Hiruk pikuk Hari Santri Nasional masih terasa di Kota Tasikmalaya, untuk sebagian Pesantren perayaan hari santri tidak hanya dilakukan pada hari H-nya tanggal 22 Oktober namun juga sebelum dan sesudahnya. Ini adalah tradisi baru yang positif pasca diresmikannya tanggal 22 Oktober sebagai hari Santri Nasional sejak tahun 2015 silam.
Meski ada yang mengatakan sebagai produk politik, ya memang. Tapi harus diakui bahwa peringatan kemerdekaan 17 Agustus pun adalah buah dari produk politik para pendiri Bangsa.
Bagi santri zaman old, bulan Oktober sama saja dengan bulan-bulan yang lainnya tidak ada bedanya, tidak ada tambahan “refreshing” selain liburan pondok. Jadi bila ada yang masih mempertanyakan urgensi hari santri nasional sebaiknya sejenak melihat dari perspektif santri.
Hari Santri juga bagian dari upaya untuk mempertebal cinta tanah air melalui pelaksanaan upacara yang didalamnya menyanyikan lagu Indonesia raya dan lagu Syubbanul Wathon, Yaa Lal Wathan. Sebelum ada hari santri, jarang atau nyaris tidak pernah terlihat dimana sebagian besar peserta upacara bahkan petugas Bendera memakai sarung. Bahkan sebelum ada hari santri, susah pula dicarikan momentumnya Kyai pesantren memimpin pembacaan Teks Pancasila sambil mengenakan sarung.
Walhasil hanya dari pelaksanaan upacara hari santri saja sudah terbantahkan opini yang menggiring bahwa Pondok Pesantren sebagai sarang teroris.
Perayaan Hari santri yang disesaki oleh ribuan santri dari berbagai Pesantren juga merupakan sesuatu yang membahagiakan karena bagian dari eksistensi Pesantren yang masih menjadi rujukan utama untuk menggali ilmu agama dan keterampilan. Apalagi dari beberapa diskusi penulis dengan pimpinan pondok pesantren di Tasikmalaya, ditemukan fakta bahwa kini semakin banyak orang tua yang tidak pernah mondok namun anaknya dititipkan di Pesantren.
Dani Kamaluddin, Ketua Dewan Instruktur PC GP Ansor Kota Tasikmalaya
https://jabar.nu.or.id/opini/hari-santri-nasional-sebagai-komitmen-santri-untuk-nkri-nqwJd