Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
Sepanjang jalan dari Rabat-Kenitra, menuju Ibn Tofail University, Maroko, penulis tidak saja menikmati pemandangan kota Maroko. Melainkan juga indahnya Hamparan Rumput yang menghijau seperti di Swiss dan ratusan hektar pohon Beluth membentang di sepanjang jalan. Tidak ada kesan Timur Tengah yang gersang selama ini, seperti Tunisia, Maroko juga negeri yang subur dan Indah.
Ketika topik pembicaraan antara penulis dan rombongan Dirjen Pendis Kemenag berkenaan dengan pemikiran Mohammed Abid al-Jabiri. Topik tentang pemikiran Ali Harb, ilmuan muslim kelahiran Bablieh, 1941, tidak bisa dipisahkan. Abid al-Jabiri dan Ali Harb setali tiga uang, berkaitan, dan kontradiktif.
Ali Harb sebagaimana Abid al-Jabiri juga memiliki banyak karya tulis ilmiah. Salah satunya yang populer, yang sempat penulis baca secara garis besarnya saja, berjudul ‘Madakhilat: Mabahits Hawla A’mal Muhammad Abid al-Jabiri, Husain Muruwwa, Hisyam Ja’ith, Abdus Salam bin Abdul Ali, dan Sa’id bin Sa’id’, terbit tahun 1985.
Tahun 1985 ini adalah tahun kegemilangan karier intelektual Ali Harb. Karya-karyanya yang ilmiah filosofis banyak diterima oleh pembaca di dunia Arab. Bahkan, dianggap sebagai cara pandang baru dibanding para filsuf dunia lainnya (Muhammad al-Hujairi, King Faisal Center for Research and Islamic Studies, 2016).
Pemikiran Ali Harb membuka cakrawala yang baru, sehingga para sarjana banyak yang mengutip dan mengikuti cara pandangnya sebagai rujukan utama. Sarjana lain mengenyam pemikiran Ali Harb dan pemikiran sendiri, bahkan ada yang menjadikan pemikiran Ali Harb sebagai metodologi penelitian mereka (Muhammad Syawqi Zain, Qiraat fi Fikr wa Falsafah Ali Harb: al-Naqd, al-Haqiqah, wa al-Ta’wil, 2010).
Pandangan Ali Harb ini di banyak aspek bertolak belakang dengan pemikir Maroko Abid al-Jabiri. Pertama, tentang globalisasi. Bagi Abid al-Jabiri, globalisasi adalah proyek Amerika yang ditujukan untuk menguasai dunia. Globalisasi adalah ide yang diciptakan oleh Amerika, sebagai pintu masuk untuk menguasai negara-negara lain.
Bagi Ali Harb, globalisasi bukan karya Amerika melainkan karya semua anak manusia. Globalisasi adalah fakta, prestasi, dan potensi semua manusia (Ali Harb, Hadits al-Nihayat Futuhat al-Awlamah wa Maaziq al-Hawiyyah, 2004).
Ali Harb menegaskan, globalisasi adalah generalisasi pertukaran ekonomi, sosial, dan budaya dalam skala global. Globalisasi merupakan proses menggerakkan benda, gagasan, dan orang dengan cara yang mudah, permanen, dan belum pernah preseden sebelumnya (Ali Harb, 2004).
Berbeda halnya dengan Abid al-Jabiri yang memaknai globalisasi sebagai suatu ideologi yang melampaui dimensi ekonomi semata. Globalisasi melampaui dimensi ekonomi. Globalisasi memiliki karakter yang mengglobal dan mencakup banyak bidang, seperti bidang keuangan, pemasaran, pertukaran dan komunikasi, serta bidang politik, pemikiran dan ideologi (Muhammad Abid al-Jabiri, Qadhaya fi al-Fikr al-Arabiy al-Mu’ashir, 2007).
Setelah memiliki sudut pandang yang positif tentang globalisasi, Ali Harb juga menyikapi globalisasi secara positif. Bagi Ali Harb, globalisasi membawa perubahan di segala bidang kehidupan manusia, dan perubahan itu sendiri adalah tujuan utama semua masyarakat untuk mencapai kemajuan.
Ali Harb menganggap globalisasi mengarahkan perubahan sikap terhadap realitas. Hari ini realitas dipercepat dan diperbanyak oleh revolusi numerik, yang mampu mengubah bahasa, teks, dan informasi menjadi urutan angka yang tidak ada batasnya (Ali Harb, 2004). Artinya, teknologi telah mengubah kehidupan menjadi lebih beragam. Itu semua berkat globalisasi yang membawa perubahan positif.
Berbeda halnya dengan Abid al-Jabiri yang memaknai globalisasi sebagai hal negatif, maka sikapnya pun juga negatif. Abid al-Jabiri dan beberapa intelektual muslim lainnya menolak globalisasi karena berdampak pada pemiskinan struktural, dan menciptakan perbedaan yang mencolok antara yang kaya dan yang miskin.
Abid al-Jabiri mengatakan, manifestasi pertama globalisasi adalah pemusatan kegiatan ekonomi di tingkat global yang dicengkram oleh tangan segelintir kelompok oligarki. Pada gilirannya, pihak mayoritas hanya menjadi pekerja. Sementara keuntungan akan jatuh ke tangan pihak segelintir orang (Abid al-Jabiri, 2007).
Dari sini dapat disimpulkan, ada sudut pandang berbeda dari Ali Harb. Globalisasi menantang setiap orang untuk berubah, karena perubahan adalah jalan menuju kemajuan. Karena setiap orang harus bekerja keras untuk mencapai kemajuan tersebut. Jadi, Ali Harb memilih posisi yang optimistik.
Berbeda halnya dengan Abid al-Jabiri, ia lebih condong melihat dampak globalisasi, yang hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Bahkan, pihak yang dirugikan adalah golongan mayoritas. Pihak yang diuntungkan adalah segelintir oligarki.
Dengan demikian, Ali Harb adalah tokoh terkemuka pembela globalisasi. Hal itu terlihat jelas melalui kampanyenya yang sengit melawan para pendukung identitas dan warisan tradisional mereka. Jadi, musuh utama Ali Harb adalah kaum tradisionalis yang lebih mempertahankan identitas tradisional mereka, dan melupakan untuk mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Dari sana, Ali Harb mengajukan sebuah pertanyaan kritis tentang legitimasi mereka dalam mempertahankan tradisionalismenya. Dalam bukunya yang berjudul ‘’Naqd al-nash’ Ali Harb mengajukan pertanyaan begini: apakah mereka yang menjaga tradisi masih memiliki legitimasinya dalam merepresentasikan budaya, identitas, umat, serta urusan kebenaran? (Ali Harb, Naqd al-Nash, 1993).
Tampaknya, Ali Harb dan Abid al-Jabiri memang berbeda dalam memahami makna tradisi, turots, dan identitas umat muslim, khususnya menghadapi globalisme. Tetapi, tentang pentingnya menafsiri tradisi dan masa lalu dengan kacamata yang lebih kontekstual, keduanya berada pada posisi yang sama.
Artinya, dari Ali Harb maupun Abid al-Jabiri, kita bisa menyimpulkan bahwa globalisasi dan modernisme itu penting selama masih bisa mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mampu mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Prinsip ini kita sudah pegang teguh melalui slogan: al-muhafazhal alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.