Kudus, NU Online Jateng
Bertempat di Aula Pesantren Tahfidh Yanbu’ul Qur’an (PTYQ) Kudus, pada Ahad (13/11/2022) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar ‘Halaqah Fiqih Peradaban’ dengan tema bahasan ‘Fiqih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas.
Ketua Lembaga kajian dan pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU H Ulil Abshar Abdalla menyampaikan, bahwa fiqih peradaban yang digagas oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tak lain agar para kiai terlibat berbicara mengenai problematika Internasional.
“Selain halaqah ini, PBNU juga menggagas R-20 (yang baru selesai digelar belum lama ini, red). Sebuah forum diskusi antaragama yang diadakan dengan misi agar agama dapat menjadi solusi atas problematika dunia,” urainya.
Pengagum Imam Al-Ghazali itu menambahkan, problematika dunia sangat beragam. Dan di antara berbagai problematika tersebut juga ada beberapa yang bersinggungan dengan agama.
“Salah satu konten yang menjadi sorotan adalah problematika yang bersinggungan dengan agama. Sehingga perlu ditemukan solusi agar agama menjadi jalan keluar, bukan sumber atas masalah itu sendiri,” ungkapnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI H Hasyim Asy’ari menjelaskan, relasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan negara yang perlu dicatat adalah perannya yang mengokohkan status (Indonesia, red) sebagai negara bangsa (Nation State).
“Indonesia (itu) bukan negara sekuler ekstrem, sebab spirit agama senantiasa melekat pada Negara Indonesia. Bahkan dalam teks-teks kebangsaan, pengadilan, pelantikan di Indonesia tidak pernah terlepas dengan narasi keagamaan, seperti ketuhanan; demi Tuhan, dalam keadilan Tuhan, dan lainnya,” tegasnya.
Dia mengemukakan, jika mengacu pada sudut pandang ‘mayoritas dan minoritas’ dalam sistem pemilihan di Indonesia, pada dasarnya masih belum jelas. “Sistem pemilihan di Indonesia mengacu pada sistem yang proporsional. Dengan demikian, tidak jelas mana yang minoritas dan mana yang mayoritas,” paparnya.
Menurutnya, penting juga untuk dikemukakan terkait sistem pemilihan di Indonesia, antara lain soal hak pilih perempuan, penyandang disabilitas dan Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
“Indonesia secara demokrasi lebih maju dibanding Amerika dari sisi memberikan hak pilih perempuan. Amerika memberikan hak pilih terhadap perempuan baru berlangsung tahun 1970-an, sedangkan Indonesia sudah lebih dulu,” tuturnya.
Selain itu lanjutnya, pada mulanya ODGJ dan disabilitas mental tidak memiliki hak pilih. Kemudian pada 2019, Undang-undang (UU) menghapus ketentuan tersebut. “Kuantitas bukan acuan dalam menentukan minoritas-mayoritas. Secara ekonomi, misalnya, meskipun dipegang oleh segilintir orang yang secara kuantitas sedikit, namun secara pengaruh begitu besar,” katanya.
Dalam siaran pers yang diterima redaksi NU Online Jateng, Senin (14/11/2022) halaqah dihadiri para kiai dan sejumlah tokoh antara lain KHM Ulinnuha Arwani, KHM Ulil Albab Arwani, KHM Nadjib Hasan, KHA Badawi Basyir, KHA Ainun Na’im, KH Asyrofi Masyito, KH Nur Khamim, KH Ulinnuha, KH Amin Yasin, KH Aslim Akmal, dan sejumlah undangan. (*)