Surabaya, NU Online Jatim
Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), Kementerian Agama RI akan kembali menggelar Annual internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 di Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA) pada 02-05 Mei 2023 mendatang.
Tema bertajuk ‘Kontekstualisasi Fikih untuk Peradaban dan Kehidupan Manusia’ ini merupakan Forum Akademisi Pengkajian Islam Internasional sebagai implementasi fikih dalam berbagai perspektif.
Ketua Panitia AlCIS 2023, Dr. phil. Khoirun Niam mengatakan, kontekstualisasi fikih juga harus memiliki peran aktif untuk keadilan dan perdamaian. Pembelajaran fikih di pesantren dapat menjadi dasar untuk membahas isi lainnya termasuk fikih di zaman digital. Tidak hanya itu, isu minoritas, permasalahan gender hingga komunitas difabel juga menjadi bahasan utama dalam event tersebut, begitu halnya dengan kebebasan beragama yang belakangan menjadi sorotan.
“AICIS dilaksanakan sebagai wadah para pakar dan akademisi untuk diskusi intensif dengan tidak hanya berbasis pengetahuan akademik saja, namun juga berangkat dari kasus-kasus di lapangan terkait dengan isu-isu fikih dan hukum Islam,” ujar Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UINSA ini.
Perdebatan dalam isu-isu fikih kekinian, lanjutnya, akan dikaji dan dipaparkan dalam konteks perkembangan umat Islam menghadapi tantangan zaman. Tidak hanya itu, 10 Sub Tema lainnya akan dibahas dalam forum Akademik Internasional tersebut. Di antaranya:
1. Rethinking Fiqh For Non Violent Religious Practices (Memikirkan kembali praktik keagamaan tanpa kekerasan).
2. Dynamic Interaction Between Fiqh and Public Policy (Interaksi Dinamis antara fikih dan kebijakan public)
3. Magashid Al Svariah as a Reference and Framework of Fiqh for Humanity (Maqashid Al Syariah Sebagai Referensi dan Kerangka Kerja Berjuang untuk Kemanusiaan)
4. Global Citizenship and Contemporary Fiqh (Kewarganegaraan Global dan Fikih Kontemporer)
5. Recounting Fiqh for Religious Harmony (Menceritakan Fikih untuk Kerukunan Umat Beragama)
6. Digital Humanity and Islamic Law (Kemanusiaan Digital dan Hukum Islam)
7. Fiqh in Business Ethics Construction for Sustainable Economic (Fikih dalam Konstruksi Etika Bisnis untuk Ekonomi Berkelanjutan)
8. Fiqh and contested Authorities: Between Conservatism and Progressivism (Fiqh dan Otoritas yang diperebutkan: Antara Konservatisme dan Progresivisme) dari Pesantren)
9. The Fiqh Literacy for Gender, Minority Groups and Disability Issues (Literasi Fikih untuk Gender, Kelompok Minoritas dan Isu Disabilitas)
10. Fiqh Education: Lessons Learned from Pesantren (Figur Pendidikan: Pembelajaran dari Pesantren)
Menurutnya, salah satu sub tema konferensi ini berfokus pada peran Fikih dalam mempromosikan ekonomi yang berkelanjutan, adil, dan setara. Pemahaman Fikih yang komprehensif dapat membantu menciptakan tatanan ekonomi yang berkelanjutan dan peduli lingkungan, serta mampu menangani masalah etika dalam sektor bisnis.
“Maksud dan tujuan diangkat sub tema ini adalah untuk menciptakan ekonomi yang bermanfaat bagi semua orang dan melestarikan sumber daya alam,” ungkapnya.
Sub tema Fiqh in Business Ethic Construction for Sustainable Economic mencakup berbagai topik terkait pengembangan ekonomi yang berkelanjutan yang dipandu prinsip-prinsip Islam. Sub tema ini memiliki empat panel.
Panel pertama, berfokus pada keuangan Islam dan serba serbi didalamnya. Kedua, berfokus pada filantropi islam dan membahas pengaruh dinamis Zakat, Infaq, dan Shadagah (ZIS) pada pertumbuhan ekonomi dan pentingnya mengimplementasikan Magashid Syariah pada inovasi sosial untuk organisasi pengelolaan Zakat yang berkelanjutan di Indonesia. Ketiga, membahas fikih dan leisure ekonomi. Keempat, membahas fikih dalam isu-isu pembangunan kontemporer.
Secara keseluruhan, sub-tema ini menekankan perlunya praktik etis dan bertanggung jawab dalam pengembangan ekonomi yang dipandu ole hprinsip-prinsip Islam untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, melindungi lingkungan dan sumber daya alam, dan menyediakan kesejahteraan untuk seluruh umat manusia.
“AICIS ini adalah kontekstualisasi fikih untuk keadilan dan kedamaian yang berkelanjutan,” pungkasnya.