Setiap bulan Ramadhan, orang berlomba-lomba berbuat kebaikan. Salah satunya adalah berbagi ta’jil. Tak heran di masjid dan mushala, jamaah shalat Maghrib mendapat takjil gratis, bahkan pengendara bermotor dan pejalan kaki di torotoar jalan, dapat takjil dari Ormas dan sebagainya. Lalu apakah berbagi takjil itu tradisi Islam?
Sebelum menjelaskan hal itu, perlu diketahui bahwa takjil adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab عجل dalam bentuk mashdar yang menjadi تعجيل yang berarti menyegerakan.
Dalam perkembangannya, takjil di Indonesia menjadi istilah hidangan untuk berbuka puasa. Takjil terdiri dari makanan dan minuman siap saji atau siap disantap, seperti soft drink, kulak, kurma, nasi bungkusan, dan lainnya.
Secara faktual, ternyata menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang berpuasa (takjil) tidak hanya ada di Indonesia, di seluruh manca negara pasti ada, terlebih di negara Islam.
Menyediakan atau memberi menu takjil kepada orang lain merupakan ajaran Islam yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dan ulama. Anjuran ini disandarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan oleh Zaid bin Khalid al-Juhani. Rasulullah bersabda.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَايْنْقُضُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئا
Artinya: Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun pun juga.
Di masa Nabi Muhammad SAW, tradisi menyegerakan berbuka (takjil) menjadi sebuah ajaran agama. Karena takjil menjadi imbauan kepada sahabat yang berpuasa. Sebagaimana disabdakan dalam haditsnya.
عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يزال الناس بخير ماعَجَّلُوا الفطر (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang senantiasa akan selalu bersama dengan kebaikan, selama mereka masih menyegerakan buka puasa.“
Adapun menu berbuka puasa yang lumrah dikonsumsi oleh Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan ulama adalah yang manis-manis, seperti kurma dan sejenisnya. Jika tidak ada kurma, maka berbuka dengan air. Sebagaimana dalam hadits Nabi SAW.
انّ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطبات قَبْلَ أَنْ يُصَلِّي فَأِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَات فَعَلَى تمَرَات فَأِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَات مِنْ مَاء (رواه أحمد)
Artinya: Rasulullah SAW biasa berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthob (kurma basah) maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian, beliau berbuka dengan seteguk air.
Al-Mubarakfuri dalam kitab مرعات المفاتيح menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi ketika berbuka puasa. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata setelah berpuasa seharian. Demikian pula dengan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menyediakan buka puasa (takjil) bagi orang yang berpuasa merupakan perbuatan yang mendapatkan pahala besar. Bahkan Nabi SAW menganjurkan pada sahabat sehingga ajaran Islam itu menjadi sebuah tradisi yang sampai detik ini dilestarikan oleh warga NU dan umat Islam lainnya. Sementara yang perlu dikonsumsi terlebih dahulu saat membatalkan puasa adalah makanan dan minuman yang manis-manis.
https://jatim.nu.or.id/keislaman/berbagi-takjil-apakah-termasuk-sunnah-nabi-C3Q7a