Cerita Kiai Mustofa Bisri dan Martin van Bruinessen Menjaga Kesehatan

Belum lama ini, NU Online mengundang Indonesianis kawakan, Martin van Bruinessen, untuk keperluan produksi program baru bertajuk “Menjadi Indonesia”. Martin diundang sebagai narasumber pertama untuk program yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan karena dialah Indonesianis yang paling lama saat ini. Sudah 42 tahun pria asal Belanda itu meneliti Indonesia dengan tema utama keislaman.

Di Indonesia, khususnya di Jawa, Pak Martin banyak berkunjung ke pesantren dan mengenal kiai-kiai, yang saat ini sudah senior mungkin sebagian besarnya kiai-kiai sudah wafat. Mengapa banyak mengenal kiai? Sebab penelitian dia terkait keislaman, pesantren, tarekat, kitab kuning, dan tema-tema yang terkait dengan keahliannya sebagai antropolog.

Dalam obrolan sebelum shooting, salah satu yang disebut Pak Martin adalah Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. “Yaa, saya tahu Yahya, mengenal sedikit abahnya, yang pasti saya mengenal Gus Mus,” begitu jawaban Pak Martin ketika ditanya tentang keluarga Pesantren Leteh, Rembang.

Gus Mus memang terlihat akrab dengan Pak Martin, beberapa kali posting kedekatannya, seperti posting foto. Untuk keperluan catatan ringan ini, saya chat Abah, begitu saya menyebut namanya dalam sudah lebih dari 5 tahun terakhir ini— sudah sepuh loh, rasanya tidak pantas saya menyebut ‘gus’ terus.

Saya WA beliau pukul 14.36 (11 Juni 2024). Alhamdulillah beliau merespons, pukul 23.14. “Sering ketemu Pak Martin. Malah beliau pernah ke rumah dan saya ajak ke (pesantren) Kiai Syahid Kemadu yang dikenal juga dengan Kiai Alhamdulillah,” begitu beliau merespons chat saya, “foto ini ketika sama-sama jadi narasumber di Belanda.” Saya chat antara lain mengirimkan foto Abah dan Pak Martin.

Setelah itu, pukul 23.27, Abah WA agak panjang. Saya kutip lengkap:

“Pak Martin taktakoni (saya tanya), di antara narasumber dalam buku Anda, Anda menyebut nama Kiai Syahid Kemadu. Apakah itu wawancara langsung atau dari buku, saya tanya apa tidak ingin ketemu beliau. Pak Martin senang sekali ketika ketemu Kiai Syahid dan kaget mendengar pertanyaan beliau tentang bagaimana negeri tuan (Martin: Belanda) mengelola sampah.”

***

Saya hobi menjajaki berbagai jenis makanan, saya saya melontarkan pertanyaan tentang makanan. Emmm.. Pertanyaan sepele mungkin, tetapi saya pikir tidak mungkin Pak Martin melewati 42 tahun bolak-balik Belanda-Indonesia dan tinggal dalam waktu lama jika jenis makanannya tidak cocok.

“Tadi siang saya makan gado-gado. Biasa juga makan soto ayam,” begitu penulis buku “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat”. Tentang NU, Martin menulis antara lain, Perjuangan Meraih Kekuasaan dan Keprihatinan Sosial: Catatan Muktamar Krapyak 1989.

Soal makanan Pak Martin mengatakan tergantung tempatnya. “Apakah kalau di Surabaya suka makan rawon?” aku bertanya agak mengejar.

Jawabannya bikin kaget. Kurang lebih beliau menjawab begini, “Kalau makan saya hati-hati sekali, tidak sembarangan makan daging sapi. Saya tidak ingin mati muda seperti banyak kiai, karena sembarangan makan.”

Siang itu, Sabtu 8 Juni 2024, saya dan Nurman Hakim merasa bersalah sewaktu menjemput Pak Martin di Hotel Indonesia. Bundaran HI ditutup. Ketika berputar lagi, ditutup lagi. Karena sudah lama, Pak Martin berinisiatif menyeberang, jalan kaki, dari Hotel Indonesia menuju Jalan Imam Bonjol seberangnya hotel Mandarin. Kami betul-betul merasa bersalah, orang sepuh jalan kaki siang bolong di pusat Jakarta yang panasnya sedang memuncak, jalanan padat, dan berdebu.

Tidak lama lagi, umur Martin van Bruinessen 78 tahun. Beliau dilahirkan di Scoonhoven Belanda 10 Juli 1946. Terus beraktivitas, bahkan melakukan hal-hal serius hingga hari ini. Sepertinya riset juga menjadi motivasi berikhtiar sehat terus. Ikhtiarnya menjaga kesehatan memang luar biasa, saya pernah menyaksikan beliau berenang, di sela-sela acara Harlah NU, Februari 2023.

Menggelitik pernyataan Pak Martin, “Saya tidak ingin mati muda seperti banyak kiai, karena sembarangan makan”. Memang benar, banyak kiai makan sembarangan dan tidak menjaga kesehatan. Selain itu, kita tahu, banyak kiai yang wafat karena kecelakaan.

Namun, nama kiai yang saya sebut di atas adalah kekecualian kiai yang disebut Pak Martin tidak menjaga kesehatan. Ya, Abah Mustofa Bisri adalah kekecualian. Beliau terbilang masih bugar dan masih menjalankan aktivitas sebagai kiai, guru, mubaligh, seniman, senior NU. Beliau dilahirkan di Rembang 10 Agustus 1944. Artinya, 2 bulan lagi, umurnya genap 80 tahun. Waow!

Abah punya ikhtiar keras dalam menjaga kesehatan. Beliau rajin sekali jalan kaki, memutari alun-alun Rembang tiap pagi. Sampai sekarang. Ketika saya dan teman-teman NU Online sowan, juga untuk keperluan wawancara, tanggal 10 Februari 2024, Gus Mus masuk rumah dengan berpakaian olahraga, sepatu, celana trening, kaus, lengkap dengan topi. Ya, beliau baru selesai jalan pagi.

Bedanya dengan Pak Martin yang menjaga betul tidak sembarangan makan daging merah, Abah Mustofa masih makan daging kambing. Beliau pernah menginformasikan kepada saya di Pekalongan ada gulai kepala kambing langganannya, jika sedang di Jakarta jarang melewatkan makanan Timur Tengah, yang pasti kambingnya atau yang berlemak tinggi lainnya.

Akhir Mei kemarin, saya sowan beliau bersama istri dan bapak mertua, yang kebetulan bertemu rombongan keluarga Pesantren Krapyak, sajiannya bikin bulu kuduk berdiri: udang, sate srepeh, ikan sembilang bersantan, tempe goreng, dan tak ketinggalan sambal.

 

Hamzah Sahal, Direktur Utama NU Online

https://www.nu.or.id/fragmen/cerita-kiai-mustofa-bisri-dan-martin-van-bruinessen-menjaga-kesehatan-SFcBB

Author: Zant