Oleh: Muhammad Zainul Millah *)
Kurban atau udhiyah adalah ritual ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara menyembelih binatang berupa kambing, sapi, dan unta pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik. Hukum dasar dari kurban adalah sunah, dan anjuran tersebut diperuntukkan kepada orang-orang yang memiliki harta lebih atau dapat disebut orang kaya.
Hukum kurban dapat berubah menjadi wajib dengan dua hal. Pertama dengan nazar. Orang yang mengucapkan nazar untuk menyembelih kurban, maka hukum kurbannya menjadi wajib. Kedua dengan ucapan kesanggupan berkurban dan telah menentukan binatangnya, seperti seseorang menyatakan “aku jadikan kambing ini sebagai kurban”. Dengan pernyataan tersebut, maka hukum kurbannya juga menjadi wajib.
Dalam mendistribusikan daging kurban, terjadi perbedaan aturan antara kurban sunah dan wajib.
Dalam kurban sunah, daging yang harus disedekahkan kepada fakir miskin hanyalah sedikit. Artinya dalam mendistribusikan daging kurban sunah diperbolehkan hanya memberikan satu dua suap daging untuk fakir miskin dan selebihnya dimakan sendiri, meskipun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap saja untuk mengambil berkah kurban.
Hal ini berbeda dengan aturan yang ada dalam kurban wajib. Pihak yang berkurban beserta keluarganya tidak boleh sama sekali untuk memakan daging kurbannya. Ia wajib menyedekahkan semuanya kepada fakir miskin yang ada di daerahnya.
Meski demikian aturannya, realita yang ada, terkadang panitia kurban langsung saja membagi daging kurban menjadi beberapa potongan kecil dan memasukkannya ke dalam plastik, kemudian langsung membagikannya kepada para tetangga sekitar tanpa memilah mana keluarga yang masuk dalam kategori fakir miskin, dan mana yang masuk kategori keluarga mampu atau kaya.
Lantas, apakah cara mendistribusikan daging kurban wajib seperti di atas dapat dibenarkan?
Ada dua poin yang menjadi pokok permasalahan. Pertama hukum menyerahkan daging kurban wajib kepada orang kaya. Dalam kajian fiqihnya, kurban wajib harus disedekahkan semua kepada fakir miskin. Ini menegaskan bahwa kurban wajib tidak boleh dimakan oleh pihak yang berkurban, serta tidak boleh pula untuk diberikan kepada orang kaya, karena daging kurban bagi orang kaya tidak disebut sedekah melainkan sebatas ith’am (memberikan hidangan).
Karena itu, jika kurban wajib tidak tersalurkan seluruhnya kepada fakir miskin, semisal ada sebagian yang dimakan oleh pihak yang berkurban, maka ia harus menggantinya dengan daging lain dan menyerahkannya kepada fakir miskin.
Dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal disebutkan:
وَأَمَّا الْأُضْحِيَّةُ الْمَنْذُورَةُ فَيَجِبُ التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِهَا نِيئًا كَمَا تَقَدَّمَ ا هـ مِنْ شَرْحَيْ م ر وحج
Artinya, “Adapun kurban yang dinazari maka harus disumbangkan seluruhnya, sebagaimana disebutkan di atas dalam penjelasan Ar-Ramli dan Ibnu Hajar.” (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013] juz VIII, halaman 226).
فَلَا يَجُوْزُ الْأَكْلُ مِنْهَا يَنْبَغِي وَلَا إِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ اهـ سم قَالَ الْمُغْنِي فَإِنْ أَكَلَ أَيْ الْمُضَحِّي مِنْهَا شَيْئًا غَرَمَ بَدَلَهُ اهـ
Artinya, “(Tidak boleh memakannya) dan mestinya tidak boleh diberikan kepada orang kaya, demikian penjelasan Ibnu Qasim. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “Dan jika orang yang berkurban memakannya, maka dia didenda untuk menggantinya”.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2015] juz XII, halaman 280).
Kedua, standar orang kaya dalam bab udhiyah. Dalam hal ini, ulama berpeda pendapat dalam menentukan standarnya. Menurut imam Ar-Ramli standar orang kaya dalam udhiyah adalah orang yang haram menerima zakat, sedangkan orang fakir dalam udhiyah adalah orang yang berhak menerima zakat.
Pendapat lain disampaikan oleh imam At-Thabalawi, beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang mampu untuk melaksanakan kurban, yaitu orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok yang dipertimbangkan dalam zakat fitrah.
قَوْلُهُ: وَلَهُ إطْعَامُ أَغْنِيَاءَ، لَمْ يُبَيِّنُوا الْمُرَادَ بِالْغِنَى هُنَا وَجَوَّزَ م ر أَنَّهُ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ وَالْفَقِيرُ هُنَا مَنْ تَحِلُّ لَهُ الزَّكَاةُ وَجَوَّزَ طب أَنَّ الْغَنِيَّ مَنْ يَقْدِرُ عَلَى الْأُضْحِيَّةِ وَهُوَ مَنْ يَمْلِكُ ثَمَنَهَا فَاضِلًا عَمَّا يُعْتَبَرُ فَضْلُ الْفِطْرَةِ عَنْهُ فَلْيُحَرَّرْ سم
Artinya, “(Ungkapan: “Dan ia boleh memberi makan kepada orang kaya”). Ulama tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kaya di sini. Imam Ar-Ramli membolehkan yang dimaksud dengan orang kaya adalah orang yang diharamkan menerima zakat, dan orang miskin di sini adalah orang yang dihalalkan menerima zakat.
Sementara menurut At-Thabalawi boleh pula orang kaya adalah orang yang mampu menunaikan kurbannya, dan dia adalah orang yang memiliki harga hewan kurban, melebihi kebutuhan yang dipertimbangkan lebih pada zakat fitrah.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi ‘alal Manhaj [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] juz IV, halaman 401).
Simpulan Hukum
Kurban wajib tidak boleh diberikan kepada selain fakir miskin. Jika terjadi pendistribusian kepada selain fakir miskin, maka wajib diganti dengan daging lain dan diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam.
*) Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jatim.
https://jatim.nu.or.id/keislaman/apakah-orang-kaya-boleh-menerima-daging-kurban-wajib-tfoX4