Sehari menjelang puncak resepsi peringatan satu abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo kemarin (7/2/2023), Kompas menurun semacam liputan panjang tentang NU. Salah satunya berupa infografis perjalanan panjang NU selama satu abad. Tidak tanggung-tanggung, infografis itu dibuat dalam dua halaman penuh. Full colour.
Ada yang menggelitik saat saya baca pada kolom bagian bawah yang memuat informasi nama nama Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dari masa ke masa. Mata saya langsung fokus memelototi nama-nama dan tahun mengabdinya para ketua umum.
Setelah saya baca dengan seksama, ternyata ada sejumlah kesalahan. Di antaranya adalah soal masa khidmat kepemimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam infografis tersebut, ayahanda Gus Dur itu, tertulis berkhidmat menjadi ketua umum pada 1951-1954.
Data ini jelas tidak akurat. Yang pertama, Kiai Wahid wafat pada 19 April 1953. Jadi, tidak mungkin beliau menjadi pengurus hingga tahun 1954. Ketidakakuratan yang kedua adalah momentum peralihannya yang terjadi pada 1951. Pada tahun ini, NU tidak melakukan muktamar sebagai forum tertinggi yang menentukan pergantian ketua. Muktamar NU terjadi pada 1950 di Jakarta dan di Palembang pada 1952.
Lantas, bagaimana hasil dari dua muktamar tersebut?
Dari kedua Muktamar NU tersebut, tak disebutkan Kiai Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Pada kedua muktamar itu, Kiai Wahid Hasyim hanya disebutkan sebagai Ketua Muda. Jabatan ini, bukan berarti sebagai seorang ketua yang masih muda, tapi posisi yang setara dengan Wakil Ketua dalam terminologi sekarang.
Tentang hal ini bisa dibaca di Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Kementerian Agama, 1957), hal. 491 dan Kepartaian dan Parlementaria Indonesia (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1954) hal. 425 sebagaimana dikutip oleh Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama (Yogyakarta: LKiS, Cet.IV, 2009), hal, 364. Saya juga memiliki sejumlah arsip dan kliping yang memperkuat hal ini.
Selain itu, kesalahan yang cukup fatal menurut saya adalah hilangnya nama KH. Masykur sebagai salah satu Ketua Umum PBNU. Sosok pahlawan nasional ini, pernah terpilih dua kali sebagai ketua umum. Yakni, pada Muktamar XVIII NU di Jakarta (1950) dan Muktamar XIX NU di Palembang (1952). Ada banyak sumber primer yang bisa dirujuk tentang ini. Di antaranya adalah Surat Instruksi PBNU bernomor 1/LB tertanggal 7 Desember 1950. Dalam surat tersebut tertera jelas bahwa KH. Masjkur sebagai Ketua Umum dan KH. Achmad Siddiq sebagai Sekretaris Umum.
Deretan kesalahan sebagaimana yang dimuat di harian Kompas itu, sebenarnya bukanlah yang pertama. Jika kita cari lagi ada banyak produk jurnalistik yang luput mengurutkan daftar Ketua Umum PBNU itu. Sebut saja di Wikipedia, sebuah situs ensiklopedis yang kerap menjadi jujukan netizen, menuliskan tentang nama-nama ketua NU demikian: KH. Hasan Gipo (1926-1952), KH. Idham Chalid (1952-1984), KH. Abdurrahman Wahid (1984-1999), KH. Hasyim Muzadi (1999-2010) dan KH. Said Aqil Siraj (2010-sekarang)[https://id.wikipedia.org/…/Daftar_Ketua_Pengurus_Besar…, diakses pada 14 November 2021]
Setali tiga uang dengan Kompas, kesalahan demikian juga pernah dilakukan oleh CNN Indonesia. Infografis yang disajikannya juga tidak akurat [https://www.cnnindonesia.com/…/infografis-deret-ketum… diakses pada 14 November 2021.] Hatta, dalam sejumlah berita yang dirilis oleh laman resmi PBNU sendiri, kerap alpa dengan hal ini [https://www.nu.or.id/…/ini-daftar-lengkap-penerima… diakses pada 13 Februari 2023].
Deretan kesalahan tersebut, bisa jadi membaca sumber-sumber sekunder yang tidak kritis. Ada beberapa buku yang secara khusus mengkompilasi biografi para Ketua Umum ini yang kemungkinan besar kemudian dirujuk oleh para penulis online. Salah satunya adalah “Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” yang disusun oleh Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan. Ini terhitung sebagai buku “resmi” karena diterbitkan oleh Lembaga Ta’lif wan Nashr (LTN) Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada 2007.
Pada halaman 103 buku tersebut, mengurutkan nama-nama Ketua Umum sebagai berikut: Hasan Gipo (1926-1929), KH. Achmad Nor (1929-1936), KH. Machfudz Siddiq (1937-1944), KH. Nachrawi Thohir (1944-1951), KH. Abdul Wahid Hasyim (1952-1953), KH. M. Dahlan (1953-1956), KH. Idham Chalid (1956-1984), KH. Abdurrahman Wahid (1984-1999), KH. Hasyim Muzadi (1999-sekarang/ buku ini diterbitkan pada 2007).
Urutan yang nyaris sama juga diulang oleh M. Solahuddin dalam bukunya yang berjudul “Nakhoda Nahdliyyin (Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013)”. Pada halaman 145, ia mendaftar nama-nama Ketua Umum sebagai berikut:
H. Hasan Gipo (1926-1929), KH. Achmad Noor (1929-1937), KH. Mahfudz Siddiq (1937-1942), KH. Nachrowi Thohir (1942-1952), KH. A. Wahid Hasyim (1952-1953), KH. Masykur (1953-1954), KH. Muhammad Dahlan (1954-1956), KH. Idham Chalid (1956-1984), KH. Abdurrahman Wahid (1984-1999), KH. Hasyim Muzadi (1999-2010), KH. Said Aqiel Siradj (2010-sekarang).
Sebagaimana saya sebutkan di atas, kesalahan tersebut akibat ketidakcermatan dalam membaca sumber-sumber sekunder serta tak merujuk pada arsip. Ada data yang masih asumsi kemudian dianggap sebagai satu fakta yang sesungguhnya. Contoh kasus adalah soal masa khidmat Haji Hasan Gipo. Dimana dalam sumber-sumber di atas disebutkan bahwa beliau memimpin PBNU dari 1926 hingga 1929. Sejauh penelusuran saya, data ini besar kemungkinan merujuk pada buku “Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU” yang dieditori oleh Saifullah Ma’shum (1998).
Buku yang diterbitkan oleh Mizan itu, ketika menulis tentang biografi singkat Hasan Gipo mendasarkan sumber penulisannya pada wawancara narasumber yang rerata tak bersentuhan secara langsung. Sehingga banyak informasi yang sebenarnya masih bersifat praduga. Namun, kemudian buku ini banyak menjadi rujukan akan penulisan buku-buku sesudahnya, sehingga praduga tersebut pun dianggap fakta yang valid. Cek saja pada halaman 51:
“Hasan Gipo menjadi ketua tanfidziyah selama kurang lebih tiga tahun, bertepatan dengan terjadinya Clash I dan Clash II. Pada Kongres (Muktamar) ke-3 yang diselenggarakan di Semarang, Hasan Gipo digantikan oleh KH. Noor, tokoh NU dari Sawah Pulo, Surabaya.”
Jelas saja penulisan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain tanpa menyebut sumbernya, juga masih bersifat dugaan, terlihat dari penggunaan kata “kurang lebih”. Lebih dari itu, istilah Clash I dan Clash II jelas sekali merujuk pada peristiwa agresi militer yang terjadi pada 1947. Yang ganjil lagi adalah pelaksanaan Muktamar ke-3 yang disebut di Semarang. Yang benar adalah di Surabaya (1928). Sedangkan di Semarang adalah Muktamar ke-4 pada 1929.
Selain itu, juga terdapat arsip-arsip yang membantah hal tersebut. Salah satu arsip yang menganulir pernyataan tersebut adalah edaran tentang pelaksaan Muktamar ke-7 NU di Bandung pada 1932. Pada arsip tersebut, masih ditandatangani oleh Hasan Gipo selaku Presiden HBNO (PBNU).
Kemudian, bagaimana sebenarnya urutan daftar Ketua Umum PBNU dari masa ke masa? Dari hasil riset yang saya lakukan, berikut adalah daftarnya:
Haji Hasan Gipo (1926-1934), KH. M. Noer (1934-1937), KH. Machfudz Siddiq (1937-1943), KH. Nachrowi Thohir (1943-1944), KH. Muhammad Dachlan (1943-1948 & 1954-1956), KH. Abdul Wahid Hasyim (1948-1950), KH. Masykur (1950-1954), KH. Idham Chalid (1956-1984), KH. Abdurrahman Wahid (1984-1999), KH. Hasyim Muzadi (1999-2010), KH. Said Aqil Siradj (2010-2021) dan KH. Yahya Cholil Staquf (2021-sekarang).
Untuk penjelasan dan sumber-sumber dari daftar di atas sebenarnya telah saya susun dalam buku kecil. Tapi, karena harus ditambahkan keterangan-keterangan tambahan lain, hingga sekarang buku tersebut belum tersentuh. Semoga segera ada sponsor sehingga buku ini bisa segera diselesaikan dan tak terjadi lagi media salah kutip. Amin.
Ayung Notonegoro, salah seorang peneliti NU
https://jabar.nu.or.id/sejarah/harian-kompas-dan-kesalahan-daftar-ketum-pbnu-dari-masa-ke-masa-Ae6TJ