Cerita Pendek Annisa Ratna Pratiwi
Kekacauan penerbangan melanda sebagian besar kawasan Eropa akibat salju yang menggila, baru dua pekan mereda. Syukurlah, pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Internasional Kopenhagen dengan mulus menjelang pukul sembilan pagi waktu setempat. Perjalanan pun berlanjut menuju KBRI Kopenhagen.
Muntahan salju tebal terhampar sepanjang mata memandang. Kehangatan sinar mentari seolah sengaja menyambut kedatangan kami. Ini adalah matahari pertama sejak beberapa bulan terakhir. Membiarkan kaca jendela mobil terbuka, kuabadikan karya terindah-Nya bersama kawan setia, Nikon D3100.
“Nanti jangan heran lihat banyak orang joging di cuaca ekstrem begini. Entah itu pagi, siang atau malam. Enggak peduli musim salju, orang sini memang gila lari,” kata Pak Isa, staf KBRI yang menjemputku dan peserta seminar lainnya.
Joging. Aku manggut-manggut. “Kalau boleh tahu, transportasi yang digemari warga sini apa, Pak?” tanyaku.
“Sepeda. Pemerintah kota juga memanjakan pesepeda dengan menyediakan jalur khusus yang mengular ke seantero kota, Mbak.” Beliau tersenyum. Ramah betul orang ini.
Mengatupkan mata, kumenghirup napas panjang, menikmati aroma salju yang baunya ala mancanegara. Nikmatnya. Alhamdulillah.
***
Beberapa orang berkumpul di kamarku, ada tukang urut pula.
Loh, kenapa dengan kedua lutut dan sikuku, dahi, serta bibirku? Dari mana datangnya? Memangnya aku punya penyakit dalam? Lalu setelah diurut, muncul luka-luka di sekujur tubuhku? Begitu kah? Aneh. Bisa-bisanya berpikiran seperti itu. Aku linglung.
***
Wanita di hadapanku tersenyum. “Tadi Fenesa sama yang lain datang. Enggak tega bangunin putri tidur Ibu, mereka titipkan ini dan langsung pamit pulang.” Ia berikan kantung plastik minimarket berisi beberapa roti dan biskuit kesukaanku.
“Terima kasih, Bu.” Perih. Luka yang berada di sekitar bibir dan hidung sedikit menyulitkanku berbicara. Aduh, jontor pula.
***
Tak percaya. Bersepeda ke Taman Kebalen, kompleks perumahan dekat rumahku yang baru-baru ini ditinggal para penghuninya? Seingatku rencana kami batal karena hujan turun.
Ternyata aku, adikku, dan lima kawan lainnya pergi bakda Ashar. Cuaca cerah. Aku memboncengkan Nuriel kala melintasi turunan terjal. Karena kehilangan keseimbangan kami pun jatuh dari sepeda. Aku tak sadarkan diri.
***
Memutar kaset kenangan dua belas tahun silam. Meskipun adikku hanya mengalami lecet di bagian siku kanannya, tetap saja itu sebuah kecerobohan. Kalau kutuntun sepedaku perlahan bukan mengendarainya berboncengan, mungkin adegan itu tak ada dalam film kehidupanku. Tapi lumayan, cerita untuk anak-cucu agar tidak ditiru.
***
Memang kota surga bagi pesepeda dan pejalan kaki. Semalam kami kembali ke penginapan dari sebuah acara selepas pukul sepuluh malam saja. Di beberapa ruas jalan masih ada orang berlari. Kubuka jendela kamar pagi ini, pemandangan pertama yang kulihat adalah sepasang kakek-nenek bersepeda bersama. Entah mengapa imajinasiku tertuju pada wajah pasangan senja di film animasi Up. Romantis.
“Jadwal pagi ini kosong, Za.” Dewi meletakkan tabletnya di atas meja, “Yuk ah, take a walk.” Bersiap-siap, ia kenakan baju berlapis empat.
“Nyawa kita dua hari lagi. Pokoknya pakai ilmu aji mumpung!”
“Eh, gimana kalau pinjam sepeda sama Pak Isa?” ia mengerlingku. “Brilliant idea!” jawabku sambil memetik jari, “Well, I’ll say it to him.”
Berdandan di muka cermin. Merias dirinya dengan sapuan warna tipis di bibir, tersenyum narsis. Dewi, Dewi.
***
Lalu lintas lancar, tak ada riuh rendah klakson atau raungan kendaraan bermotor yang ngebut. Tak ada bangunan tinggi menjulang. Rata-rata tinggi gedung di sini hanya empat sampai delapan lantai. Bangunan kuno berarsitektur abad pertengahan menghiasi kota berdampingan dengan bangunan modern bergaya kontemporer. Mataku tak sanggup berkedip barang sedetik.
Hans Christian Andersen, sastrawan besar yang dikenal dunia dengan cerita dongengnya. Aku menjumpai Andersen lewat patungnya di pusat kota, tepat di sisi kiri Radhuspladsen (balai kota). Penghormatan masyarakat Denmark bisa dilihat dari pemberian nama lokasi di pusat kota itu, HC Andersen Boulevard.
Ya Allah, betapa bahagianya diriku. Entahlah. Saking bahagianya sampai-sampai bingung mau berkata apa.
Salju di mana-mana. Andai layak dimakan, sudah kubuat es serut spesial kayaknya.
Kaki ini masih kuat mengayuh. Semangat membara seakan melelehkan gumpalan putih dingin yang tercecer di tanah. Bersepeda, ahh… tiada kapoknya.
“Datang dari daerah tropis yang panas, tapi keluyuran di tempat beginian”
“Kostum kita kan udah kayak kue lapis, Dew.”
Suasana yang begitu memukau pikirku sambil membuka Nikon D3100, lalu kubidikkan pada lautan membeku itu. Terima kasih telah diberi kesempatan menikmati semua ini, duhai Penguasa Mayapada. Tasbih, tahmid, dan takbir, tak henti-hentinya kurapalkan dalam hati.
Kami bergaya dengan latar Little Mermaide di pantai Lageline, patung yang menjadi ikon tak resmi kota Kopenhagen. Mungkin kalau Andersen dan Mermaide berpose menggunakan sepeda akan terlihat lebih eksotis. Imajinasi yang konyol.
Tunggu dulu, sepertinya sedari tadi gadis berwajah oriental itu terus memerhatikan dan mengambil gambar ke arah kami. Dia maju mendekat.
Ia tersenyum. “Hi.” Suaranya lembut. “Hi. Good morning. Are you an Asian?”
Tubuhnya agak membungkuk layaknya orang yang memberikan salam, Good morning, Dear. Yes, I’m.” Ia mengulurkan tangannya, “I’m Ha Na Moller, and you?”
Kami bersalaman, “I’m Salza Yieun and she is my friend, Dewi.”
“Hi. I’m Dewi.”
Kami berbincang-bincang. Dia mahasiswi semester akhir di Department of Computer Science, University of Copenhagen. Ibu Ha Na Korea-Indo, tapi Ayahnya asli orang sini. Aku suka gaya berhijabnya, sederhana, rapi dan tampak nyaman. Berkunjung di kota yang menakjubkan, dipertemukan dengan teman yang menakjubkan, pula. Betapa beruntungnya.
Karena memiliki darah kebangsaan dan penampilan—berhijab—yang sama mungkin, Ha Na terlihat nyaman berbagi kisah dengan kami. Atau karena Dewi yang ceriwis dan sksd, ndilalah cocok dengan gadis oriental itu? Entahlah. Cukup banyak Na Na bercerita tentang pengalaman awal-awal ia mengenakan hijab. Rasanya asing, karena gaya busana itu merupakan minoritas, tapi karena bimbingan dan motivasi dari sang ibu, tekadnya semakin kuat untuk menutup auratnya sebagai seorang Muslimah.
Ha Na juga membawa sepeda. Setiap warga Denmark umumnya memiliki minimal sebuah sepeda. Kebetulan searah, kami pulang bersama.
Di persimpangan kami berpisah. “Falvel, Ha Na!” (Baca: Fawel, Ha Na. Artinya Dah Ha Na). Sejujurnya aku tak rela.
“På gensyn!” (Baca: Po gensun. Artinya Sampai jumpa lagi).
“Kapan-kapan video call-an yah, terus tunjukin ke aku penampakan musim gugur. Eh musim semi juga boleh,” ujar Dewi.
Ha Na mengiyakan seraya tersenyum. Makin terlihat manis saja. “Insyallah. Nanti sekalian musim mangga dan musim rambutan juga, ya.” Comelnya, gadis ini.
Mengayuh sepeda di kota yang membeku, benar-benar menyenangkan. Seperti mimpi. Tolong jangan bangunkan aku, bunga tidur ini terlalu indah.
Rasa tak ingin pulang ke tanah air kian meluap-luap, namun aku tak bisa tetap tinggal. Semoga dapat mengunjungimu lagi Kopenhagen. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
***
Annisa Ratna Pratiwi, lahir di Tegal 28 Oktober 1993. Seorang guru yang ingin terus berguru dan berburu ilmu.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/cerpen/bersepeda-di-kota-yang-beku-gbkAX