Sidoarjo, NU Online Jatim
Salah satu tradisi yang sering dilakukan oleh kalangan Nahdliyin selama momen bulan Syawal adalah halal bihalal. Adapun tradisi halal bihalal tersebut tidak lepas dari syariat agama Islam, karena di dalamnya ada ajang silaturahim.
Hal itu dituturkan oleh Pengasuh Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah III, Kota Kediri, KH Reza Ahmad Zahid atau Gus Reza saat menyampaikan mauidhah hasanah dalam acara pengajian umum dan halal bihalal di Masjid Baitul Muttaqin, Desa Cangkringsari, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Senin (15/04/2024).
“Halal bihalal ini adalah cara ulama kita untuk merangkul agar melaksanakan ajaran agama Islam. Mari kita tetap mengikuti ajarannya para ulama, kiai, imam madzhab, sahabat, dan ikut ajarannya Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Gus Reza mengungkapkan, di dalam halal bihalal memberikan pelajaran bahwa sebaik-baik manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Sebaliknya, sejelek-jeleknya manusia pasti pernah melakukan perkara yang baik.
“Semua manusia, di dalamnya pasti ada dua komponen. Pertama, komponen positif dan kedua, komponen negatif. Artinya, semua manusia pasti pernah melakukan dua perkara ini. Kita harus sadar ini bahwa manusia itu pernah melakukan kebaikan dan kejelekan, apabila dimintai maaf oleh temannya, Insya Allah langsung memaafkan,” ungkapnya.
Terkadang ada juga orang yang tidak mau memberikan maaf kepada teman atau saudaranya, seperti paling benar sendiri dan tidak pernah melakukan kesalahan, ini adalah satu sifat kesombongan. Semua manusia itu pasti memiliki sifat lupa.
“Ini harus dipahami, mari kita bersama sadar diri, semoga barokah dalam memberikan maaf dan kasih sayang kepada orang lain, akhirnya kita diberikan rahmat oleh Allah SWT,” tegasnya.
Menurut Gus Reza, istilah halal bihalal itu sendiri memang berasal dari bahasa Arab, tapi tatanannya memakai cara Jawa, sehingga tidak terdapat di dalam kamus Bahasa Arab Al-Munawwir maupun kamus Al-Munjid.
Tidak ada di negara lain yang memiliki istilah halal bihalal dan hanya di Indonesia saja, karena yang memviralkan istilah halal bihalal itu adalah KH Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama (NU).
“Apapun tatanannya, tapi secara substansi, halal bihalal di dalamnya mengandung unsur silaturahim dan ini adalah satu ciri dan cara dari para ulama kita dalam mensyiarkan ajaran agama Islam. Kita ini juga ada rutinan tahlilan, itu juga cara Jawa. Tahlilan itu memang salah satu ciri dan cara yang dilakukan oleh para ulama kita untuk mengajak para masyarakat berdzikir dan wiridan,” pungkasnya.