Jakarta, NU Online
Tahun politik telah tiba. Para kontestan berlomba untuk mendapatkan suara rakyat agar bisa menang pada pemilihan umum (Pemilu), 14 Februari 2024 mendatang.
Pada masa-masa menjelang Pemilu ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak praktik politik identitas yang menjadikan agama sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi Pemilu 2024 kelak.
Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen meminta kepada para politisi, berikut tim suksesnya, agar tidak menggunakan masjid dan tempat pengajian untuk kepentingan kampanye. Ia menegaskan, masjid harus steril dari kegiatan politik praktis.
“Masjid itu harus steril. Masjid itu tempat bertemu. Masjid itu tempat ngaji. Ngaji-ngaji itu juga sebaiknya steril,” ucap Gus Ghofur saat dihunungi NU Online, Rabu (17/5/2023).
Masjid dan tempat pengajian itu, kata Gus Ghofur, merupakan kanal atau saluran yang dapat mempertemukan banyak orang, sehingga harus bisa dibuat netral alias atau memihak kepada salah satu kubu.
“Janganlah masjid itu jangan, jangan, jangan digunakan untuk kampanye. Tempat-tempat pengajian sifatnya umum. Jangan menggunakan tempat pengajian untuk kampanye,” harap Gus Ghofur.
Politik identitas
Ketua PBNU Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyerukan kepada seluruh politisi yang akan berkompetisi di Pemilu 2024 agar tidak memakai politik identitas, politik SARA, dan bahkan mendiskreditkan calon lain menggunakan politik identitas atau politik SARA.
“Politik identitas tuh bisa suku, agama, golongan. Itu janganlah, karena itu nanti susah untuk dihilangkan. Susah untuk disembuhkan. Itu akan merugikan si calon itu sendiri,” kata Alissa.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017 dan Pemilihan Presiden 2019 menjadi pelajaran berharga untuk tidak terulang lagi di Pemilu 2024. Masyarakat terbelah karena para politisi memainkan politik identitas hingga menyulut sentimen kebencian antarsesama anak bangsa.
Menurut Alissa, politik identitas boleh dilakukan asal tidak berujung pada sentimen kebencian. Sementara pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 lalu telah terjadi politik identitas yang berujung pada kebencian.
“Misalnya si calon anggota legislatif menyampaikan, ‘saya sebagai perempuan akan memperjuangkan nasib perempuan’, itu kan juga politik identitas sebetulnya tapi dalam hal-hal seperti itu kan nggak ada narasi kebencian,” jelas Alissa.
Contoh lain, seorang calon wakil rakyat dalam kampanye menyebutkan akan memperjuangkan nasib buruh dan pekerja kasar yang kerap dirugikan oleh sistem yang ada saat ini.
Alissa mengatakan, para politisi calon anggota legislatif juga boleh saja menyebut dirinya akan memperjuangkan pekerja migran Indonesia (PMI) di daerah-daerah yang rentan.
“Itu sangat boleh. Itu nggak apa-apa. Itu politik identitas yang sangat penting untuk dilakukan karena banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili kepentingannya. Tapi kalau (politik identitas) yang sentimen kebencian, ya jangan,” tegas Alissa.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.