Empat Jenis Rintangan Pesuluk di Jalan Allah Menurut Al-Ghazali 

Setiap perjalanan mesti ada saja rintangannya. Demikian pula perjalanan menuju Allah. Oleh sebab itu, seorang salik, murid, atau penempuh jalan Allah, hendaknya mengetahui apa saja rintangan yang menghalangi perjalanannya. Dalam kaitan ini, al-Ghazali menyebutkan ada empat rintangan besar yang menghalangi para seorang salik. (Lihat: Minhajul Abidin, halaman 14).   

Pertama, dunia dan perhiasannya. Tak banyak disadari bahwa salah satu sandungan besar dalam perjalanan seorang salik menuju jalan Sang Khaliq adalah dunia dan perhiasannya. Makanya seorang salik harus berusaha meluruskan niat dan menyingkirkan godaan dunia dari hatinya. 

Ini artinya, seorang penempuh jalan Allah bukan tidak boleh mencari dunia, bukan tidak boleh memiliki dunia, bukan tidak boleh mencintai dunia, tetapi ia tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan, tidak boleh membiarkan hati mengikuti keinginan dunia, tidak boleh membiarkan hati dikendalikan dunia.  

Silakan saja seorang murid atau salik mencintai dunia, tetapi jangan sampai melupakan jalan Allah. Pasalnya, mencintai dunia sudah menjadi fitrah manusia sebagaimana yang telah diselipkan Allah dalam hati mereka. Demikian seperti yang tersirat dalam ayat Al-Quran, “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,” (QS. Ali Imran [3]: 14).     

Dalam istilah al-Ghazali, kita harus zuhud dan tajarrud terhadap dunia. Zuhud dan tajarrud itu memiliki dua tujuan: (1) agar istiqamah dalam ibadah (2) mencapai ketinggian nilai ibadah tersebut.

وإنما لزمك هذا التجرد والزهد لأمرين:أحدهما لتستقيم لك العبادة وتكثر فإن الرغبة في الدنيا تشغلك… والثاني أنه نكثر قيمة عملك ويعظم قدره وشرفه  

Artinya: “Tajarrud dan zuhud ini wajib bagimu karena dua hal: (1)  agar ibadahmu istiqamah dan banyak. Sesungguhnya, kecintaan terhadap dunia hanya akan menyibukkanmu; (2) agar amalmu lebih bernilai, lebih tinggi dan lebih mulia derajatnya. (Lihat: Minhajul Abidin, halaman 14).   

Tingginya kualitas ibadah orang yang zuhud telah ditunjukkan Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya, “Dua rakaat orang alim dan zuhud hatinya lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada ibadahnya orang-orang yang tidak zuhud hingga akhir masa selama-lamanya.”  

Kedua, makhluk. Yang dimaksud makhluk di sini secara spesifik adalah ciptaan-ciptaan Allah yang bernyawa dan berada di sekeliling seorang salik, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Lebih spesifik lagi manusia di sekitar salik adalah anak, istri, keluarga, tetangga, teman, kolega, atasan, bawahan, dan sebagainya. 

Disebutkan oleh al-Ghazali, sesungguhnya makhluk setelah menyibukkan kita, akan menghalangi kita dari ibadah, bahkan akan menjerumuskan kita kepada keburukan dan kebinasaan. 

Allah sendiri telah mengingatkan dalam Al-Quran, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka,” (QS. at-Taghabun [64]: 14). 

Artinya, bukan berarti seorang salik tidak boleh bergaul dengan mereka, tetapi jangan sampai terganggu pengaruh buruk mereka. Alih-alih dipengaruhi mereka, seorang salik harus membawa mereka ke jalan Allah. 

Ingatlah pengaruh orang yang ada di sekitar salik sangat besar. Makanya, salik harus lebih banyak bergaul dengan para salik lagi,  dengan guru-guru pembimbing, dan orang-orang saleh yang telah berpengalaman terhubung dengan Allah. 

Sekiranya, bergaul dengan makhluk akan terbawa pengaruh buruk, seorang salik hendaknya memilih jalan ‘uzlah, menjauh dari mereka, atau cukup bergaul dengan mereka seperlunya, seraya yakin tujuan dirinya adalah ingin sampai kepada Allah dan harus menyingkirkan rintangan-rintangannya, termasuk rintangan makhluk. 

Namun, demikian mengurangi hubungan dengan makhluk bukan berarti memutus silaturahim dan berhenti menebar kebaikan dengan sesama, tetapi menyingkirkan segala pengaruh dan godaan yang datang dari arah mereka, menjauhi pergaulan yang tidak membawa dirinya semakin dekat dan semakin cinta kepada Allah. Kendati masih bergaul dengan makhluk,  hati sang salik tidak tergantung dan tidak berharap pada makhluk. 

Ketiga, setan. Seorang salik jangan pernah memberi kesempatan untuk menggoda dirinya. Ia harus tetap memerangi dan memusuhinya. Pasalnya, menurut al-Ghazali, setan adalah musuh yang nyata dan senantiasa menyesatkan. Tidak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan darinya. Kendati tampak menuntun manusia ke jalan yang baik, akhirnya tetap menjerumuskan ke dalam kesesatan dan kebinasaan.  

Al-Quran sendiri telah mengingatkan, “Bukankah Aku telah berpesan kepadamu dengan sungguh-sungguh, wahai anak cucu Adam, bahwa janganlah kamu menyembah setan?  Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu,” (QS. Yasin [36]: 60).  

Yang perlu diwaspadai, tipu daya setan sangat halus dan lembut. Al-Ghazali mengutip pernyataan Yahya bin Mu’adz ar-Razi: 

الشَّيْطَانُ فَارِغٌ وَأَنْتَ مَشْغُولٌ وَالشَّيْطَانُ يَرَاك وَأَنْتَ لَا تَرَاهُ وَأَنْتَ تَنْسَاهُ وَهُوَ لَا يَنْسَاك وَمِنْ نَفْسِك لِلشَّيْطَانِ أعَوْانٌ

Artinya: Setan itu santai, sementara engkau sibuk. Setan itu melihatmu, sedangkan engkau tidak melihatnya. Engkau melupakannya, sedangkan setan tidak melupakanmu. Lagi pula, setan itu memiliki banyak penolong dalam menggodamu. (Lihat: Minhajul-Abidin, halaman 27).   

Salah satu cara agar seorang salik terhindar dari godaan setan adalah memperbanyak zikir dan berlindung kepada Allah. Pasalnya, tipu daya setan itu masuk di saat manusia lengah dan lupa pada Allah. jangan pernah mengikuti tipu daya dan langkah setan, sebab sekali saja mengikutinya akan terus mengikutinya. 

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ اَتْبَاعِ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ

Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari mengikuti langkah-langkah setan. 

Keempat, nafsu. Yang merintangi seorang salik di jalan Sang Khaliq adalah nafsunya sendiri, terutama nafsu amarah yang selalu menyuruh keburukan. Demikian seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Yusuf [12]: 53). 

Disebutkan al-Ghazali, sebab nafsu amarah merupakan musuh yang paling berbahaya dan seberat-beratnya petaka. Begitu pun mengatasinya pekerjaan paling sulit dan obatnya paling langka. 

Dijelaskan al-Ghazali mengapa nafsu merupakan rintangan yang paling sulit ditaklukkan karena musuh dan penjahat yang berada dalam diri sendiri. Bahayanya kadang tidak terlihat karena berada dalam satu rumah. 

Sudah menjadi perkara maklum, kekurangan yang ada dalam diri sendiri, sering kali tidak dianggap kekurangan. Kesalahan dan kelemahan yang ada dalam diri sendiri, seringkali tidak banyak yang mau mengakui. Itulah nafsu. Sekalipun ada yang mengoreksi dari pihak luar, yang timbul adalah kemarahan kepada yang mengoreksinya. (Lihat: Minhajul Abidin, halaman 27).  

Terakhir, al-Ghazali memberikan tiga cara memecahkan keinginan nafsu: (1) mengekang keinginan syahwat atau hal-hal yang diinginkan, (2) menahan beratnya beban ibadah, (3) selalu memohon pertolongan kepada Allah. Wallahu a’lam.

Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/empat-jenis-rintangan-pesuluk-di-jalan-allah-menurut-al-ghazali-dl3dV

Author: Zant