Bandung, NU Online Jabar
Forum permusyawaratan tertinggi yang digelar Nahdlatul Ulama (Muktamar NU) memang selalu menyisakan kisah yang menarik sekaligus unik. Kisah menarik itu salah satunya dibagikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Gus Yahya menceritakan bahwa pada tahun 1938, ketika NU menyelenggarakan Muktamar ke-13 di Menes, tampil dua sosok Nyai yang berpidato di hadapan para Muassis NU dan muktamirin yang hadir pada saat itu.
Dua sosok nyai itu adalah Nyai Juwaisih dan Nyai Siti Saroh. Mereka diizinkan untuk naik ke panggung dan berpidato oleh para muassis. Sebagaimana diceritakan Gus Yahya, waktu itu Nyai Juwaisih dan Nyai Siti Saroh berpidato dengan artikulasi yang sangat baik menyuarakan hak-hak perempuan bagi perempuan-perempuan Nahdlatul Ulama untuk mendapatkan pendidikan.
Kemudian sejak peristiwa tersebut, penyelenggaraan Muktamar dari tahun ke tahun selalu dibuatkan forum khusus yang disebut rapat khusus Muslimat. Sampai kemudian pada tahun 1946 dibentuklah badan otonom yang disebut Muslimat Nahdlatul Ulama yang memungkinkan para nyai secara aktif bergerak di dalam masyarakat.
Gus Yahya kemudian mengatakan bahwa hal semacam ini tidak pernah terjadi di dunia Islam di mana pun. Menurutnya, para ulama NU sejak gerasi Muassis telah melakukan inisiatif-inisiatif yang sangat berani yang ditempat lain mungkin belum terbayangkan hingga saat ini khususnya dalam ukuran perspektif wacana syariah atau fikih.
“Ini hampir 90 tahun yang lalu, dan hal ini tidak terbayangkan di dunia Islam yang lain sampai hari ini, 1938 berpidato di depan para kiai laki-laki semua itu. Padahal kita tahu bahwa dalam wacana kita suara perempuan itu aurat. Tapi kiai-kiai mengizinkan dua orang nyai untuk berpidato,” ujar Gus Yahya sebagaimana dilihat NU Online Jabar dari tayangan TVNU pada Selasa (13/9/22).
Lebih lanjut, Gus Yahya kemudian mengungkapkan bahwa dulu kakeknya yakni Kiai Bisri Musthafa adalah seorang mubaligh. Tapi sebetulnya, yang lebih dulu menjadi mubaligh adalahnya nenek beliau. Hal ini dikarenakan pada waktu itu neneknya sudah aktif mengisi majelis-majelis atau pengajian keliling di lingkungan Muslimat Nahdlatul Ulama.
“Kakek saya masih belum, ya artinya ngajar santri saja, belum mengisi pengajian-pengajian seperti itu. Tapi nenek saya sudah dalam rangka kegiatan Muslimat Nahdlatul Ulama,” terangnya.
Ia menegaskan kembali bahwa hal semacam itu sampai hari ini tidak terbayangkan di dunia Islam mana pun, dan ini merupakan inisiatif para ulama NU.
“Maka saya percaya bahwa ghiroh atau semangat dan spirit dari didirikannya Nahdlatul Ulama dan dijalankannya Nahdlatul Ulama sebagai gerakan adalah spirit untuk merintis pencarian model peradaban yang baru setelah runtuhnya model peradaban yang lama,” pungkasnya.
Pewarta: Agung Gumelar