Bila musim mondok atau mesantren tiba, seperti bulan ini, aku selalu teringat saat aku berangkat mondok ke pesantren Lirboyo, Kediri, tahun 1970.
Lambaian tangan ayah, ibu, adik-adik dan keluarga serta para tetangga di stasiun kereta api di Cirebon itu masih terbayang begitu jelas. Suara-suara dan doa mereka masih terngiang-ngiang. Dari balik jendela kereta ekonomi “Lansam” yang berjalan tertatih-tatih dan perlahan-lahan itu, aku melihat wajah mereka sepertinya gembira, tanpa tahu apa sesungguhnya yang dirasakan hati mereka, terutama ibu dan ayah.
Aku, anak kedua mereka hari itu akan meninggalkan mereka untuk mondok (mesantren) di sebuah desa di kota Kediri, Jawa Timur, Lirboyo, menyusul kakak dan pamanku yang tiga tahun sebelumnya sudah mesantren di sana dan telah meninggalkannya untuk pindah ke pesantren lain guna menimba ilmu dari guru-guru dan kiai-kiai yang lain. Jika sebentar lagi ayah dan ibu pulang ke rumah, mereka tentu tak lagi akan mendapati aku di sana, seperti hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya.
Mereka tak akan lagi melihat aku mengaji al-Qur’an, bermain layang-layang, mencari ikan di “kalen” di belakang rumah, atau main sepak bola, atau kegiatan-kegiatan yang lain.
Tangan mereka yang melambai-lambai itu tentu bicara : “Selamat Jalan anakku, ponakanku, temanku”. Dan lambaian tanganku menjawab tanpa suara : “Selamat Tinggal ibu, ayah, adik-adik, paman, teman-teman main, teman-teman santri dan para tetanggaku”.
Perpisahan
Lambaian tangan
Selalu saja memilukan
Lidah-lidah tak bergerak
Mulut-mulut terkunci
Bisu, lengang, sepi
Tapi waktu terus berjalan tanpa henti
Yang tersisa hanyalah kenangan
Yang tak mungkin kembali
Kereta terus melaju dengan sedikit bergegas menginjak rel-rel besi yang terpotong-potong setiap sekian meter. Suara mesin yang digerakkan dengan batu bara terdengar begitu jelas. Jug jes jug jes.
Dari jendela aku melihat kembali ke arah para pengantar yang berdiri di pinggir rel. Tetapi aku tak lagi melihatnya. Mereka telah pulang. Aku mengambil tempat duduk. Sambil menyandarkan kepala mataku menatap ke langit-langit gerbong, membayangkan peristiwa tadi siang yang begitu mengesankan dan tak akan pernah aku lupakan. Bersambung.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU