung disahkan.
Menurut Fadlansyah, tidak ada salahnya apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU PPRT, apalagi kalau memang di antara kedua belah pihak (PRT dan pihak yang menyediakan pekerjaan) telah ada atau memenuhi unsur hak dan kewajiban.
Ia menjelaskan, RUU PPRT yang sudah diajukan sejak tahun 2004 ini sampai sekarang masih terjadi perdebatan di DPR. Berbagai silang pendapat masih terus mengemuka sehingga RUU PPRT ini belum disahkan selama belasan tahun.
Pendapat pertama adalah menyatakan persetujuannya karena pekerja rumah tangga merupakan tenaga kerja yang juga harus diberikan perlindungan.
Selama ini, kata Fadlansyah, sektor-sektor ketenagakerjaan yang sudah memiliki aturan sendiri, para pekerjanya mendapat jaminan perlindungan dan tidak terdiskriminasi.
“Karena hakikat dan tujuan (peraturan perundangan dibuat) itu untuk memberikan perlindungan kepada seluruh manusia, termasuk orang-orang yang bekerja pada sektor-sektor tertentu,” kata Fadlansyah, ditemui NU Online di sela-sela Rakernas Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBHNU) di Hotel Acacia Jakarta, Senin (26/12/2022).
Fadlansyah meneruskan, kemudian ada pendapat kedua yang berkembang di DPR, yakni sektor atau pekerjaan seorang PRT tak perlu diatur dalam peraturan perundangan. Alasannya karena PRT bekerja lebih kepada komitmen antarpihak saja, sehingga tidak harus diangkat sampai menjadi peraturan perundangan.
“Kalau kami sih melihat, itu sudah ada hak dan kewajiban, sudah memenuhi unsur-unsur itu, maka tidak ada salahnya kemudian itu diatur dalam sebuah peraturan,” kata Fadlansyah.
Namun, ia mengingatkan bahwa jangan sampai setelah ada aturan baru dalam sistem perundang-undangan itu justru menyulitkan pekerjanya.
“Bisa begitu juga nanti dampaknya. Jadi tidak setiap sesuatu yang diatur kemudian memberikan kemudahan,” tegas Fadlansyah.
Sebelumnya, Ketua Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi) Ali Nurdin mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT.
Ia menjelaskan urgensi RUU PPRT untuk segera disahkan. Salah satunya karena kasus-kasus yang terjadi pada PRT terus bertambah dan selalu berulang, sehingga perlindungan melalui UU kepada PRT saat ini sudah sangat mendesak.
Ali menyebut, tujuh juta PRT di dalam dan luar negeri adalah perempuan yang rentan terjadi eksploitasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, waktu kerja yang lama, gaji tidak sesuai, tidak ada jaminan sosial, dan bahkan kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Pendapat Ali Nurdin itu sejalan dengan survei yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015. Survei itu menyebut bahwa PRT berjumlah lebih dari 4,2 juta dengan tren meningkat setiap tahun. Angka itu cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.
Secara kuantitas, jumlah PRT di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta). Sementara secara persentase, sebagian besar PRT adalah perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi atau risiko terhadap perdagangan manusia (human trafficking).
Desakan agar DPR RI segera mengesahkan RUU PPRT ini telah disuarakan dan menjadi putusan resmi organisasi Sarbumusi, dalam Kongres Ke-6 di Sidoarjo serta Rapimnas dan Rakernas di Jakarta.
Selain itu, Muktamar Ke-34 NU di Lampung mengeluarkan putusan rekomendasi untuk mendesak agar RUU PPRT ini disahkan oleh DPR RI.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.