Surabaya, NU Online
Filosofi sapu lidi sejak awal dijiwai oleh murid-murid KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sehingga jaringan Gusdurian tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Pernyataan ini disampaikan oleh Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid saat memberikan orasi kebangsaan di acara Pembukaan Temu Nasional Jaringan Gusdurian, Jumat (14/10/2022) di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur.
Disebutkan, berbagai penghargaan diterima guna memperkuat jaringan. Pada tahun 2018 menerima Asia Democracy and Human Right Award. Tahun 2020 menerima Anugerah Revolusi Mental. Tahun 2021 menerima penghargaan Best Social Media Movement di masa pandemi.
“Semua itu bukan karena Alissa, tetapi para Gusdurian yang ada di seluruh penjuru dunia,” ujar putri sulung Gus Dur ini mengawali sambutan.
Diceritakan, awalnya hanya 37 komunitas yang dihadiri sekitar 100 orang. Kini ada 150 komunitas dan 1.300 orang hadir dalam pertemuan ini.
“Itu hanya peserta, belum tamu undangan. Kehadirannya menunjukkan bahwa jaringan Gusdurian sudah mendapatkan kepercayaan dari latar belakang yang berbeda,” tutur Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu.
Ketika Gus Dur wafat pada akhir 2009, kata Alissa Wahid, seluruh keluarga merasa kehilangan. Bahkan saat mendengar audio Gus Dur, dirinya menangis.
Dalam jarak waktu yang sangat pendek, lanjut dia, dirinya menyadari bahwa bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan. Akan tetapi, ada banyak orang yang merasa kehilangan sosok Gus Dur.
“Banyak pertanyaan datang pada kami. Dulu saat seseorang diancam dan diperlakukan tidak adil, pasti mengadu pada Gus Dur. Nah, kalau sekarang mau lapor kepada siapa. Sejak itulah kami menyusun strategi,” curahnya.
Rekam jejak panjang
Alissa merasa tidak pantas menggantikan Gus Dur. Karena, Presiden RI Ke-4 itu memiliki rekam jejak yang sangat panjang. Bahkan, mempunyai predikat dan pengaruh yang kuat, serta memiliki bekal banyak.
“Banyak tokoh NU digembleng dan disekolahkan. Oleh karenanya, pengalaman Gus Dur begitu berwarna sehingga menjadi seperti itu. Tempaan perjuangan, hari demi hari, kekalahan demi kekalahan, maju selangkah mundur dua langkah, menciptakan sosok Gus Dur yang disayangi oleh banyak kalangan,” papar Alissa.
“Tak ada putri-putri Gus Dur yang seperti beliau. Saat itu kami berpikir sederhana ketika melihat ribuan orang menangisi, merasa kehilangan dan terinspirasi pada Gus Dur,” imbuhnya.
Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang juga salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengutarakan bahwa Gus Dur berkeliling mendatangi murid-muridnya.
“Kira-kira bagaimana kita melanjutkan perjuangan Gus Dur? Di situ kami sadar bahwa Gus Dur ibarat kayu jati yang umurnya ratusan tahun. Alissa hanya sebatang lidi yang gampang dipatahkan. Namun, kami bisa mencari lidi-lidi lain, yakni murid-murid Gus Dur, orang yang satu gagasan dengan beliau dan orang yang ingin memperjuangkan kehidupan lebih baik,” ujarnya.
Alissa menceritakan, saat memulai pada 2010, pihaknya tidak memiliki sumber daya finansial. Karena Gus Dur bukan konglomerat dan pengusaha.
“Bayangkan, 6 bulan sebelum kewafatannya, Gus Dur meminta uang pada kami, karena tidak punya uang sama sekali. Kami sebagai anak kok bisa tidak tahu. Namun, ketika diingatkan oleh Yenny Wahid, Bapak kalau diberi oleh orang, langsung diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan,” kenangnya.
Alissa menyadari bahwa dirinya tidak punya bayangan jaringan Gusdurian yang seluas ini. Bahkan, saat memulainya, ia justru dikira ingin membuat partai politik.
“Kami jawab dengan santun, yang kami tahu hanya satu bahwa murid Gus Dur banyak dan PR bangsa banyak pula,” sergahnya.
Berbekal inspirasi Gus Dur
Dengan berbekal cita-cita, semangat, dan inspirasi Gus Dur, jaringan Gusdurian hadir ke acara ini menggunakan ongkos pribadi. Bagi dia, itu tidak mudah dilakukan oleh seseorang.
Dirinya berpendapat, yang dimiliki adalah khidmat terus menerus melayani Indonesia. Dibuktikan dalam 12 tahun terakhir ini, berkhidmat tanpa pamrih dan tidak menunggu punya fasilitas.
“Teman-teman tidak menunggu punya dukungan dan pengaruh. Di mana pun berada, Gusdurian mendampingi warga tergusur, mendampingi berbagai kelompok, mendampingi korban yang jatuh ke lobang yang tidak direklamasi,” ungkapnya disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.
“Teman-teman tidak pernah saya ongkosi, tidak pernah kami minta untuk aksi, tapi teman-teman solid, berkhidmat, bergerak untuk masyarakat,” tambahnya.
Alissa Wahid menegaskan, itulah kekuatan Gusdurian yang paling besar. Bukan karena uang, tetapi adanya komitmen yang kuat.
“Sekali lagi, tanpa teman-teman, kami remahan rengginang. Kalian lah yang melakukan segalanya. Teman-teman punya teladan paripurna. Gus Dur tidak sempurna, tetapi beliau lengkap, sehingga kita terinspirasi guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Alissa bercerita, suatu ketika, Gus Mus bertanya pada Gus Dur. Di saat Indonesia dalam keadaan genting, yang disuruh maju duluan adalah Nahdlatul Ulama (NU).
“Baru merdeka, NU disuruh maju dan melahirkan Resolusi Jihad. Tahun 1960-an NU disuruh maju. Tahun 1980-an NU disuruh maju. Di saat kegentingan itu selesai, NU ditinggalkan. Warga NU yang merokok sambil jongkok merokok, tidak menikmati hasil perubahan. Kok begini nasib NU, kayak satpam saja,” tanya Gus Mus pada Gus Dur.
Mendengar keluhan itu, Gus Dur menjawab, kurang muliakah menjadi satpamnya Indonesia. Artinya, Gusdurian menjadi satpam Indonesia.
Berkat gerakan Gusdurian, kini telah menyediakan rumah Bhinneka Tunggal Ika. Semuanya sama, sebagaimana Gus Dur memperlakukan tamu dan bangsa Indonesia.
“Jangan berhenti melayani orang yang terpinggirkan dan termarginalkan. Gus Dur ada untuk mereka. Kita terus bergerak dan kita tidak tahu buahnya sebagaimana kita impikan,” tandasnya.
Kontributor: Firdausi
Editor: Musthofa Asrori
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.