Jakarta, NU Online
Sri Mandah Syakiroh meluncurkan buku kumpulan puisinya yang berjudul Sabda Mendung pada Selasa (16/5/2023) di Perpustakaan Mbah Din Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. Mandah merupakan guru bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putri Buntet Pesantren.
Mandah menyampaikan bahwa Sabda Mendung merupakan buah dari perjalanan panjangnya bertemu dengan dunia tulis menulis. Ia mengaku, kegembarannya menulis itu berawal dari menemukan sebuah buku yang berisi cerita yang membuat hidup seseorang menjadi berubah. Ia merasa bahwa ia bisa menemukan dunia baru.
“Setelah hari itu, saya memiliki hobi menulis dan membeli buku debur. Tulisannya dulu lalu digilir untuk dibaca ke teman-teman sekelas semasa di MTs,” katanya.
Ia terus mengembangkan kegemarannya tersebut saat duduk di bangku Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putri Buntet Pesantren dan studi pendidikan tingginya di Jakarta. Terlebih saat kuliah, ia bergabung dengan Komunitas Ranggon Sastra, komunitas yang bergerak dalam dunia sastra dan teater. Di sana ia belajar semuanya, sastra dan teater.
Sementara itu, Penyair Astrajingga Asmasubrata menilai puisi-puisi dalam Sabda Mendung berisi kemurungan. Nyaris tak ada satu pun puisi yang bernuansa kebahagiaan di dalamnya.
Ia juga mengaku agak sedikit kecewa karena di dalam buku Sabda Mendung tidak memanfaatkan bahasa-bahasa gaul yang sekarang sedang digandrungi penyair muda. “Karena kata-kata gaul bisa menjadi cermin bagi era latar puisi tersebut dibuat,” ujar penulis 5 buku kumpulan puisi itu.
Sementara itu, Duta Baca Jawa Barat 2023 Aminatus Sholihah membaca puisi Sabda Mendung dari tiga sisi, yakni pengamatan, penghayatan dan penerimaan. Ia menilai banyak puisi-puisi dalam buku tersebut ditulis oleh penulis berdasarkan hasil pengamatan. “Artinya bukan berarti apa yang ditulis adalah pengalaman langsung penulis,” katanya.
Puisi yang ditulis itu, menurutnya, bisa merupakan pengalaman penulis mendengar cerita orang, melihat langsung sebuah kejadian atau apapun lalu ia jadikan itu puisi. Sementara dari sisi penghayatan, kata Aminah, ibarat benda mati. rasa dalam puisi menghidupkan puisi yang mati.
Pendiri Literasi Senja Rian Haryanto menilai hadirnya Sabda Mendung di tengah pesantren membawa warna baru. “Ketika biasanya santri membacanya kitab terus, kali ini santri membaca puisi,” ujarnya.
Hanya saja, lanjut Penggagas TFBMKOCI itu, puisi-puisi mengenai pesantrennya kurang tampak. Ia juga menyoroti tata layout yang terpenggal-penggal. Sebab, bagi yang tidak terbiasa membaca buku-buku puisi, layout demikian akan membuat bingung.
Kegiatan yang dimoderatori oleh Anggota Komunitas Literasi Senja Belian Pertiwi itu diikuti oleh para santri dan siswa di lingkungan Pondok Buntet Pesantren. Hadir pula Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren KH Fahad A. Sadat dan Kepala Perpustakaan Mbah Din Buntet Pesantren Kiai Nemi Mu’tashim Billah.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.