Usai membincang banyak serpihan pemikiran dalam perjalanan menuju area bawah Gua Hira itu, rupanya kami bertiga (bersama Mahmud Syaltut dan Masnun Tahir) sepakat pada satu jawaban: bersyukur. Ya, bersyukur menjadi kunci sukses haji. “Lihat orang-orang yang sukses menjalani seluruh ibadah hajinya dengan tenang dan damainya. Kata kuncinya, bersyukur!” Begitu ujar Mahmud Syaltut menegaskan simpulan itu.
Kami pun lalu membanding-bandingkan mereka jemaah haji yang masih suka marah-marah kepada selainnya dan mereka yang menjalani seluruh rangkaian ibadah haji dengan tenang dan damainya. Semakin yakinlah kami bertiga pada pentingnya bersyukur sebagai hulu sukses. Lebih-lebih pada ibadah haji.
Sukses dalam kaitan ini tentu harus diberi konteks. Harus dimaknai dalam cakupan tertentu. Saya menyebut adanya unsur engagement (keterlibatan) jemaah haji pada substansi ibadah haji. Keterlibatan di sini meliputi dua aspek: spiritual dan material engagement. Istilah pertama menunjuk ke terjadinya transformasi pada diri jemaah haji yang mengikat keyakinan, sikap, dan perilaku ke dalam nilai dan kekuatan spiritual ibadah haji. Ketenangan jiwa, kedamaian hati, dan kedalaman batin adalah bagian dari indikator sukses haji dari perspektif spiritual engagement. Ungkapan pernyataan “Kan bukan untuk senang-senang!” oleh jemaah haji bernama Pak Puryantono di atas menjadi indikasi awal munculnya spiritual engagement ini.
Jemaah haji juga akan bisa meraih material engagement jika seluruh proses ibadah haji diikuti dengan penuh khusyuk (tenang) dan khudlu’ (rendah hati). Dalam gerak hidup apapun, tidak ada yang mudah saat massa dalam jumlah besar hingga jutaan berkumpul pada satu titik area yang sama di waktu yang sama pula. Ruang privat seseorang pasti harus dinegosiasikan dengan ruang publik. Kepentingan pribadi seseorang pasti harus didialogkan dengan kepentingan bersama. Di sinilah ego seseorang ditakar oleh kemashalatan publik. Kalimat “terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar” oleh jemaah haji bernama Bu Nuro di atas menjadi penanda awal tumbuhnya material engagement sebagaimana dimaksud di atas.
Maka, ungkapan “Kan bukan untuk senang-senang!” oleh Pak Puryantono dan “terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar” oleh Bu Nuro di atas adalah gabungan dari spiritual dan material engagement. Hadirnya dua jenis engagement ini sangat dibutuhkan oleh diri jemaah haji. Dan keduanya menjadi pembentuk nilai kebajikan di balik ritul ibadah haji. Maka, uang yang telah dikeluarkan dalam jumlah besar, tenaga yang dikerahkan dengan kuatnya, serta pikiran dan waktu yang digunakan untuk saat yang cukup lama tak akan berarti dan berdampak apa-apa jika spiritual dan material engagement gagal hadir dalam diri jemaah haji.
Mengapa spiritual dan material engagement penting hadir dalam diri jemaah haji? Tentu dari sisi fasilitasi, baik Pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi sudah mempersiapkan maksimal. Tapi, penting dipahami, maisng-masing memiliki kewenangan. Dan masing-masing harus mengormati batasan kewenangan satu sama lain. Sebab, banyak hal yang berada di luar kewenangan penyelenggara haji Indonesia. Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) sebagai titik puncak ibadah haji, sebagai contoh, adalah kewenangan dominan (untuk tidak mengatakan mutlak) pemegang otoritas Arab Saudi.
Belum lagi, semakin bertambah tahun, semakin bertambah pula banyaknya jemaah haji dari seluruh dunia. Sementara di ujung yang lain, lahan di Armuzna tidak mengalami pengembangan. Akhirnya jumlah jemaah haji yang makin besar harus dihadapkan pada fasilitas lahan yang tidak membesar-meluas. Bahkan, ada kecenderungan lahan yang ada di Armuzna makin terkoreksi untuk menyempit. Itu tak lain karena adanya pembangunan fasilitas toilet.
Belum lagi ditambah dengan meningkatnya jumlah jemaah haji Indonesia. Satu sisi bertambahnya jumlah kuota haji, makin mempercepat antrian. Tapi sisi lain yang harus dihadapi adalah risiko daya tampung di titik utama ibadah haji di Arab Saudi yang harus dimitigasi serius. Sebagai perbandingan, pada tahun 2023 selain area Muzdalifah, ada area Mina Jadid yang juga diperuntukkan bagi jemaah haji Indonesia. Sehingga, Jemaah haji Indonesia terbagi ke dua Lokasi area: Muzdalifah (mengakomodasi 183.000 jemaah) dan Mina Jadid (27.000 jemaah).
Tahun 2024, Mina Jadid tak lagi digunakan. Seluruh jemaah haji Indonesia yang tahun ini membesar hingga ke angka 241.000 seluruhnya menempati lahan Muzdalifah. Dengan begitu, di tahun 2024, luasan area Muzdalifah itu terasa “mengecil”. Sekali lagi, karena Mina Jadid tidak digunakan lagi. Seluruh jemaah haji Indonesia tumplek blek ke area Muzdalifah. Ditambah lagi, di area Muzdalifah dibangun fasilitas toilet baru. Beberapa jumlahnya. Akibatnya, luasan area Muzdalifah makin mengecil. Karena pembangunan fasilitas toilet baru itu memakan luasan lahan sebesar 20.000m2.
Nah pertanyaannya, apakah pengelolaan Armuzna di atas menjadi kewenangan pemerintah Indonesia? Sama sekali bukan. Dan bukan sama sekali. Apalagi, yang terkena dampak sejumlah perubahan, di antaranya pembangunan fasilitas baru, di atas bukan hanya jemaah haji dari Indonesia. Seluruh jemaah haji se-dunia terdampak. Tak ada yang tidak. Levelnya saja yang tak sama. Tapi, intinya, semuanya terdampak oleh situasi sulit itu, meskipun otoritas Arab Saudi juga sudah pasti mempersiapkan yang terbaik untuk seluruh jemaah haji se-dunia.
Lalu, melihat situasi dan fakta seperti di atas, apakah setiap diri dalam keikutsertaan pada rangkaian ibadah haji tahun 1445 H/2024 M ini harus ngomen-ngomel? Haruskah marah-marah? Haruskan kontrol diri tak ada lagi? Haruskah tak kuasa lagi bernegosiasi dengan situasi? Haruskah tidak stabil hingga emosi diri pun tak kuasa lagi dilakukan?
Di titik ini, ungkapan suami-isteri jemaah haji asal Serang Banten atas nama Pak Puryantono dan Bu Nuro di atas penting menjadi pengingat (reminder) dan sekaligus bahan refleksi kita bersama. Ungkapan pernyataan “Kan bukan untuk senang-senang!” oleh Pak Puryantono dan “terus [saya jalani] dengan sabar, sabar, sabar” oleh Bu Nuro merupakan katarsis atas situasi kebatinan dan kejiwaan yang muncul dalam situasi sulit. Dalam bahasa aslinya, Yunani Kuno, kata katarsis ini mengandung dua makna: purification (penyucian) dan cleansing (pembersihan). Yang disebut pertama lebih ke nonmaterial. Dan yang kedua lebih material.
Nah, menyertakan nilai spiritual ke dalam problem yang lahir karena situasi sulit adalah bentuk purifikasi jiwa kita dari penyakit yang gampang tumbuh. Mulai dari emosi yang tak terkontrol hingga sikap nyinyir yang hanya akan mengotori kepribadian sendiri. Dan, penyertaan nilai spiritual itu sekaligus juga berfungsi pembersihan diri dari ekspresi dan tindak diri negatif. Sebab, jika situasi kebatinan dan kejaiwaan itu tak mengalami purifikasi dan pembersihan, maka jatuhnya akan muncul ekspresi negatif yang dalam banyak hal tak terkendali.
Maka, pelajarannya, menyertakan Allah dalam jabatan dan aktivitas keseharian adalah bentuk katarsis yang efektif. Apalagi, hal itu berkaitan dengan urusan ibadah yang memang dari awalnya adalah perintah agama. Tentu, menyertakan Allah melalui bersyukur dan bersabar adalah katarsis hidup. Itu semua dibutuhkan untuk sukses hidup. Dalam konteks ibadah haji, maka katarsis dalam bentuk syukur dan sabar sangat dibutuhkan agar ibadah haji bisa sukses. Ujungnya, ibadah haji jadi nikmat. Dan tentu itu membuat mereka yang mengamalkannya berbahagia. Dan syarat untuk bisa berbahagia itu adalah bersyukur. Sisi pendampingnya adalah sabar.
*) Sekretaris PWNU Jawa Timur
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024