Jakarta, NU Online
Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) Se-Jawa dan Madura memutuskan bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran syariat yang dilakukan oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Demikian hasil Bahstul Masail Ke-37 Bahtsul Masail FMPP Se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren al-Hamid Jakarta Timur, Ahad (11/9/2022).
“(Pelanggaran yang dilakukan) di antaranya ialah kinerja ACT tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan dalam Pasal 6 ayat 1, yang berbunyi ‘Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya sepuluh persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan’,” kata Kiai Ahmad Muntaha AM, perumus dalam forum bahtsul masail tersebut.
Dijelaskan oleh Kiai Ahmad Muntaha, sepuluh persen dari total dana yang boleh diambil itu adalah untuk operasional, bukan untuk gaji. “Sepuluh persen tersebut ialah angka dana operasional. Beda lagi dengan persoalan gaji petinggi atau pegawai. Untuk soal itu, mereka hanya boleh mengambil jatah yang tidak melebihi ujratul mitsil atau upah sepadan pekerjaan tersebut,” tegas Kiai Muntaha yang juga pengurus Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur ini.
Lebih lanjut, Kiai Muntaha menjelaskan bahwa meskipun syariat tidak menjelaskan secara pasti nominal persentase yang diambil, tetapi syariat sudah dengan tegas memberikan ketentuan terkait dana operasional yang boleh diambil oleh pihak filantropi, yakni sebatas kecukupan nafkah untuk dirinya, atau ditakar sesuai dengan upah pekerjaan yang sepadan (ujrah mitsil). Untuk persentase sendiri, ia menegaskan bahwa pemerintah boleh menentukan prosentase tersebut.
“Dana yang boleh diambil oleh petinggi dan pengurus ACT ialah dana minimal dari nafaqah fi nafsih (nafkah untuk petugas), atau ujrah mitsil (upah pekerjaan sepada). Untuk nominal persentase sendiri, meskipun kitab fiqih tidak menjelaskan, namun pemerintah berhak membatasi 10 persen untuk biaya operasional dengan pertimbangan kemaslahatan,” jelasnya.
Keputusan ini diambil setelah menimbang penjelasan yang ada di berbagai khazanah fikqh klasik. Di antaranya ialah al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra juz III halaman 54 yang menjelaskan persoalan terkait kebolehan mengambil hanya minimal nafaqah fi nafsih. Untuk kewenangan pemerintah terkait hal ini, forum menyandarkan keputusan mereka pada penjelasan Imam al-Subki dalam kitab Fatawi al-Subki, juz II halaman 15.
Kiai Muntaha merekomendasikan agar pemerintah membuat sistematika pengawasan yang sangat baik terkait pengawasan lembaga-lembaga filantropi semacam ini, sehingga ke depannya kasus semacam ini tidak terjadi lagi.
“Kalau regulasinya saya rasa sudah baik. Tinggal pengawasannya yang perlu dipertegas. Jika perlu, sebenarnya boleh saja pemerintah melakukan audit yang baik dan transparan sehingga publik pun bisa ikut mengawasi,” pungkasnya.
Pembahasan tentang dugaan penggelapan dana umat yang dilakukan oleh lembaga filantropi bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi salah satu pembahasan BM FMPP. Pembahsan dilakukan karena lembaga tersebut akhir-akhir ini cukup viral karena diduga telah menggelapkan dana umat. Penggelapan tersebut di antaranya pada pemberian gaji fantastis untuk para petinggi ACT, dari mulai nominal puluhan hingga ratusan juta.
BM FMPP memang seringkali membahas persoalan-persoalan kekinian yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini senada dengan semangat FMPP sebagaimana dijelaskan oleh KH Abdullah Kafabihi selaku Penasehat FMPP dalam mauidzah hasanah.
“Tugas kalian para santri yang terhimpun dalam forum FMPP ini ialah menjawab tantangan umat. Dalam artian memberikan pemahaman keislaman yang baik terkait persoalan apa yang sedang dihadapi umat, dengan tetap berpegang pada tradisi khazanah keilmuan para ulama,” tegas Kyai yang akrab dipanggil dengan sebutan Buya Kafa oleh para santrinya.
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.