Daya Kejut Kiai Abun Cipasung

Saya tidak mengenal secara personal Kiai Abun Bunyamin Ruhiat. Namun namanya sering saya dengar bahwa beliau mengaji Ihya, bahwa beliau masih membacakan Imriti (adalah kitab “kecil” ttg Nahwu) di depan santrinya, meski sudah sepuh, bahwa beliau tutur katanya halus, bahwa beliau adiknya Kiai Ilyas Ruhiat. 

Selain itu, saya mendengar ulama dan politisi sekaligus. Agak tidak sedapnya, saya mendengar bahwa langkah politik beliau sering “diinterupsi” oleh ponakannya sendiri, yaitu Acep Zamzam Noor, seorang seniman tulen yang tak lain adalah putra pertama Kiai Ilyas Ruhiat. Bahkan saya dengar interupsinya melalui spanduk.

Pada akhir tahun 2015, saya mendapat kesempatan wawancara Kiai Abun, atas bantuan Kang Hilman ‘Imen’ Miftahurojak dan Iip Dzulkipli Yahya . Hilman adalah santri ndalem yang sekarang tinggal di Ciwidey, Bandung. Sementara Iip kita sudah banyak tahu siapa dia.

Sebelum Subuh, kami sudah sampai di pelataran Cipasung yang dikelilingi banyak bangunan. Dari dalam mobil, selain melihat santri-santri lalu-lalang di halaman, saya melihat seorang sepuh sudah berpakaian rapi, lengkap dengan sorban putih yang dikalungkan menyelempang di lehernya, mungkin untuk menahan dingin. Dia berdiri di serambi rumah yang lampunya cukup terang. Jarak mobil saya dengan dia berdiri tidak lebih 20 meter. Wajahnya masih kulihat jelas, mirip sekali Kiai Ilyas Ruhiat. Bahunya lurus, persis bahunya Acep Zamzam Noor.

Saya keluar mobil dan melipir, lalu bertanya pada seorang santriwati, “Siapa lelaki sepuh yang berdiri di serambi rumah itu?” Tentu saya harus memastikan, karena belum pernah ketemu.

Oh, tidak salah perkiraanku, dia kiai yang nanti akan kuwawancara.

Selain wawancara, saya ikut menyampaikan sedikit teknis wawancara, karena ada kamera, ada lampu, ada mik, dan lain-lain. Ini tentu beda dengan wawancara oleh wartawan koran. Kami butuh mimik, gerakan tangan, dan suara yang jelas. Semuanya lancar, alhamdulillah. Beberapa kali terhenti karena Kiai Abun menggunakan bahasa Sunda. Saya minta diulang agar pakai bahasa Indonesia. Sekarang ini agak menyesal, bukankah pakai bahasa Sunda juga tidak mengapa?

Setelah wawancara formal, saya bertanya beberapa hal yang “ringan”. 

“Saya ingin mengenal santri baru. Santri baru tentu saja banyak bedanya dengan santri lama dan lama sekali?” Begitu jawabannya ketika saya tanya kenapa masih membaca Imriti di depan para santri.

Setelah itu, saya mengajukan pertanyaan yang menurutku tidak ringan, bahkan mungkin berat.

“Apa pendapat Kiai tentang Acep Zamzam Noor?”

Tanpa perubahan mimik dan volume suara, Kiai Abun menjawab, “Kami di pesantren ini punya tugas masing-masing, saya memimpin pesantren, mengaji. Acep punya tugas lain. Beliau itu seniman, yang mungkin punya tugas seperti Sunan Kalijaga.”

Mendengar jawaban tersebut, saya cukup kaget, makdeg. Jawaban yg hebat, bahkan di atas hebat. 

Sebelumnya saya mengira, Kiai Abun akan mengubah posisi duduk, memasang wajah yang berbeda, dan menyampaikan jawaban kritis, mengingat sikap kritis keponakannya itu, atau anak dari kakaknya itu. 

Setelah wawancara saya cium tangannya. Kiai Abun punya daya kejut. Hebat sekali.

Alfatihah..

Hamzah Sahal, Sekretaris PP PTN PBNU

https://jabar.nu.or.id/obituari/daya-kejut-kiai-abun-cipasung-z9MbZ

Author: Zant