Jakarta, NU Online
Fenomena Citayam Fashion Week di kawasan Jalan Sudirman, DKI Jakarta, masih menarik perhatian masyarakat. Fenomena ini bermula dari anak muda yang mayoritas berasal dari daerah penyangga Jakarta seperti Depok, serta Citayam dan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Mereka memenuhi kawasan bisnis SCBD (Sudirman Center Business District) dengan memeragakan gaya busana nyentrik dan dominasi warna monokrom.
Budayawan Zastrouw Al Ngatawi turut menyoroti fenomena tersebut. Menurutnya, fenomena Citayam Fashion Week (CFW) merupakan konsekuensi dari kontestasi di dunia maya.
“Anak-anak muda itu kehilangan ruang ekspresi di dunia nyata. Ruang sosial nyata sudah sangat sempit. Tak ada tempat bermain yang nyaman, tak teman diskusi yang dapat berbagi rasa, karena rata-rata mereka memiliki problem keluarga dalam realitas nyata. Akhirnya mereka menjadikan dunia maya sebagai sarana kanalisasi untuk menuangkan emosi yang tidak tersalurkan melalui dunia nyata,” ujar Zastrouw kepada NU Online, Selasa (26/7/2022).
Di sisi lain, kata dia, mereka juga menjadikan dunia maya sebagai ruang mengekspresikan kreativitas yang tidak didapatkan ruang di dunia nyata sehingga dengan cara itu mereka dapat menunjukkan eksistensi diri yang dalam dunia nyata selalu tergerus dan terpinggirkan.
Dosen Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta itu menilai fenomena Citayam Fashion Week bersifat sementara. Mengutip Jean Boudrillard, apa yang ada di dunia dan viral itu hanya realitas seolah-olah (simulacruum reality).
“Sebagaimana watak dunia maya, fenomena ini akan bersifat sementara. Naik ke publik, viral, menjadi bahan perbincangan beberapa saat kemudian akan hilang dan terlupakan, terlindas oleh isu atau fenomena viral lainnya,” kata Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU) ini.
Kendati demikian, ia menyebut fenomena Citayam Fashion Week dinilai bisa menjadi gerakan nyata yang dapat meningkatkan para pelakunya secara sosial maupun ekonomi jika para aktor menjalankannya secara konsisten dalam durasi waktu yang panjang (long duree).
“Jika para pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan menindaklanjuti dengan program pembinaan yang jelas dan kontinu maka fenomena SCBD akan menjadi gerakan nyata yang dapat meningkatkan para pelakunya secara sosial maupun ekonomi,” tegas dia.
Fenomena SCBD, kata dia, harus dijadikan pintu masuk untuk melakukan pembinaan terhadap anak muda kreatif melalui pendampingan dan pelatihan agar mereka dapat meningkatkan soft skill dan kreatifitas yang dimiliki.
Dengan kata lain, tanpa ada pembinaan dan pendampingan yang nyata dan kontinu maka fenomena SCBD hanya menjadi simulakra yang akan segera dilupakan. “Dengan cara ini kita dapat meningkatkan kualitas skill mereka menjadi seorang profesional sehingga dapat mentransformasikan realitas simulakra menjadi nyata,” jelas Zastrouw.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.