Amalan-amalan Sunnah saat Hari Raya Idul Fitri

Menyemarakkan hari raya Idul Fitri merupakan bagian dari sunnah. Setiap orang dianjurkan untuk menyambut kedatangannya dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan. Agama Islam mengajarkan tentang beberapa hal agar kita mengisi saat-saat lebaran tersebut dengan gembira tapi juga bernilai ibadah. 

Salah satu ibadah yang dikerjakan pada saat idul fitri yaitu menghidupkan malamnya dengan takbir, dan  paginya dengan shalat ied. Berikut amalan-amalan sunnah lainnya saat idul fitri

Pertama, shalat Idul Fitri. 
Shalat Idul Fitri hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dikukuhkan). Bahkan, sebagian pendapat menyatakan fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Salah satu dalil kesunnahannya adalah firman Allah dalam surat al-Kautasar:

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

“Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar ayat 2). 

Mayoritas pakar tafsir menegaskan bahwa yang dimaksud shalat di dalam ayat itu adalah shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha). Dalil lainnya adalah bahwa Nabi rutin melaksanakan shalat Idul fitri di setiap tahunnya. Pertama kali beliau mendirikannya adalah pada tahun kedua sejak hijrah ke Madinah, pada tahun di mana perintah kewajiban puasa Ramadhan turun di bulan Sya’bannya (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 39). 

Shalat Idul Fitri disunnahkan bagi laki-laki dan perempuan. Dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah. Lebih utama dilaksanakan di masjid dari pada di tempat lainnya, termasuk lapangan. Hal ini bila daya tampung masjid memadai. Bila sempit, maka lebih utama di lapangan.  

Syekh Kamaluddin al-Damiri berkata:

(وَفِعْلُهَا بِالْمَسْجِدِ أَفْضَلُ)؛ لِأَنَّ الْمَسَاجِدَ خَيْرُ الْبِقَاعِ وَأَشْرَفُهَا وَأَنْظَفُهَا، وَلِأَنَّ الْأَئِمَّةَ لَمْ يَزَالُوْا يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَ بِمَكَّةَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَهَذَا إِذَا اتَّسَعَ كَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَبَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَإِلَّا .. فَالصَّحْرَاءُ أَفْضَلُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى فِي الصَّحْرَاءِ لِضَيْقِ مَسْجِدِهِ، فَلَوْ صَلَّى الْإِمَامُ بِهِمْ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ فِي الْمَسْجِدِ .. كُرِهَ لِلْمَشَقَّةِ عَلَيْهِمْ. 

“Melakukan shalat hari raya di masjid lebih utama, karena masjid-masjid adalah sebaik-baiknya, semulia-mulianya dan sebersih-sebersihnya tempat. Dan karena para Imam senantiasa shalat hari raya di Mekah di Masjidil Haram. Hal ini bila masjid luas, seperti masjidil haram dan Bait al-Maqdis. Bila tidak demikian, maka tanah lapang lebih utama, karena Nabi shalat di lapangan sebab sempitnya masjid beliau. Apabila Imam shalat bersama masyarakat dalam kondisi demikian di masjid, maka makruh, karena memberatkan mereka”. (Syekh Kamaluddin al-Damiri, al-Najm al-Wahhaj, juz 6, hal. 456) 

Khusus bagi perempuan, sunnah keluar rumah untuk shalat Idul fitri di masjid, lapangan atau tempat lainnya bila ia adalah wanita tua yang tidak berpenampilan genit dengan syarat memakai pakaian sederhana tanpa parfum serta mendapat izin suami (bagi yang bersuami). Sedangkan bagi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, seperti wanita muda atau perempuan tua yang genit, yang lebih baik adalah shalat Idul Fitri di rumah, makruh bagi mereka keluar rumah untuk mengikuti shalat Idul Fitri, bahkan haram bila tanpa izin suami atau mengundang syahwat laki-laki yang bukan mahramnya (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani, juz 3, hal. 40). 

Waktu shalat Idul Fitri dimulai sejak terbitnya matahari sampai masuk waktu zhuhur (tergelincirnya matahari), sunnah mengakhirkannya hingga matahari naik satu tombak (7 dzira’/ + 3,36 M), bahkan melakukan shalat Idul Fitri sebelum batas waktu tersebut hukumnya makruh, karena ada ulama yang tidak mengesahkannya (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 39). 

Shalat Idul Fitri dilakukan sebanyak dua rakaat, dengan niat shalat Idul fitri. Contoh lafal niatnya: “nawaitu shalâta ‘îdil fithri sunnatan ma’mûman lillâhi ta‘âlâ (aku niat shalat Idul Fitri sunnah, bermakmum, karena Allah”. Di rakaat pertama, sebelum membaca Surat al-Fatihah, sunnah takbir sebanyak tujuh kali, di rakaat kedua sebelum membaca surat al-Fatihah sebanyak lima kali.

Kedua, mandi. 
Sunnah bagi siapapun, laki-laki, perempuan bahkan wanita yang tengah haidl atau nifas melakukan mandi Idul Fitri. Kesunnahan ini juga berlaku bagi yang tidak menghadiri shalat Idul Fitri, seperti orang sakit. Waktu mandi ini dimulai sejak tengah malam Idul Fitri sampai tenggelamnya matahari di keesokan harinya. Lebih utama dilakukan dilakukan setelah terbit fajar (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarh al-Khathib, juz 1, hal. 252). Contoh niatnya adalah:

 نَوَيْتُ غُسْلَ عِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى 

“Aku niat mandi Idul fitri, sunnah karena Allah”.  

Ketiga, menghidupi malam Id dengan ibadah. 
Dianjurkan menghidupi malam hari raya dengan shalat, membaca shalawat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab, dan bentuk ibadah lainnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi:
 

 مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَيْ الْعِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ 

“Barangsiapa menghidupi dua malam hari raya, hatinya tidak mati di hari matinya beberapa hati”. (HR. al-Daruquthni). 

Hadits ini tergolong lemah, namun tetap bisa dipakai sebab berkaitan dengan keutamaan amal, tidak berbicara halal-haram atau akidah. 

Kesunnahan ini bisa hasil dengan menghidupi sebagian besar malam hari raya. Pendapat lain cukup dengan sesaat. Riwayat dari Ibnu Abbas, dengan cara shalat Isya berjamaah dan bertekad melaksanakan shalat Subuh berjamaah. 

Pada malam hari Idul Fitri ini juga disunnahkan untuk memberbanyak do’a, sebab termasuk waktu yang mustajab (diijabah) sebagaimana terkabulnya doa di malam Jumat, dua malam awal bulan Rajab, malam Idul Adha dan malam Nishfu Sya’ban (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).

Keempat, memperbanyak bacaan takbir. 
Salah satu syi’ar yang identik dengan Idul Fitri adalah kumandang takbirnya. Anjuran memperbanyak takbir ini berdasarkan firman Allah:

 وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ 

“Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 185). 

Ada dua jenis takbir Idul Fitri. Pertama, muqayyad (dibatasi), yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunnah. Setiap selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir. Kedua, mursal (dibebaskan), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap kondisi. Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan di mana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya.  

Kesunnahan takbir Idul fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul Ihramnya Imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri, bagi yang shalat sendirian. Pendapat lain menyatakan waktunya habis saat masuk waktu shalat Id yang dianjurkan, yaitu ketika matahari naik kira-kira satu tombak (+ 3,36 M), baik Imam sudah melaksanakan Takbiratul Ihram atau tidak. (Syekh Sa’id Bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun, Busyra al-Karim, hal. 426). 

Salah satu contoh bacaan takbir yang utama adalah:

 اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ 

(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 54).

Kelima, makan sebelum berangkat shalat Id. 
Sebelum berangkat shalat Idul fitri, disunnahkan makan terlebih dahulu. Anjuran ini berbeda dengan shalat Idul Adha yang disunnahkan makan setelahnya. Hal tersebut karena mengikuti sunnah Nabi. Lebih utama yang dimakan adalah kurma dalam hitungan ganjil, bisa satu butir, tiga butir dan seterusnya. Makruh hukumnya meninggalkan anjuran makan ini sebagaimana dikutip al-Imam al-Nawawi dari kitab al-Umm. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 592).

Keenam, berjalan kaki menuju tempat shalat. 
Berjalan kaki menuju tempat shalat Id hukumnya sunnah, berdasarkan ucapan Sayyidina Ali:
 

 مِنْ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا 
 

“Termasuk sunnah Nabi adalah keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan”. (HR. al-Tirmidzi dan beliau menyatakannya sebagai hadits Hasan). 
 

Bagi yang tidak mampu berjalan kaki seperti orang tua, orang lumpuh dan lain sebagainya diperbolehkan untuk menaiki kendaraan. Demikian pula boleh kepulangan dari shalat Id dilakukan dengan tidak berjalan kaki. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 282).

Ketujuh, membedakan rute jalan pergi dan pulang tempat shalat Id. 
Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari, rute perjalanan pulang dan pergi ke tempat shalat Id hendaknya berbeda, dianjurkan rute keberangkatan lebih panjang dari pada jalan pulang. Di antara hikmahnya adalah agar memperbanyak pahala menuju tempa ibadah. Anjuran ini juga berlaku saat perjalanan haji, membesuk orang sakit dan ibadah lainnya, sebagaimana ditegaskan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Riyadl al-Shalihin. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 591).

Kedelapan, berhias. 
Idul fitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik. Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri. 

Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksnaan shalat Idul Fitri. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).

Kesembilan, tahniah (memberi ucapan selamat). 
Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Di antara dalil kesunnahannya adalah beberapa hadits yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi, beliau dalam kitab Sunannya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya. Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini. 

Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur. Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah taubatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar pertaubatnya diterima. Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. 

Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunnahan tahniah ini.

Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama. 

Berkaitan dengan ihwal tahniah ini, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan:

 ـ (خَاتِمَةٌ) قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ  

“Sebuah penutup. Al-Qamuli berkata, aku tidak melihat dari para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkomentar tentang ucapan selamat hari raya, beberapa tahun dan bulan tertentu seperti yang dilakukan banyak orang. Tetapi al-Hafizh al-Mundziri mengutip dari al-Hafizh al-Maqdisi bahwa beliau menjawab masalah tersebut bahwa orang-orang senantiasa berbeda pendapat di dalamnya. Pendapatku, hal tersebut hukumnya mubah, tidak sunnah, tidak bid’ah.”

وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ بَابُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيدِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَسَاقَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيفَةٍ لَكِنَّ مَجْمُوعَهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ  

“Al-Syihab Ibnu Hajar setelah menelaah hal tersebut menjawab bahwa tahniah disyariatkan. Beliau berargumen bahwa al-Baihaqi membuat bab tersendiri tentang tahniah, beliau berkata; bab riwayat tentang ucapan manusia satu kepada lainnya saat hari raya; semoga Allah menerima kami dan kalian;. Ibnu Hajar menyebutkan statemen al-Baihaqi tentang hadits-hadits dan ucapan para sahabat yang lemah (riwayatnya), akan tetapi rangkain dalil-dalil tersebut bisa dibuat argumen dalam urusan sejenis tahniah ini”.

 ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُومِ التَّهْنِئَةِ لِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوعِيَّةِ سُجُودِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِي قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرَ بِقَبُولِ تَوْبَتِهِ وَمَضَى إلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَامَ إلَيْهِ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَهَنَّأَهُ أَيْ وَأَقَرَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُغْنِي وَنِهَايَةٌ  

“Kemudian Ibnu Hajar berkata; argumen umum persoalan tahniah adalah disyariatkannya sujud syukur dan ta’ziyyah saat mendapat nikmat atau terhindar dari bahaya. Demikian pula hadits riwayat al-Bukhari Muslim dari Ka’ab bin Malik dalam kisah taubatnya saat beliau tidak menghadiri perang Tabuk bahwa ketika beliau diberitau penerimaan taubatnya dan menghadap Nabi, Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan memberinya ucapan selamat, maksudnya Nabi menyetujuinya. Keterangan dari Kitab Mughni dan Nihayah”.

 قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر تَقَبَّلَ اللَّهُ إلَخْ أَيْ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي التَّهْنِئَةِ وَمِنْهُ الْمُصَافَحَةُ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ فِي يَوْمِ الْعِيدِ أَنَّهَا لَا تُطْلَبُ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَمَا بَعْدَ يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ لَكِنْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّهْنِئَةِ فِي هَذِهِ الْأَيَّامِ وَلَا مَانِعَ مِنْهُ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ يَوْمَ الْعِيدِ أَيْضًا أَنَّ وَقْتَ التَّهْنِئَةِ يَدْخُلُ بِالْفَجْرِ لَا بِلَيْلَةِ الْعِيدِ خِلَافًا لِمَا فِي بَعْضِ الْهَوَامِشِ اهـ 

“Syekh Ali Syibramalisi berkata; ucapan Imam al-Ramli Taqabbala Allahu dan seterusnya, maksudnya dan ucapan sejenis dari hal-hal yang ditradisikan dalam tahniah, di antaranya saling bersalaman. Diambil dari ucapannya al-Ramli; di hari raya; bahwa tahniah tidak dianjurkan di hari-hari tasyriq dan setelah hari Idul Fitri, akan tetapi tradisi manusia berlaku dengan memberi ucapan selamat di hari-hari tersebut ; dan (menurutku) tidak ada yang mencegah tradisi tersebut, sebab yang dituju dari tahniah adalah saling mengasihi dan menampakan kebahagiaan. Diambil dari ucapan al-Ramli; di hari raya; bahwa waktu tahniah masuk saat terbitnya fajar hari raya, bukan malam hari raya, hal ini berbeda dengan pendapat yang ada dalam sebagian catatan kaki kitab”.

 وَقَدْ يُقَالُ لَا مَانِعَ مِنْهُ أَيْضًا إذَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِذَلِكَ لِمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤَيِّدُهُ نَدْبُ التَّكْبِيرِ فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ  

“Terkadang diucapkan, tidak ada yang menghalangi hal tersebut apabila kebiasaan terlaku demikian, Karena alasan yang telah disampaikan bahwa tujuan dari tahniah adalah saling mengasihi dan menampakkan kebahagiaan. Sudut pandang ini dikuatkan dengan kesunnahan takbir di hari raya”.

 وَعِبَارَةُ شَيْخِنَا وَتُسَنُّ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيدِ وَنَحْوِهِ مِنْ الْعَامِ وَالشَّهْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ مَعَ الْمُصَافَحَةِ إنْ اتَّحَدَ الْجِنْسُ فَلَا يُصَافِحُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ وَلَا عَكْسُهُ وَمِثْلُهَا الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ وَتُسَنُّ إجَابَتُهَا بِنَحْوِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْكُمْ أَحْيَاكُمْ اللَّهُ لِأَمْثَالِهِ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ اهـ. 

“Redaksi guru kami (Syekh Ibrahim al-Bajuri); sunnah berucap selamat di hari raya dan lainnya berupa tahun dan bulan tertentu menurut pendapat mu’tamad (yang dibuat pegangan) beserta salam-salaman bila dengan satu jenis. Maka tidak boleh laki-laki bersalaman dengan perempuan, demikian pula sebaliknya. Dan sama dengan perempuan adalah laki-laki belia yang tampan. Sunnah menjawab ucapan selamat dengan redaksi semisal “Semoga Allah menerima kalian”, Semoga Allah menghidupi kalian untuk hal yang sama” “Semoga setiap tahun kalian berada dalam kebaikan”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani, juz 3, hal. 56).

Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online
 

https://jabar.nu.or.id/ubudiyah/amalan-amalan-sunnah-saat-hari-raya-idul-fitri-EXV3P

Author: Zant