Hukum Makmum Lebih Maju daripada Imam saat Jamaah di Masjidil Haram

Assalamu’alaikum wr wb. Izin mohon bertanya kepada pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online tentang praktik shalat jamaah di Masjidil Haram atau depan Ka’bah. Bagaimana hukum shalat berjamaah di mathaf (tempat tawaf/pelataran Ka’bah) dengan posisi makmum berada di shaf depan sementara imam Masjidil Haram berada di shaf yang lebih belakang? Terimakasih. (H Muhammad F – Lampung).
 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Semoga penanya dan para pembaca selalu mendapatkan pertolongan dan hidayah Allah swt.
 

Saat pelaksaan shalat berjamaah di Masjidil Haram, posisi imam tidak pasti sama. Terkadang imam di posisi paling depan dan lebih dekat dengan Ka’bah. Baik di area di depan pintu Ka’bah sebagaimana posisi imam saat Shalat Jumat atau ataupun di sisi Ka’bah yang lain, termasuk di dalam Hijir Ismail. Saat imam di posisi paling depan ini maka makmum berada dalam barisan mengelilingi Ka’bah. Dalam posisi imam seperti ini, hampir dipastikan tidak ditemukan satupun makmum yang berada searah dengan imam yang shalat di depannya.
 

Selain di dekat Ka’bah, sering pula imam berada di dalam bangunan masjid. Biasanya imam di posisi ini saat Shalat Tarawih dengan tujuan agar pelataran Ka’bah (mathaf) dapat tetap dipergunakan untuk tawaf yang biasanya di dulan Ramadlan sangat padat. Demikian pula saat shalat fardhu lima waktu, sementara jamaah umrah atau haji sedang padat.
 

Dengan posisi imam di tidak di mathaf, usai shalat,  jamaah dapat langsung menyelesaikan tawafnya. Saat posisi imam di bangunan masjid ini, area depan imam hingga dinding Ka’bah yang searah dengan imam biasanya kosong dari makmum yang shalat. Bahkan dahulu sering terlihat, saat menjelang shalat, banyak petugas Masjidil Haram yang menghalau jamaah untuk tidak shalat di area tersebut.
 

Pendapat yang Melarang Makmum di Depan Imam

Tindakan ini mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mensyaratkan keabsahan shalat makmum akan tercapai jika ia berada di belakang imam. Artinya, shalat berjamaah seorang makmum yang berada di depan imam hukumnya tidak sah. Pendapat ini adalah pendapat resmi mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali.
 

Mazhab Hanbali misalnya seperti termaktub dalam dalam Al-Inshaf karya Imam Al-Mardawi Al-Hanbali (wafat 885 H), juz IV halaman 417.
 

Mazhab Hanafi seperti dalam Badai’us Shanai’ karya Imam ‘Alauddin Al-Kasani Al-Hanafi (wafat 587 H) juz I halalam 45.  
 

Sementara mazhab Syafi’i seperti penjelasan Imam As-Syirbini dalamMughnil Muhtaj, juz I halaman 490, sebagaimana berikut:
 

أَحَدُهَا (لَا يَتَقَدَّمُ) الْمَأْمُومُ (عَلَى إمَامِهِ فِي الْمَوْقِفِ) وَلَا فِي مَكَانِ الْقُعُودِ أَوْ الِاضْطِجَاعِ؛ لِأَنَّ الْمُقْتَدِينَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِالْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ ذَلِكَ، وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ. وَالِائْتِمَامُ: الِاتِّبَاعُ، وَالْمُتَقَدِّمُ غَيْرُ تَابِعٍ (فَإِنْ تَقَدَّمَ )عَلَيْهِ فِي أَثْنَاءِ صَلَاتِهِ (بَطَلَتْ فِي الْجَدِيدِ) الْأَظْهَرِ
 

Artinya, “Syarat pertama shalat jamaah, makmum tidak mennyalip imamnya dalam posisi berdiri, tidak pula di tempat duduk, dan tempat tidur miringnya. Sebab, tidak ditemukan riwayat yang menyebutkan ada salah satu dari para makmum yang berjamaah mengikuti Nabi saw dan para Khulafaur Rasyidin berada di posisi depan imam. Selain itu juga didasarkan pada sabda Nabi  saw: “Sesungguhnya imam dijadikan (di dalam shalat jama’ah) untuk diikuti”. Makna  i’timam adalah mengikuti. Sementara orang yang berada di depan imam tidak disebut mengikutinya. Karena itu, jika makmum berada di depan imam di tengah-tengah shalat, maka hukum shalatnya tidak sah menurut Qaul Jadid yaitu pendapat yang paling terang dalam mazhab Syafi’i.
 

Pendapat yang Membolehkan Makmum di Depan Imam

Namun demikian, terdapat sebagian ulama yang tidak mensyaratkan posisi makmum berada di belakang imam. Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab menjelaskan, Imam As-Syafi’i dalam qaul qadim membolehkan makmum shalat dengan posisi di depan imam.
 

Sementara As-Syirbini As-Syafi’i memberi catatan, menurut qaul qadim makmum di Masjidil Haram yang posisinya lebih maju daripada imam hukum shalatnya tidak batal, namun makruh. Malam Mughnil Muhtaj juz I halaman 490. As-Syirbini mengambil kutipan dari Imam An-Nawawi:
 

أمّا إذا صَلَّوْا في المسجد الحرام، فالمستحبُّ أن يَقِفَ الإمام خلف المقامِ، ويَقِفُوا مُستدِيرِينَ بالكعبة، بحيث يكونُ الإمامُ أقربَ إلى الكعبة منهم، فإن كان بعضُهم أقربَ إليها منه وهو في جِهة الإمام، ففي صِحَّةِ صلاتِه القولان؛ الجديدُ بطلانُها، والقديمُ صِحَّتُها،
 

Artinya, “Sedangkan jika orang-orangg shalat di Masjidil Haram maka imam disunahkan berada di belakang Maqam Ibrahim, dan para makmum berdiri mengelilingi Ka’bah dengan (syarat) sekiranya (posisi) imam (tetap) berada  lebih dekat dengan Ka’bah dibandingkan (posisi) mereka.
 

Jika sebagian makmum posisinya berada lebih dekat dengan Ka’bah daripada posisi imam padahal mereka di arah yang sama dengan imam, maka tentang hukum keabsahan shalat mereka terdapat dua pendapat (dari Imam As-Syafii). Pertama, qaul jadid (pendapat Imam As-Syafi’i yang baru; setelah berada di Mesir) menyatakan batal. Sementara pendapat lama (qaul qadim/pendapat Imam Syafi’i sebelum berada di Mesir), menyatakan sah.
 

Pendapat makruh di atas senada dengan dengan mazhab Maliki yang berpendapat hukumnya sah namun makruh jika tidak dalam keadaan terpaksa (dharurat) atau  uzur. Jika dalam keadaan terpaksa atau uzur, maka hukumnya boleh dan tidak makruh.
 

Keterangan ini sebagaimana dalam Al-Fawakih Al-Dawani karya  Syekh An-Nafrawi Al-Maliki (wafat 1126 H) dan Kifayatut Thalib Al-Rabbani karya Abul Hasan Ali bin Khalaf Al-Manufi Al-Maliki (wafat 1189 H).
 

An-Nafrawi dalam Al-Fawakih Ad-Dawani juz I halaman 326 berkata:
 

عُلِم مما قررنا أن هذا الترتيب وكذا الوقوف خلف الإمام مستحب، وخلافه مكروه، ومحل كراهة التقدم على الإمام ومحاذاته حيث لا ضرورة
 

Artinya, “Dari ketetapan sebelumnya, dapat diketahui bahwa tertib dan berdiri di belakang imam hukumnya mustahab (sunah). Menyelisihinya hukumnya makruh. Konteks makmum dimakruhkan berada di depan imam atau sejajar dengan imam adalah saat tidak dalam kondisi darurat.”
 

Ali bin Khalaf Al-Manufi dalam Kifayatut Thalib juz I halaman 389 berkata:
 

وإن تَقَدَّمَ المأْمُومُ لعُذرٍ كضِيقِ المَسجِدِ جازَ مِن غيرِ كَراهةٍ
 

Artinya, “Jika makmum berada di depan imam dikarenakan uzur seperti halnya kondisi tempat shalat yang sempit maka hukumnya boleh tanpa ada kemakruhan.”
 

Sementara sebagian kecil ulama Hanabilah berpendapat sah secara mutlak, dan sebagian lain mensyaratkan harus adanya kedaruratan, seperti ketika makmum membludak hingga ruangan shalat penuh sesak. Jika tidak ada kedaruratan maka tetap tidak sah. Hal ini seperti ditegaskan Imam Al-Mardawi Al-Hanbali dalam Al-Inshaf juz IV halaman 417-418:
 

فإنْ وقَفُوا قُدَّامَه، لم تَصِحَّ. هذا المذهبُ بلا رَيْب، وعليه جماهيرُ الأصحابِ، وقطع به كثيرٌ منهم. وذكَر الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ وَجْهًا قالُوه: وتَصِحُّ مُطْلَقًا. قال في «الفُروعِ»: والمُرادُ وأمْكَنَ الاقْتدِاءُ. وهو مُتَجَّهٌ. انتهى. وقيل: تصِحُّ في الجُمُعَةِ والعيدِ والجَنازَةِ ونحوِها لعُذْرٍ. اخْتارَه الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّين
 

Artinya, “Jika para makmum berdiri di depan imam maka shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat mazhab (Hanbali) tanpa keraguan. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas murid-murid Imam Ahmad yang ditegaskan oleh sebagian mereka.
 

Syekh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah menyebutkan ada pendapat lain yang disebutkan ulama Hanbali yaitu pendapat yang mengatakan shalatnya sah secara mutlak.
 

Sementara Ibnu Muflih berkata dalam kitab Al-Furu’ bahwa yang dimaksud (dengan sah secara mutlak) adalah dengan syarat makmum masih mungkin untuk mengikuti imam. Penjelasan Ibnu Muflih ini tentu sesuatu yang seharusnya.
 

Ada pula pendapat lain yang mengatakan hukum shalatnya sah, baik dalam shalat Jumat, shalat Id, shalat Jenazah ataupun shalat-shalat lain yang semisalnya (jika) dikarenakan ada uzur. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekh Taqiyyuddin.”
 

Pendapat terakhir inilah yang belakangan dipedomani otoritas Masjidil Haram. Saat shalat jamaah lima waktu sementara tempat tawaf (mathaf) dalam kondisi penuh dan padat, sedangkan imam berada di bangunan masjid, maka jarang atau tidak ditemukan lagi petugas Masjidil Haram yang menghalau orang-orang hendak shalat di area depan imam. Demikian pula saat shalat Jenazah ataupun shalat Tarawih. Banyak orang yang dengan bebas melaksanakan shalat berjamaah dengan imam.
 

Hukum Shalat Makmum yang tidak Searah dengan Imam

Jika penjelasan di atas adalah tentang makmum yang berada searah dengan imam sekaligus di depan imam, lalu bagaimana jika makmum tidak searah dengan imam?
 

Hukum shalat makmum tersebut sah dan hampir tidak ditemukan khilaf yang kuat. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ juz IV halaman 191 menegaskan: 
 

وإن كان في غيرِ جهتِه فطريقان: المذهبُ: القطعُ بصِحَّتِها، وهو نصُّه في الأم، وبه قَطَع الجمهورُ
 

Artinya, “Jika makmum berada di selain arah imam (makmum menghadap sisi Ka’bah yang berbeda dengan sisi Ka’bah yang dihadapi imam, pen) maka ada dua periwayatan yang ditemukan.
 

Pendapat yang menjadi pendapat mazhab Syafi’i adalah riwayat yang mengabsahkannya secara pasti tanpa ada riwayat lain. Pendapat inilah yang ditulis dengan tegas oleh Imam As-Syafi’i dalam kitab Al-Umm. Demikian pula yang ditegaskan mayoritas ulama dengan tanpa riwayat khilaf.” Wallahu a’lam.

https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-makmum-lebih-maju-daripada-imam-saat-jamaah-di-masjidil-haram-bIMty

Author: Zant