Diplomasi ‘Ngopi Bareng’ Tumbuhkan Nilai-Nilai Moderasi Beragama

Semarang, NU Online Jateng
Wilayah Jawa Tengah secara geografis menjadi lintasan arus dua wilayah-wilayah provinsi yang potensial di Pulau Jawa. Dari arah barat berbatasan provinsi Jawa Barat yang menyangga kota metropolitan, Jakarta sebagai ibukota negara sedangkan di wilayah timur berbatasan dengan Jawa Timur dengan pusat ibukotanya Surabaya, kota pelabuhan yang bergerak dinamis menjadi kota metropolitan juga. Pada sebagian wilayah selatan berbatasan dengan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menjadi salah satu pusat pendidikan di tanah air. 

Sudah barang pasti penghuninya datang dari berbagai daerah di tanah air dan mancanegara, ini menjadikan Jogja semakin majemuk penghuninya.  Dengan kondisi geografis yang seperti itu, daerah Jawa Tenga tidak hanya berfungsi sebagai lintasan tetapi sekaligus menjadi daerah transit.

Posisi silang itu mengandung sisi positif dan pada waktu bersamaan menghadirkan sisi negatif. Salah satunya ditandai dengan pembiakan atau penyebarluasan gerakan-gerakan yang berpotensi mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui berbagai cara, satu diantaranya menciptkan kegaduhan melalui isu-isu yang berpoensi memecah belah bangunan keutuhan bangsa  yang sudah kokoh ini.

Bola salju reformasi yang menggelinding pada penghujung abad ke-20  dan berhasil menggerakkan demokratisasi di Indonesia disusupi penumpang gelap reformasi, dengan mengatasnamakan kekebasan berpendapat dan bersuara. Kekompok ini membangun opini dan narasi pecah belah melalui ajaran-ajaran agama yang dibelokkan, salah satunya nilai-nilai moderasi dan toleransi  yang melekat dibelokkan menjadi isu-isu intoleransi yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme. 

Indonesia ricuh, itulah target akhirnya. Pergolakan politik di manca negara mulai dari fenomena Arab Spring, Al-Qaida, ISIS, Khilafah, dan isu lokal NKRI bersyariah dijadikan  momentum untuk ‘memasarkan’ produk gagal di tanah asalnya itu masuk ke Indonesia, karena hanya di negara yang demokratislah produk-produk itu bisa bersemi. Wilayah Jawa Tengah yang strategis sebagai daerah lintasan dan transit disiapkan sebagai basis untuk gerakan itu.

Faktanya bisa dilihat, saat kasus-kasus radikalisme dan terorisme yang terungkap, sebagian pelaku-pelakunya orang Jawa Tengah, kalaupun dari luar Jawa Tengah, mereka disiapkan dan dididik di bebeapa jaringan yang berafiliasi pada lembaga di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Lembaga Kajian Islam san Perdamaian (LaKIP) Jakarta dalam salah satu surveinya menyebutkan bahwa sebagian kalangan anak-anak muda di sejumah kota di Jateng seperti Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara terpengaruh paham radikal setelah melihat film 212.

Fenomena ini direspons cepat para pemuka agama di Jawa Tengah agar ideologi yang membelokkan toleransi dan moderasi dalam beragama itu tidak hanya ditolak tetapi langsung tertolak oleh masyarakat sebagaimana dikatakan pegiat toleransi dan moderasi  dari Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang,  KH Taslim Syahlan yang kini memimpin Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah.

“Kami langsung berkomunikasi dengan seluruh tokoh agama di Jawa Tengah, terutama di daerah-daerah yang warganya berpotensi terpapar pemahaman intoleransi dan anti moderasi beragama seperti Surakarta, Sukoharjo, Temanggung dan sebagainya. Alhamdulillah kompak, semuanya menilai bahwa mereka yang terpapar itu tidak sedang menjalankan ajaran agamanya, tetapi sedang melawan ajaran agamnya,” kata Kiai Taslim
 

FKUB Jateng dan 35 FKUB Kabupaten/Kota se-Jateng menginsiasi dalam menghaapi fenomena maraknya gerakan intolerasi dan anti moderasi di daerah-daerah itu mengajak kepada para pemuka agama mengambil posisi untuk melakukan pencegahan, sedangan  penangangan dan tindakan atas pelanggaran biarlah menjadi porsi penegak hukum.

Untuk mensosialisasikan pemahaman itu, FKUB Jateng lebih sering menempuh jalan-jalan informal dengan menggiatkan silaturahim untuk mengucapkan selamat kepada para tokoh agama saat merayakan hari-hari  besarnya. Meski hari–hari besar agama di Indonesia  yakni Islam, Kisten, Katolik, Buda, Hindu, dan Konghucu jumlahnya banyak kalau ditotal, namun rasanya volume perjumpaannya melalui hari-hari besar sangat terbatas.

Karena itu perlu dicari formula menciptakan forum-forum perjumpaan untuk meyakinkan kepada sesama bahwa kehadiran agama dan pengalaman ajaran agama di masyarakat oleh pemeluknya di bawah bimbingan para pemuka agama  bukan sebuah ancaman, tetapi justru memberi rasa aman kepada lingkungan dan masyarakatnya sekalipun bebeda keyakinan dan agama yang dipeluknya.

Tradisi Bagus 

Sebagai mantan aktivis ektra dan intra kampus saat menjalani kuliah di Fakuktas Tarbiyah (FT) IAIN (kini UIN) Walisongo dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Kiai Taslim teringat saat malang melintang dalam dunia gerakan mahasiswa dengan  aktivitas minum kopi bersama (ngopi bareng), satu gelas diminum bersama dengan banyak kawan akibat uang saku di kantong yang sangat terbatas jumlahnya.

“Ya ngopi bareng kami revitalisasi untuk membangun sebuah forum perjumpaan informal, tentu ngopinya tidak segelas untuk bersama, maka jadilah agenda ‘ngopi bareng’ itu menjadi agenda tetap kalau di antara kami ada yang ingin menuangkan unek-unek ketika menemukan fenomen intolerasi agar sebisa mungkin dilakukan cegah dini dan antisipasi,” ujarnya.
 

Tentu ngopi bareng-nya para pemuka agama tidak dilakukan di kedai kopi atau coffeshop  yang  dalam beberapa tahun terakhir menjadi pola hidup sebagian masyarakat yang ingin mengisi waktu luang setelah menjalani rutinias, konon dengan aktivitas mengkonsumsi kopi  bersama-sama dengan kawan yang kemudian populer disebut dengan ngopi bareng dapat mengendurkan otot yang tegang, menghilangkan rasa lelah, menyegarkan tubuh, menghilangkan kantuk, dan rasa lelah. 

“Ngopi bareng  kami lakukan di tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura atau klenteng secara bergantian, ini tradisi bagus. Tentu lokasinya tidak ditempat yang digunakan untuk beribadah para jamaah, tetapi di kantor atau sekretariat pengelolaan tempat ibadah. Kebersamaan kami dalam ngopi bareng itu alhamdulillah dapat menginspirasi jamaah semua agama untuk menjadi penanda bahwa toleransi dan moderasi beragama itu indah dan pantang dirusak,” tuturnya.

Dalam perkembangannya ngopi bareng memang tidak hanya dilakukan kedai kopi saja, tetapi bisa dilakukan di mana saja. Karena memang sejatinya ngopi bareng sudah menjadi tradisi sejak lama di masyarakat, budaya ngopi bareng sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda saat menjalankan program tanam paksa. Seiring dengan berkembangnya waktu, budaya ini ditiru oleh warga masyarakat yang saat itu masih terjajah.

Budaya ini terus berlanjut dari generasi ke generesi dengan fungsi yang kian variatif, dari sekadar menjadi forum untuk rilek bergeser menjadi sebuah tempat favorit dan penting, seperti untuk bekerja, mengerjakan tugas kuliah, tempat pertemuan dengan kolega, dan lain sebagainya. Bahkan menjadi arena lobi politik dan diplomasi kelas tinggi. Ya,  minum kopi bersama teman sambil bertukar pikiran memang mengasyikkan. Karena dengan tidak terasa menjadi media diplomasi untuk mengurai berbagai macam problem atau setidaknya menjadi kunci pintu pembuka percakapan yang sejatinya berat menjadi ringan.

Sejumlah pejabat tinggi setingkat dirjen dalam berbagai kesempatan sering mengatakan ngopi bareng dapat digunakan sebagai alat diplomasi untuk memperlancar perundingan bilateral terkait berbagai hal mulai politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Diakui agenda  ngopi bareng memang dapat merekatkan dan menghangatkan suasana sekaligus memperlancar dialog-dialog yang diagendakan, termasuk dialog agama untuk menjaga keutuhan NKRI melalui upaya memelihara toleransi dan moderasi beragama  di tanah air kita tercinta.

Dengan ngopi bareng antar-tokoh lintas agama, moderasi beragama di Jawa Tengah tetap terjaga dengan baik, saling silaturahim menjaga perbedaan keyakinan, menjaga iklim sejuk, saling menghormati sesama pemeluk agama dan FKUB Jateng telah membuktikan keberhasilannya setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini.

 
Penulis: Samsul Huda 


https://jateng.nu.or.id/nasional/diplomasi-ngopi-bareng-tumbuhkan-nilai-nilai-moderasi-beragama-dQaXs

Author: Zant