Jakarta, NU Online
Dayah Diniyah Darussalam, pesantren sederhana asuhan Hanisah yang terletak di Desa Meunasah Buloh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh menjadi rumah aman bagi para penyintas kekerasan seksual.
Bangunan sederhana dengan cat dinding warna hijau itu jadi tempat berlindung yang nyaman bagi mereka yang tidak mendapat keadilan dari lingkungannya.
“Hukum syariat yang berlaku di Aceh, gagal memberikan keadilan untuk korban. Jadi kalau bukan kita, pimpinan dayah (atau) ulama yang melihat (korban), siapa lagi?,” ujar perempuan yang karib disapa Umi Hanisah itu, kepada NU Online, Kamis (20/10/2022).
Hanisah mengaku sistem hukum qanun (undang-undang) jinayat di Aceh belum berpihak kepada korban. Hal itu ia sayangkan lantaran seharusnya kasus kekerasan seksual menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan oleh DPR RI.
“Sungguh hukum syariat di Aceh, qanun jinayat, tidak ada keadilan. Hukum itu (UU TPKS) yang harus dimasukkan dan hukum qanun jinayat dibuang, karena merugikan perempuan,” katanya.
Hal itulah yang membuat Hanisah tetap bertahan dan menguatkan tekad untuk tetap membersamai para penyintas. Dia ingin, semua penyintas kasus kekerasan seksual dapat memiliki kehidupan yang layak dan hidup mandiri.
“Semua ini dilakukan karena satu alasan, yaitu cinta dan kasih sayang. Karena tidak ada yang menampung (korban). Saya sudah melihat pengalaman beberapa korban yang terlantar kemudian jadi korban lagi, sehingga bunuh diri,” ungkap Anggota Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.
“Kalau kita membiarkan, kita yang berdosa,” sambung Hanisah.
Ia kemudian menceritakan kisah pilu yang sampai saat ini terekam dalam ingatannya, saat pertama kali pesantrennya menerima seorang anak berusia 15 tahun yang sedang hamil, korban perkosaan inses oleh ayah kandungnya. Korban datang bersama adiknya yang juga diusir dari kampung mereka.
“Jadi, sudah diusir dari kampung, tidak diterima oleh saudara-saudaranya. Maka dirujuk ke dayah kami,” kata Hanisah sembari terisak.
Namun, sayang seribu sayang, niat baik Hanisah menerima korban membuat pesantrennya diusir dari kampung dan harus pindah mencari lokasi baru.
“(Warga bilang) anak itu tidak baik. Maka kalau diterima anak itu di pesantren, kampung itu dibilang akan mendapat petaka,” tuturnya menceritakan.
Meski berat, Hanisah tetap menerima desakan warga dengan lapang dada dan mengajak seluruh siswanya pindah. Kejadian itu tak sedikit pun membuat Hanisah mengurungkan niatnya membantu para korban kekerasan seksual.
Dayah Diniyah Darussalam justru membuka lembaran baru sebagai rumah aman untuk tempat perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan seksual lainnya.
“Ada kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum, anak pencurian, perempuan diperkosa secara beramai-ramai hingga hamil, ada kawin penculikan, perzinaan, pemerkosaan mahasiswi oleh dosen, ada juga kasus memperkosa adik ipar di depan anaknya yang masih kecil sehingga anak itu trauma dan dirujuk ke tempat ini. Jadi, banyak persoalan yang kita tangani,” jelasnya.
Berkat perjuangan dan keikhlasannya, Hanisah kini memetik hasil yang amat manis. Tak sedikit murid penyintasnya telah menjadi Pegawai Negeri Sipil, guru, hingga pimpinan pesantren.
“Alhamdulillah, memang itulah yang seharusnya kita lakukan. Supaya mereka menjadi manusia yang baik, yang bisa berdiri di atas kakinya sendiri,” tandasnya.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/nasional/dayah-diniyah-pesantren-ramah-penyintas-kekerasan-seksual-tjg4A