Assalamualaikum wr.wb. Saya izin bertanya kepada redaktur NU Online, bagaimanakah hukumnya bila kita membeli atau menggunakan produk dari pihak yang mendukung atau bahkan mendanai kelompok LGBTQ+, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer dan lainnya?
Berikutnya, bolehkah kita bekerja pada perusahaan tersebut, atau bekerja dengan pihak-pihak yang memiliki keadaan serupa?
Selama ini yang saya pahami adalah setiap transaksi jual beli maupun pekerjaan secara syariat bila objek jual belinya atau objek pekerjaannya halal maka tetap sah dan halal barang atau upah yang didapatkan.
Namun, saya ingin menanyakan agar lebih jelas lagi, karena ada kalangan yang mengajak boikot terhadap produk-produk dari pihak tersebut dan tidak memperbolehkan bekerja di tempat tersebut, meskipun hal yang dijadikan objek jual beli atau objek pekerjaan adalah halal. Terima kasih. (Fakhri – Jakarta)
Jawaban
Wa’alaikumsalam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga kita semua selalu mendapat rahmat dan keberkahan dari Allah swt.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui bahwa aktivitas apapun yang membantu keberlangsungan kemaksiatan hukumnya adalah haram. Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan:
ونحو ذلك من كل تصرف يفضي إلى معصية كبيع الرطب ممن يتخذه نبيذا وبيع ديك الهراش وكبش النطاح ممن يعاني ذلك (حرم) لأنه تسبب إلى معصية
Artinya, “Begitu juga setiap aktivitas yang mengakibatkan terjadinya kemaksiatan, seperti menjual kurma kepada orang yang ingin menjadikannya nabidz (minuman keras), menjual ayam atau domba kepada orang yang akan mengadu hewan tersebut, semua itu hukumnya adalah haram, karena dapat menyebabkan terjadinya kemaksiatan.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz II, halaman 41).
Keharaman tersebut menurut Imam Syamsuddin Ar-Ramli berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud:
لَعَنَ الله الخَمْرَ، وشَارِبَهَا، وسَاقِيَهَا، وبَائِعَهَا، ومُبْتَاعَهَا، وعَاصِرَهَا، ومُعْتَصِرَها، وحَامِلَهَا، والمَحْمُولَةَ إِلَيهِ. رواه أبو داود
Artinya: ”Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pembuatnya, pembawanya, dan pemesannya.” (HR Abu Dawud).
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa yang terkena hukum haram tidak hanya peminum khamr saja. Namun siapa saja yang ikut andil dalam praktek kemaksiatan minum minuman keras, mulai dari peminum, pembeli, penjual, pembuat dan pembawa khamr, juga terkena hukum haram. Praktek seperti ini dalam literatur fiqih Salaf dikenal dengan istilah i’anah ‘alal ma’shiyah, membantu kemaksiatan yang diharamkan.
Meski i’anah ‘alal ma’shiyah adalah haram, namun para ulama telah menjelaskan secara detail kapan tindakan seseorang bisa tergolong membantu kemaksiatan. Al-Qadhi Taqi Al-Ustmani menjelaskan definisi i’anah ‘alal ma’shiyah sebagai tindakan yang menjadi penyebab satu-satunya sebuah kemaksiatan, sekiranya jika tidak ada tindakan tersebut, maka maksiat tidak akan terjadi.
ولكن الإعانة حقيقة هي ما قامت المعصية بعين فعل المعين، ولا يتحقق إلا بنية الإعانة أو التصريح بها، أو تعينها في استعمال هذا الشيء، بحيث لا يحتمل غير المعصية، وما لم تقم المعصية بعينه لم يكن من الإعانة حقيقة، بل من التسبب
Artinya: “Sejatinya i’anah ‘ala ma’shiyah adalah suatu tindakan yang menjadi penyebab langsung kemaksiatan tersebut. Hal itu tidak akan mungkin terjadi kecuali ada niat membantu kemaksiatan atau tindakan itu menjadi satu-satunya penyebab terjadinya kemaksiatan. Sekiranya tindakan tersebut tidak ada kemungkinan lain kecuali menjadi sebab terselenggaranya kemaksiatan. Karena itu, suatu tindakan yang tidak menjadi penyebab langsung kemaksitan tidak disebut i’anah.” (Taqi Al-Ustmani, Buhust fi Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashirah, halaman 485).
Dari referensi di atas dapat dipahami bahwa tidak semua sebab terjadinya kemaksiatan adalah haram. Namun, yang dihukumi haram hanyalah tindakan yang menjadi penyebab kemaksiatan secara langsung. Seperti yang telah dicontohkan di awal, haram hukumnya menjual anggur kepada orang yang diketahui akan menjadikannya arak, karena tergolong i’anah ‘alal ma’shiyah atau membantu kemaksiatan.
Karena itu, diperbolehkan bagi seseorang untuk membeli barang dari pedagang yang menempati bangunan toko yang haram. Meskipun hal itu menyebabkan pedagang semakin semangat menetap di bangunan haram tersebut. Karena pembelian tersebut tidak menjadi penyebab secara langsung pedagang menetap di bangunan itu. Dalam artian, adanya pembelian atau tidak, maksiat tetap berlangsung dengan menetapnya pedagang di bangunan tersebut. Berikut redaksi keterangan kasus di atas:
قال الغزالي الأسواق التي بناها السلاطين بالأموال الحرام تحرم التجارة فيها وسكناها فإن سكنها بأجرة وكسب شيئا بطريق شرعي كان عاصيا بسكناه يحرم كسبه وللناس أن يشتروا منه ولكن إن وجدوا سوقا أخرى فالشراء منها أولى لأن الشراء من الأولى إعانة لسكانها وترغيب في سكناها وكثرة أجرتها والله سبحانه وتعالى أعلم. إهـ
Artinya, “Imam Al-Ghazali berkata terkait pasar yang dibangun oleh pemerintah dengan harta haram. “Hukumnya haram berdagang dan menetap di pasar tersebut. Jika seseorang menempat di pasar itu dengan menyewa dan berdagang dengan cara halal, maka ia berdosa sebab menempati bangunan pasar. Bagi masyarakat boleh membeli dari pedagang tersebut. Namun jika menemukan pedagang di tempat yang halal, sebaiknya dia beli di tempat itu. Karena membeli di pasar yang pertama, pasar yang haram, dapat mendorong pedagang semakin lama menempat di pasar yang haram.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz IX, halaman 350).
Hukum Membeli Produk atau Bekerja di Perusahaan yang Mendanai LGBTQ+
Lalu bagaimana membeli produk atau bekerja di perusahaan yang mendanai LGBTQ+?
Mengacu ulasan di atas, maka hukum membeli produk dari pihak yang mendanai gerakan LGBTQ+ adalah diperbolehkan dan tidak termasuk i’anah ‘alal ma’shiyat, membantu kemaksiatan. Karena ketika membeli produk perusahaan tersebut, uang yang kita bayarkan tidak bisa dipastikan sebagai dana yang akan disumbangkan kepada kelompok LGBTQ+. Sٍebagaimana diketahui, tidak semua keuntungan perusahaan digunakan untuk mendanai gerakan LGBTQ+. Namun, keuntungan perusahaan juga ada yang dialokasikan ke jalan yang halal, seperti membayar gaji karyawan, pemutaran modal perusahaan, dan semisalnya.
Dalam literatur fiqih Syafi’iyah, kasus ini identik dengan kasus menjual anggur kepada orang yang memiliki kebiasaan minum khamr; atau kasus menjual pedang kepada orang yang biasanya berbuat jahat yang terkadang menggunakanya pula di jalan kebaikan. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menyatakan hukumnya halal, namun hendaknya untuk berhati-hati tidak melakukanya.
ويليه في الرتبة بيع العنب ممن يشرب الخمر ولم يكن خماراً وبيع السيف ممن يغزو ويظلم أيضاً لأن الاحتمال قد تعارض وقد كره السلف بيع السيف في وقت الفتنة خيفة أن يشتريه ظالم فهذا ورع فوق الأول والكراهية فيه أخف
Artinya, “Tingkatan berikutnya adalah menjual anggur kepada peminum khamr namun bukan kepada pembuat khamr; dan menjual pedang kepada orang yang terkadang berperang dengannya dan terkadang melakukan kejahatan pula dengannya. Hal ini tidak haram karena maksiat yang dilakukan masih ihtimal, belum pasti terjadi. Meski begitu, ulama salaf menyatakan makruh menjual pedang seperti itu di saat terjadi konflik, karena takut dibeli orang yang zalim.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz II, halaman 111-112).
Sedangkan bekerja di perusahaan tersebut hukumnya juga diperbolehkan, selama objek pekerjaan yang dilakukan adalah halal, seperti melayani penyimpanan file, memberikan layanan internet, dan semisalnya.
أما أن يكون الأجير مسلما والمستأجر ذميا فقد أجازه جمهور الفقهاء غير أنهم وضعوا معيارا خاصا هو أن يكون العمل الذي يؤجر نفسه للقيام به مما يجوز له أن يفعله لنفسه كالخياطة والبناء والحرث أما إذا كان لا يجوز له أن يعمله لنفسه كعصر الخمر ورعي الخنازير ونحو ذلك فإنه لا يجوز
Artinya: “Adapun orang Islam bekerja kepada non muslim menurut mayoritas ulama diperbolehkan. Hanya saja para fuqaha memberikan batasan-batasan khusus. Yaitu pekerjaan yang dilakukan harus pekerjaan yang halal, seperti menjahit, membangun, bertanam dan semisalnya. Namun jika objek pekerjaannya haram dilakukan baginya, seperti memproduksi khamr, menjaga babi, dan semisalnya, maka hukumnya pun menjadi haram.”(Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz I, halaman 290).
Bekerja di perusahaan tersebut juga tidak bisa dikatakan i’anah ‘alal ma’shiyah atau membantu kemaksiatan yang haram. Karena hasil dari pekerjaan yang kita lakukan di perusahaan itu tidak bisa dipastikan menjadi dana yang nantinya akan disumbangkan oleh perusahaan kepada kelompok LGBTQ+.
Pendapat Sandingan dari Madzhab Hanafi
Berkaitan dengan pertanyaan bekerja di perusahaan yang mendukung LGBTQ+, ada kasus serupa di dalam mazhab Hanafi. Yaitu pendapat Abu Hanifah tentang seseorang yang pekerjaanya mengantarkan minuman keras (khamr).
Dalam kasus ini, di lingkungan mazhab Hanafi terjadi perbedaan pendapat.
Pendapat pertama yang disampaikan Shahibul Madzhab, Imam Abu Hanifah, yaitu orang diperbolehkan bekerja sebagai pengantar khamr dan ia tidak tergolong orang yang melakukan kemaksiatan. Karena maksiat minum khamr terjadi sebab tindakan pemabuk dengan keinginannya sendiri.
Pendapat kedua menyatakan tidak diperbolehkan karena melihat keumuman hadits yang melaknat peminum khamr dan pembawanya. Pendapat kedua ini disampaikan oleh kedua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
وحمل خمر الذمي بأجر، يعني جاز ذلك وهذا عند الإمام وقالا يكره لأنه عليه الصلاة والسلام “لعن في الخمر عشرة وعد منها حاملها” وله أن الإجارة على الحمل وهو ليس بمعصية وإنما المعصية بفعل فاعل مختار فصار كمن استأجره لعصر خمر العنب وقطفه والحديث يحمل على الحمل المقرون بقصد المعصية
Artinya: “Hukumnya diperbolehkan bekerja sebagai pengantar khamr. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Imam Muhammad hukumnya tidak diperbolehkan. Dengan demikian, menurut Abu Hanifah menjadi buruh pembawa khamr bukanlah maksiat. Karena maksiat minum khamr terjadi sebab tindakan pemabuk dan keinginanya sendiri. Sedangkan larangan di dalam hadits terkait pengantar khamr itu diarahkan kepada orang yang mengantar khamr dengan tujuan membantu kemaksiatan.” (Ibnu Najim, Al-Bahrur Ra’iq, juz VIII, halaman 231)
Mengacu pendapat Abu Hanifah, Ibn Najim menegaskan bahwa upah yang dihasilkan dari mengantar minuman keras tersebut adalah halal.
وعلى هذا الخلاف إذا أجر دابة ليحمل عليها الخمر أو نفسه ليرعى له الخنازير فإنه يطيب له الأجر عنده
Artinya: “Berdasarkan perbedaan pendapat ini, ketika seseorang menyewakan kendaraannya untuk mengangkut khamr atau memperkerjakan dirinya untuk menjaga babi, sesungguhnya menurut Abu Hanifah, upah yang diperoleh adalah halal.” (Ibn Najim, Al-Bahrur Ra’iq, juz VIII, halaman 231).
Simpulan
Alhasil, apakah boleh membeli produk dari pihak yang mendanai LGBTQ+ atau bahkan bekerja di perusahaan tersebut?
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa membeli produk dari perusahaan yang mendanai LGBTQ+ hukumnya diperbolehkan. Begitu juga hukum bekerja di perusahaan tersebut adalah halal, selama objek pekerjaanya tidak melanggar syariat.
Sebaiknya kita mendapatkan pekerjaan yang lebih berkah bagi keluarga kita. Amin.
Ustadz M Intihaul Fudola Toha, Pengurus LBM Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-bekerja-di-perusahaan-yang-mendukung-lgbtq-Yre5y