Sekarang saya melihat ada semacam kampanye menyudutkan Islam dengan alasan atas nama hak perempuan.
Kampanye ini berjalan sangat halus, hampir tidak disadari, tetapi tujuannya jelas: Islam tidak kompatibel dengan hak perempuan. Bahkan Islam dianggap mengancam kebebasan perempuan.
Misalnya kampanye yang terus menerus mengkontraskan jilbab, apalagi cadar, dan kebaya. Yang pertama dianggap asing, impor dari Arab, membelenggu perempuan. Sementara yang kedua dianggap asli Nusantara, budaya adiluhung bangsa, membebaskan perempuan. Mungkin pengertiannya tidak seekstrem ini, tetapi kecenderungan kampanye seperti itu marak di media sosial.
Mengikuti Sara Farris dalam buku yang terpampang di bawah, kampanye tersebut adalah koalisi dari feminisme tertentu, nasionalisme garis keras, dan neoliberalisme. Ketiganya mempunyai musuh yang sama, yaitu Islam, yang secara simbolis diwakili eh gambaran tentang Arab. Apa yang berbau Arab seolah-olah identik dengan Islam dan dianggap merendahkan perempuan.
Menjelang momen elektoral, saya kira, kampanye seperti itu akan dijual. Pangsa pasarnya sangat potensial. Selain kelompok nasionalis-sekuler yang sudah lama gerah dengan ekspansi simbol-simbol Islam ke ruang publik, kaum Muslim tradisional yang juga sudah lama sebel dengan sejawatnya kaum Muslim modernis mungkin akan tergoda.
Dalam hal ini menjadi jelas bahwa yang memanfaatkan perempuan, termasuk tubuhnya, bukan hanya agama, tetapi juga “femonasinalis”–koalisi feminisme tertentu, nasionalis garis keras, dan neoliberalisme. Atas nama hak perempuan mereka memperjuangkan agenda politik dan ekonomi mereka dengan menjadikan Islam, wabil khusus Islam politik, sebagai ancaman bersama.
Amin Mudzakir, salah seorang peneliti BRIN