Jakarta, NU Online Jateng
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan menegaskan bahwa pencapaian Visi Indonesia Emas 2045 membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, yang bergantung pada efisiensi, transparansi, serta kolaborasi lintas sektor. Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi panel Humanitarian Islam dan Pendekatan Agama terhadap Perdamaian di Timur Tengah di aula kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Luhut menyampaikan optimisme bahwa Indonesia dapat menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar dan paling maju pada 2045, asalkan mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 hingga 8 persen. Dalam hal ini, ia menyoroti pentingnya peran generasi muda NU dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
“Sekarang, kita harus membina anak-anak NU supaya mereka bisa meramu semua ini. Mereka yang akan memainkan peran besar dalam hal ini. NU memiliki peran yang sangat penting. Jadi, NU bagi kita itu sangat penting, dan harus kompak,” tegasnya.
Dampak Konflik Global terhadap Ekonomi Indonesia
Dalam pemaparannya, Luhut juga menyoroti dampak negatif konflik Timur Tengah terhadap perekonomian Indonesia, seperti penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global dan meningkatnya impor karena lonjakan harga minyak. Selain itu, ketegangan antara Amerika Serikat dan China juga disebutnya dapat mengurangi efisiensi global hingga mencapai 2 triliun dolar AS, yang akan memengaruhi ekspor Indonesia, terutama ke China.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengungkapkan bahwa agama sering menjadi salah satu penyebab utama konflik, meskipun bukan satu-satunya faktor.
“Kita ingat bahwa zionisme itu mengklaim hak kepemilikan tanah itu berdasar wacana agama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa wawasan keagamaan di tingkat masyarakat harus menjadi sasaran pembenahan untuk menyelesaikan konflik secara lebih menyeluruh.
“Pemerintah Mesir dan Israel, misalnya, bisa saja menjalin kesepakatan sebagaimana pernah terjadi, tapi kalau masyarakatnya belum di-address (diatasi permasalahannya, red), akan muncul perlawanan dari dalam terhadap pemerintah yang bersepakat itu,” tambah Gus Yahya.
Diskusi tersebut juga menghadirkan narasumber lain, di antaranya rohaniawan Katolik dan profesor filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno, CEO Center for Shared Civilization Values (CSCV) C Holland Taylor, Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Muchsin Shihab, serta rohaniawan Protestan Martin Lukito Sinaga.
Selengkapnya baca di: https://www.nu.or.id/nasional/peran-generasi-muda-nu-wujudkan-visi-indonesia-emas-2045-di-tengah-konflik-global-JxfiF