Cicalengka, kecamatan di sebelah timur Kabupaten Bandung, sejak lama menjadi tempat merantau orang Palembang. Mereka berbisnis, terutama mengusahakan minyak sereh wangi, tenun, dan tanaman lada. Tetapi mereka sangat besar pula perhatiannya terhadap dunia pendidikan, terutama Islam, bahkan orientasinya bukan hanya di tanah air, melainkan nun jauh hingga ke Mesir dan Turki. Karena besar perhatiannya itulah, tidak heran, bila di antara mereka banyak yang menjadi ulama, aktivis organisasi keislaman, dan pendiri lembaga pendidikan keislaman.
Sebelum membahas keterlibatan orang Palembang di Cicalengka di dunia ilmu keislaman, terutama yang diwakili salah seorang tokohnya yaitu Hamid Hamzah (m. 1941), sekilas saya akan menguraikan bisnis yang mereka kerjakan.
Dari laporan surat kabar, saya jadi tahu lahan di Cicalengka untuk kebun dan pabrik sereh sangat luas. Menurut AN (“Sereh moendoer, Sampeu Madjoe”, Sipatahoenan, 26 Agustus 1936) sebelum 1933, luas lahan pabrik sereh di Nagreg sebanyak 400 bahu (Katerangan ti noe ngabogaan pabrik serh di Nagreg, djeung kebon sereh goena eta pabrik legana 400 baoe). Sedangkan pada periode 1933-1935 luasnya menjadi berkurang menjadi 200 bahu (“Dina taoen 1933-1934-1935 kaajaan kebon tinggal 200 baoe”). Satu bahu (bouw, bau) berkisar di sekitar 7000-7400 meter persegi.
Selain sereh, saudagar Palembang di Cicalengka mencoba mengusahakan penanaman lada (pedes). Hal ini antara lain dapat disimak dalam berita “Melak Pedes” (Sinar Pasoendan, 12 Oktober 1934). Di paragraf pertama dikatakan selain mengusahakan pabrik sereh, pengusaha Palembang di Cicalengka menambah lini usahanya dengan menanam lada (Saoedagar-saoedagar Palembang di Tjitjalengka, lain bae oesaha tina fabriek sereh, tapi ajeuna geus nambahan melak deui pedes).
Salah satu penyebabnya, turunnya harga minyak sereh, sehingga masyarakat di kampung sudah membongkar tanaman serehnya. Sementara tanaman lada di Cicalengka belum ada saingannya, selain memang karena harga lada di pasaran lumayan unggul. Seperti di Jakarta, lada Lampung yang putih dijual sepikulnya sebesar f. 42, sementara yang hitam sebesar f.16 per pikul.
Dengan latar pengusaha itulah, orang-orang Palembang di Cicalengka menjadi memiliki modal untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, khususnya ke negeri-negeri yang menjadi pusat pengajaran keislaman. Misalnya keluarga pasangan Hamzah dan Embi Eteng, yang empat anaknya, yaitu Zen Hamzah, Hamid Hamzah, Tohir Hamzah, dan Aminoeddin Hamzah, merupakan lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Kuliah di Universitas Al-Azhar
Secara silsilah, sebagaimana yang saya lihat dari Silsilah Keluarga Besar Muhamad Aqil (2021) yang dapatkan dari Dadan Muttaqien (melalui komunikasi dan kiriman file pada 19 Agustus 2022), Hamzah adalah anak pertama dari Muhamad Aqil. Adik-adik Hamzah ada Husin, Ahmad, Mad Ied, dan Amin. Pada gilirannya, Hamzah menikah dengan Embi Eteng dan melahirkan sembilan orang anak, yaitu Hasanah, Toyib (1901-1986), Halimah, Mariam, Zen, Hamid, Tohir, Aminuddin, dan Mardiah. Dengan catatan, besar kemungkinan Muhamad Aqil hidup di abad ke-19, sementara Hamzah lahir pada abad ke-19 dan hidup pada abad ke-20.
Latar belakang keluarga Hamzah adalah pemilik pabrik sereh. Hal ini antara lain dapat dibaca dari Sipatahoenan edisi 18 Juni 1934. Di dalam berita yang bertajuk “Bagong Njasab” tertulis begini, Dina poe Ahad ddo. 17 Juni 1934, di Kampoeng Tjikoeroetoeg, Tjitjalengka, deukeut fabriek sereh Entje Amjah geus aja bagong njasab (Hari Minggu, 17 Juni 1934, di Kampung Cikurutug, Cicalengka, dekat pabrik sereh milik Encik Hamzah ada babi hutan tersesat).
Dengan demikian, Hamzah termasuk yang disebut Sinar Pasoendan sebagai salah seorang di antara “Saoedagar-saoedagar Palembang di Tjitjalengka”. Dengan kemampuan keuangannya berikut hasrat untuk menyekolahkan setinggi mungkin, terutama di bidang keagamaan Islam, Hamzah memberangkatkan anak-anaknya ke Mesir untuk belajar dan kuliah di Universitas Al-Azhar dan Daroe El Oeloem. Menariknya yang justru pertama tercatat adalah Hamid Hamzah.
Ia tercatat sebagai salah seorang siswa di Daroe El Oeloem, di antara tujuh pemuda Indonesia yang belajar di sana. Dalam berita “Azhar University, Daroel Oeloem, dan Pemoeda-pemoeda Indonesia” (Mustika, 15 Desember 1931; Bintang Timoer, 21 Desember 1931) ketujuh pemuda Indonesia di Daroe El Oeloem itu adalah Masroeddin (Padang), Moechtar Jahja (Padang), Badroeddin (Padang), Salim (Langkat), Saleh Oesman (Semenandjoeng), Hamid Hamzah (Tjitjalengka, Java), dan Abdul Kahar Moezakir dari Djokja”.
Sementara dalam “Examen Al-Azhar di Cairo” (Bintang Timoer, 17 Oktober 1932), nama Moehammad Zen Hamzah asal Bandung dan Tahir Hamzah asal dari Bandung dikatakan termasuk “studenten jang telah loeloes dari Al-Azhar” dan “jang mendapat diploma tinggi (Sjahadah Alamijah)”. Berita tersebut diulangi dalam Bintang Timoer edisi 25 Oktober 1932.
Besar kemungkinan yang disebut “loeloes” adalah lolos masuk ke Universitas Al-Azhar. Karena sebagaimana yang saya baca dari “Studenten Indonesier di Cairo” (Bintang Timoer, 20 Desember 1932) ditemukan daftar mahasiswa dari Indonesia yang belajar di Kairo. Di antaranya pemuda Bandung yaitu “Abdulhamid (Bandoeng) student El Azhar Univ”, “Zein Hamzah (Bandoeng) student pada El Azhar Univ”, “Tahir Hamzah (Bandoeng) student pada El Azhar Univ”, “Inoen Hamzah (Bandoeng) student pada El Azhar Univ”, dan “Oemar (Bandoeng) student pada El Azhar University”.
Selama di Mesir, ketiganya turut terlibat dalam pergerakan Indonesia. Pada tanggal 29 Januari 1933, Hamid Hamzah turut terlibat pembentukan organisasi Perhimpoenan Indonesia Raya di Kairo. Bahkan ia terpilih menjadi bendahara organisasi tersebut, sementara yang menjadi ketuanya adalah Abdoelkahar Moezakir, Hoesein Jahja sebagai sekretaris, Darwisch Amin sebagai komisaris, demikian pula dengan Abdoeldjalil Hasan (“Berita Officieel dari Perhimpoenan Indonesia Raya do Cairo, Mesir” dalam Adil, 15 Maret 1933).
Demikian pula Zen Hamzah. Ia tercatat menjadi ketua perhimpunan Indonesia Club pada April 1933. Zen menjadi ketuanya, sementara sekretarisnya Mohamad Farid. Sementara tujuan dari Indonesia Club adalah “soeatoe badan boeat mengoesahakan berdirinja club boet studenten Indonesia” (“Soerat-soerat dari Mesir”, Adil, 22 Mei 1933).
Selain berorganisasi, agaknya Hamid Hamzah aktif menulis. Hal ini antara lain terbukti dari namanya tercatat sebagai salah seorang koresponden untuk Al-Moemin, surat kabar yang diterbitkan oleh para pengurus Kaum Cianjur atau Masjid Agung Cianjur, pada edisi 15 Januari 1933. Di kotak redaksi “Soerat kabar Agama Islam keur Ngadeudeul Didikan Poetra-Poetri Islam” itu tertulis “Hamid Hamzah (Correspondent di Cairo)”.
Tetapi yang terang, dalam warta tahun 1939 disebutkan, Ki Agoes Aminoeddin Hamzah (voorz.), die een middelbare school in Cairo doorloopen en later zijn studiën in Turkije voortgezet heeft, Ki Agoes Hamid Hamzah (vice-voorz.), abituriënt van de Azhar-Universiteit en van de Daroel Oeloem te Cairo (IPO No. 30, 29 Juli 1939) atau Aminoeddin Hamzah menempuh pendidikan menengah di Kairo dan melanjutkan belajar ke Turki, sementara Hamid Hamzah lulusan Universitas Al-Azhar dan Daroe El Oeloem di Kairo.
Ketua NU Ranting Cicalengka
Sepulang dari Mesir, anak-anak Hamzah menjadi pemuka agama Islam, aktif berorganisasi dan mendirikan lembaga pendidikan. Di antara lembaga pendidikan Islam yang mereka didirikan adalah Madrasah Fathoel Chair, yang sekarang menjadi Taman Kanak-kanak (TK) Islam Terpadu (IT) Al-Muhsinat Fathul Khair (FK) Cicalengka, dan dikelola Yayasan Keluarga Sejahtera Fathul Khair (YKS FK).
Madrasah Fathoel Chair merupakan tempat berkumpulnya aktivis Nahdlatoel Oelama (NU) pada Minggu, 15 Juli 1934, untuk berpropaganda (Maksoedna ngajakeun ieu pasamoan nja eta rek nerangkeun tangtoengan Nahdoh), sekaligus rencana NU Cicalengka mendirikan madrasah agar anak-anak dapat menuntut ilmu, termasuk agama (Djoeragan Oemar ngadeg deui nerangkeun tina maksadna Nahdo Tjitjalengka rek ngadegkeun Madrasah). Selain itu, para peserta yang berjumlah sekitar 200 orang hendak mendengarkan uraian Wolff Schoemaker yang masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Kemal Schoemaker (“Openbare Vergadering Nahdlatoel Oelama di Tjitjalengka”, Sipatahoenan, 17 Juli 1934).
Hamid Hamzah termasuk yang bergabung dengan NU. Misalnya dalam berita “Pasamoan Oemoem Nahlatoel Oelama” (Sipatahoenan, 10 Agustus 1939), ia hadir dan menjadi narasumber dalam pertemuan NU Cabang Bandung yang diketuai S.W.A.R. Hassan atau Swarha. Di dalam berita nama Hamid Hamzah dikelirukan dengan Hamzah Hamid, dikatakan begini: Kadjaba poersiter djeung Secretaris noe sasaoeran dina ieu pasamoan oemoem teh aja toedjoeh, njaeta Adjengan Hamzah Hamid ti Tjitjalengka (bagian Agama), Rd. Ihwan djeung Rd. Danoe (bagian masarakat oemoem), Djenal Arifin, Consul NO Pasoendan ti Batawi, H. Siti Fatimah djeung H. Achmad, doeanana moealap Walanda ti Tjiparaj.
Sebulan sebelumnya, Hamid Hamzah menjadi salah seorang pendiri Comite Persiapan Partij Islam (PII) di Cicalengka. Bahkan, ia dengan kakak dan adiknya terlibat sebagai pengurus. Selengkapnya ketua komite tersebut adalah Aminoeddin Hamzah, wakil ketuanya Hamid Hamzah, sekretaris satu H. Ibrahim Soeleman, sekretaris dua Soekmawidjaja, sedangkan komisarisnya Admini K. Soleh Joesoep, M. Hasjim Soleh, Tohir Hamzah, Tojib Hamzah, dan Moehamad Said (“PII di Tjitjalengka”, Sinar Pasoendan, 18 Juli 1939).
Selanjutnya, Madrasah Fathoel Chair pada Desember 1939 dijadikan salah satu tempat aksi massa Gaboengan Politik Indonesia (GAPI). Di dalam “Massa-actie Gapi” (Sipatahoenan, 19 Desember 1939) dilaporkan, Tempatna di sakola Faethoel Chair, dideudeug koe koerang leuwih 500 oerang di antarana kira-kira 150 kaoem iboe (Tempatnya di sekolah Madrasah Fathoel Chair, yang didatangi oleh sekitar 500 orang, yang 150 orang di antaranya adalah ibu-ibu). Konon, setelah para pembicara menyampaikan materi mengenai tujuan GAPI, tercapai mosi yang senada dengan di tempat-tempat lainnya.
Sayang Hamid Hamzah tidak berumur panjang. Ia diwartakan meninggal dunia pada Sabtu, 18 April 1941 setelah sakit Longontsteking (radang paru-paru) selama dua minggu. Dalam obituari “H. Hamid Hamzah meninggal doenia” yang dimuat di koran Pemandangan edisi 24 April 1941 dikatakan, Marhoem H. Hamid Hamzah itoe salah seorang ex Student Universiteit Cairo, setibanja di tanah airnja mendjabat goeroe kepala pada madrasah Fatchoel Chair, ialah pergoeroean wakaf ajahnja, banjak poela peladjar2 jg datang dari loear Djawa.
Hamid juga disebutkan, Dalam pergerakan marhoem itoe sebagai Rais Kring (pemimpin) NO, vice voorzitter PII, pembantoe Cooperatie Priboemi dan anggauta P.O. tersiar. Dengan demikian, hingga meninggalnya, Hamid Hamzah adalah ketua NU Ranting Cicalengka dan tergabung dengan organisasi-organisasi lainnya. Ia menjabat juga sebagai kepala Madrasah Fathoel Chair.
Mengenai latar belakang keluarganya, dalam Silsilah Keluarga Besar Muhamad Aqil (2021) tertulis Hamid Hamzah menikahi Romlah dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Nunu Azizah. Sementara dalam Pemandangan edisi 24 April 1941 disebutkan saat meninggalnya, Hamid sudah menjadi menantu Kijai H. Ambari (ketua HBPO Majalengka) selama setahun lebih.
Sebelum Hamid Hamzah meninggal, tradisi orang Cicalengka menuntut ilmu di Mesir, seperti di Daroe El Oeloem terus berlanjut. Dalam artikel “Poetra Soenda … noe pangheulana ngantongan diploma Daroe El Oeloem-Loehoer” (Sipatahoenan, 2 Desember 1939) tercatat, Malah tatjan sakoemaha lilana aja noe deukeut pisan, nja eta ti Tjitjalengka (Bahkan tidak seberapa yang sangat dekat [ada siwa yang lulus di Daroe El Oeloem], yaitu dari Cicalengka).
Atep Kurnia, peminat literasi dan budaya Sunda, tinggal di Cikancung, Kabupaten Bandung