Belajar dari Haji Tanpa Visa Resmi

Tiba-tiba ada pemandangan yang tak biasa. Tengah malam pula. Di lobby hotel kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah. Ada perempuan baya. Berpakaian serba hitam. Jilbab hitam. Abaya juga hitam. Pokoknya semua serba hitam. Dia sendirian. Tak ada keluarga di sampingnya. Suami atau anak juga tak ada di sisinya. Pemandangan itu betul-betul tak biasa. Karena lobby itu memang biasa digunakan para petugas haji Indonesia di Arab Saudi untuk melepas lelah. Mereka semua berseragam resmi petugas. Kalaulah bukan petugas, yang ada di situ adalah jemaah haji yang sedang membutuhkan bantuan. Itu pun juga kalau tidak berbusana ihram, ya berbusana serba putih.

 

Tapi malam jelang puncak itu, perempuan berbaju serba hitam itu sedang menikmati makanan. Teman-teman petugas haji di Daker itu memberinya makan, minum dan buah. Memang dia tampak menyantap jamuan dari teman-teman petugas haji itu dengan lahapnya. Tapi kuyakin, hatinya sedang gundah. Lahap, mungkin karena dia lama tak makan. Lama bergelut dengan rasa lapar dan haus yang membuncah. Tapi gundah, karena dia sendirian. Terlepas dari rombongan. Tak ada satupun bersamanya dari rombongannya.

 

Lalu, kami yang baru saja melakukan monitoring di Jamarat tertaik untuk mengetahui lebih jauh tentang perempuan itu. Tiba-tiba terdengar kalimat dari sampingku. “Pak Zaki, ibu itu dari Jawa Timur. Coba diajak bicara,” begitu suara itu kudengar. Dari sesama anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024. Karena aku satu-satunya petugas di tim itu yang berasal dari Jawa Timur, aku pun lalu mencoba membangun komunikasi dengan perempuan baya itu. Kucoba untuk mengajaknya bicara. Dari yang ringan-ringan dulu. Tentang kesehatannya. Baru usai itu mulai masuk pada pembicaraan mengenai siapa dia dan latar belakangnya.  

 

Teman-teman Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 itu memintaku untuk berkomunikasi dengan perempuan baya itu karena satu hal. Dia tak membawa satu bukti identitas pun bersama dirinya. Teman-teman petugas haji di kantor Daker itu sebelumnya melapor ke pimpinan Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 bahwa perempuan baya ini ditemukan petugas terlantar di lapangan tanpa ada dokumen satu pun bersamanya. Paspor tak ada. KTP, apalagi. Ditanya “Bawa HP Bu?”, langsung dijawab: “Tak ada semua. Hilang entah ke mana.” Karena terlantar inilah, dia dibawa petugas haji ke kantor Daker.

 

“Ibu namanya siapa?” tanyaku mengawali pembicaraan dengan perempuan baya itu. “Pokoknya, kalau ingat Nabi Muhammad, pasti akan hafal nama saya,” begitu jawabnya spontan. Mendengar jawaban ini, aku pun bergumam dalam hati: “Asyik juga nih ini orang dalam cara menjelaskan nama dirinya.” Temanku di sebelahku malah berseloroh begini: “Ini orang pede banget sih.” “Jadi, siapa nama Ibu?” tanyaku sejurus kemudian. “Nama saya Siti Khadijah,” jawabnya sambil menyantap nasi yang sedang dipegangnya. Sambil sesekali memasukkan suapan nasi ke mulutnya, ibu itu menjelaskan dirinya secara pendek-pendek. “Oooh, inggih,” sahutku meresponnya pendek juga.

 

Usai bertanya nama, lalu kutanya ibu itu tentang asalnya: “Ibu dari mana?” “Saya dari Jember,” jawabnya dengan segera. Karena sesama orang Jawa Timur, aku pun langsung paham kota asal si ibu. Tapi, untuk mendapatkan informasi lebih detail, aku pun lalu bertanya lebih jauh tentang asal kecamatan dan bahkan desanya. “Saya tinggal di Kecamatan Jenggawah. Desanya Cangkring,” demikian penjelasan sang ibu itu tentang detail asal tinggalnya. Mendengar jawaban ini, insting investigasiku berjalan. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mendapatkan data konkret bahwa informasi yang diberikan si perempuan baya ini benar adanya. Dengan begitu, langkah lanjutan bisa diambil.

 

Namun sebelum langkah lanjutan kuambil, aku mencoba menggali informasi dari perempuan baya itu tentang bagaimana dia bisa datang ke Arab Saudi. “Ibu berangkat lewat travel apa?” tanyaku kepadanya. “Saya nggak hafal. Yang saya ingat, travelnya dari Surabaya,” begitu jawabnya. Sampai pada titik ini, kekhawatiranku mulai meninggi. Dalam hati kubertanya: “Lho, ibu ini kan dari Jember, kenapa memilih travel dari Surabaya?” Pertanyaanku ini berlanjut ke pertanyaan-pertanyaan berikutnya: “Bukankah di Jember juga banyak travel? Kenapa memilih travel dari Surabaya? Ini pasti ada sesuatu yang menyisakan masalah nih.” Apalagi, dia menginformasikan telah membayar ke travel itu uang yang diklaim sebagai biaya haji sebesar lebih dari Rp. 150 juta. Kekhawatiranku itu pun makin memuncak.

 

Lalu kutanya lebih jauh: “Terus, apa yang Ibu ingat?” Terhadap pertanyaan ini, dia langsung kontan menjawab begini: “Saya hanya tahu nama perempuan yang punya travel itu. Namanya Astutik. Itu saja.” Mendengar jawaban ini, aku pun makin khawatir. Pikiranku lantas kemana-mana. Aku khawatir kalau-kalau perempuan baya ini telah menjadi korban pemberangkatan haji dengan visa tidak resmi. Alias visa nonhaji. Alias visa ziarah. Yakni, visa yang tidak akan pernah membuat pemegangya bisa mengikuti prosesi ibadah haji di tahun 1145 H/2024 M ini. Sebab, pada musim haji ini, hanya haji dengan visa resmi haji yang diperbolehkan. Sisanya tidak.

 

Melihat jawaban dan situasi diri perempuan baya itu, kekhawatiranku itu tampak lebih banyak benar adanya daripada tidak. Tapi aku tak bisa berbuat banyak atas kondisi itu. Yang aku bisa lakukan hanyalah membantu melacak kebenaran identitasnya agar bisa dilakukan proses perbantuan lanjutan. Nah, berbekal nama diri dan asal tinggalnya seperti yan aku peroleh di atas, mulai dari nama kota hingga desa, otakku langsung berputar: “Aku harus mengontak kawanku atau seniorku di Jember.” Dan yang terbayang dalam pikiranku adalah pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) di kabupaten itu. Masuklah ke pikiranku nama Plt Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember, Saiful Bahri.  

 

Pikiranku saat itu begini. Karena menjabat pelaksana tugas ketua PCNU kabupaten itu, maka dia pasti bisa menggerakkan strukturnya untuk melacak kebenaran informasi itu. Sebab, perintah yang kuterima dari pimpinan Tim Monitoring dan Evaluasi Haji tahun 2024 adalah memastikan kebenaran identitas perempuan baya itu. Agar dari kebenaran informasi mengenai identitas itu, baru langkah lanjutan bisa diambil untuk membantu perempuan baya itu dari keterlantaran di Arab Saudi.

 

Karena di Indonesia waktu sudah menunjuk ke dini hari, panggilan teleponku ke Plt Ketua PCNU Jember itu tidak terangkat. “Pasti beliau sudah tidur,” yakinku pada diriku jelang tengah malam Waktu Arab Saudi (WAS) itu. Lalu, kukirim saja dua gambar foto dari perempuan baya itu ke nomor WhatsApp-nya. Besar harapanku, ketua PCNU yang lebih akrab dipanggil Ji Pul itu akan segera merespon pesan gambarku. Minimal dia akan nanya. Setelah malam berlalu dan waktu subuh pun tiba, betul saja, dia langsung menjawab kiriman pesan WhatsApp-ku.

 

“Sopo iki Prof,” tanyanya ke nomor WhatsApp-ku dalam Bahasa Jawa. Terjemahnya, “Siapa itu, Prof.”  Aku pun langsung menyambar pertanyaan itu dengan jawaban panjang nan detail seperti ini: “Itu jemaah haji nonkloter alias bukan visa haji. Terlantar dan ngakunya semua dokumen hilang, termasuk HP. Dia ngakunya dari Desa Cangkring, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember. Namanya Siti Khadijah. Mohon bantuan diam-diam. Mintakan ranting melacak kebenarannya. Jika betul, kasihan juga di Makkah tanpa dokumen dan bukan jemaah haji resmi Ji.”    

     

Seusai menjawab seperti di atas, kuulangi lagi permohonanku ke Ji Pul itu. “Diam diam aja Ji. Karena dia takut keluarganya ngakunya ada yang sakit jantung,” begitu pintaku ke Ji Pul untuk melacak kebenaran identitas perempuan baya itu. Namun aku memintanya agar itu dilakukan dengan cara yang sangat halus dan sedikit berpola seperti intel Polisi. Bergeraklah Ji Pul. Dia gunakan struktur NU di bawah kewenangannya untuk melakukan pelacakan dan investigasi yang teliti tentang kebenaran identitas perempuan baya itu.

 

“Bender Prof, beliau orang Cangkring Jenggawah, apa yang dibutuhkan untuk bantu beliau, aku wis njaluk tolong ketua MWC untuk koordinasi karo kepala desa dan Polsek.” Demikian jawaban yang dikirim Ji Pul ke saya. Sebagai hasil pelacakan yang dia lakukan. Dia mengkonfirmasi kebeneran identitas perempuan baya itu. Dia gunakan kewenangan yang dimiliki. Untuk betul-betul menggerakkan struktur di bawahnya. Bahkan koordinasi menyamping ke kepolisian pun dilakukan. Agar hasil yang didapatkan valid. Dan alhamdulillah akhirnya terkonfirmasi kebenaran identitas perempuan baya itu.

 

Hasil pelacakan itu lalu kami laporkan ke pimpinan Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024. Selanjutnya, proses perbantuan diserahkan ke kantor perwakilan Indonesia di Arab Saudi. Karena soal itu telah menjadi kewenangan kantor perwakilan itu. Pertugas haji Indonesia di Arab Saudi, termasuk Tim Monitoring dan Evaluasi, tak punya kewenangan untuk berurusan dengan keimigrasian, termasuk pelanggaran atasnya. Karena sudah ada otoritas yang sudah diamanahkan ke Kantor Perwakilan Pemerintah Indonesia itu.

 

Kisah yang kuceritakan ini harus menjadi pelajaran bersama. Pertama, transformasi kebijakan cukup mendasar dalam tata kelola haji telah diambil tahun 1445 H/2024 M ini oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Hanya pemegang visa resmi haji yang bisa menjalankan aktivitas resmi ibadah haji di Tanah Suci. Maka, jangan pernah terbuai oleh pernyataan promotif apapun dan dari siapapun bahwa berhaji bisa dilaksanakan dengan visa nonhaji atau visa ziarah atau apapun namanya. Pelaksanaan haji tahun 1445 H/2024 M menjadi titik awal transformasi kebijakan tata kelola haji baru itu.  

 

Kedua, untuk tahun-tahun ke depan, termasuk musim haji 1446 H/2025 M mendatang, sangat sayang sekali untuk menafikan informasi-informasi yang valid soal pelaksanaan ibadah haji di tahun 1445 H/2024 M ini. Sebab, justru banyak hal baru yang hanya terjadi di musim haji tahun ini. Di antaranya patut disebut. Datang berhaji harus dengan visa resmi haji. Beraktivitas terutama jelang, selama dan minggu awal pasca Armuzna harus membawa serta smart card atau nusuk. Layanan transportasi hingga konsumsi yang makin memuaskan juga menandai tata kelola baru haji.

 

Oleh Akh. Muzakki, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya dan Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024


https://jatim.nu.or.id/rehat/belajar-dari-haji-tanpa-visa-resmi-yaazE

Author: Zant