ATM adalah singkatan dari Anjungan Tunai Mandiri atau Automatic Teller Machine. Kemanfaatan layanan ATM memang tidak bisa dipungkiri, kehadiranya mempermudah nasabah karena tidak perlu lagi datang ke bank untuk melakukan transaksi. Selain itu ATM juga menyediakan layanan transfer dimana dengan layanan ini memungkinkan seseorang untuk mengirim uang kepada orang lain dalam waktu singkat tanpa harus menempuh perjalanan yang jauh. Manfaat kedua ini juga sangat dirasakan oleh wali santri yang tempat tinggalnya jauh atau bahkan berbeda pulau dengan pesantren dimana tempat anaknya menimba ilmu.
Namun, kenyataan ini masih menyisakan kejanggalan fiqhiyah terkait anak kecil mengunakan kartu ATM sendiri, padahal maklum diketahui bahwa anak kecil itu belum cukup mampu untuk mengatur keuangannya. Lantas bagaimana hukum orang tua memberikan kartu ATM atau memberikan kewenangan pengelolaan keuangan kepada anaknya yang belum baligh, dan bagaimana pula hukum transaksi yang dilakukannya?
Dalil Al-Qur’an dan Hadits
Dalam surat An-Nisa ayat 6 Allah berfirman:
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ، فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ
Artinya, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Terkait ayat di atas Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya ِAl-Majmu’ Syarhul Muhaddzab menjelaskan:
فدل على أنه لا يسلم إليه المال قبل البلوغ والرشد
Artinya, “Firman Allah di atas menunjukkan larangan untuk menyerahkan harta kepada anak kecil yang belum baligh dan dewasa (rusd)“.
Penjelasan di atas menegaskan larangan untuk menyerahkan harta kepada anak kecil yang belum baligh dan dewasa.
Kemudian terkait larangan melakukan transaksi yang dilakukan anak kecil Imam An-Nawawi menyebutkan hadits:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ
Artinya, “Pena diangkat (dibebaskan dari hukum) dari tiga kelompok yaitu: (1) Orang yang tidur sehingga ia bangun. (2) Anak-anak sampai ia baligh. (3) Orang gila sampai ia sembuh.”
Setelah menyebutkan hadis di atas kemudian Imam Nawawi menjelaska alasan anak kecil dilarang melakukan transaksi atau jual beli:
ولانه تصرف في المال فلم يفوض إلى الصبى والمجنون كحفظ المال
Artinya, “Karena jual beli adalah pembelanjaan harta, maka tidak diperbolehkan anak kecil dan orang gila untuk menjalankan transaksi, seperti ketidakbolehan mereka menyimpan harta.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr], juz XIII, halaman 344, dan juz IX, halaman 155).
Dari penjelasan Imam An-Nawawi di atas dapat dipahami larangan menyerahkan harta, memyimpan dan menjalankan transaksinya bagi anak kecil yang belum baligh dan dewasa. Pelarangan ini tentu untuk kemaslahatan mereka sendiri.
Latihan Pengelolaan Keuangan bagi Anak
Namun demikian, bukan berarti tidak boleh sama sekali sampai anak menjadi baligh dan cakap dalam melakukan transaksi, melainkan mereka harus diuji terlebih dahulu secara bertahap sampai cakap melakukan transaksi. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Ar-Raudhah menjelaskan:
لَا بُدَّ مِنَ اخْتِبَارِ الصَّبِيِّ لِيُعْرَفَ حَالُهُ فِي الرُّشْدِ وَعَدَمِهِ. الي ان قال: وَلَا تَكْفِي الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ فِي الِاخْتِبَارِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ مَرَّتَيْنِ فَأَكْثَرَ بِحَيْثُ يُفِيدُ غَلَبَةَ الظَّنِّ بِرُشْدِهِ
Artinya, “Harus dilakukan pengujian anak kecil supaya diketahui kecakapannya melakukan transaksi atau belum. Pengujian ini tidak cukup hanya satu kali, melainkan dua kali dan seterusnya sekiranya diperoleh dugaan kuat akan kecakapannya melakukan tansaksi (rusd).”
Adapun kapan waktu pengujiannya, berikut penjelasan Imam An-Nawawi:
وَفِي وَقْتِ الِاخْتِبَارِ. وَجْهَانِ. أَحَدُهُمَا: بَعْدَ الْبُلُوغِ. وَأَصَحُّهُمَا: قَبْلَهُ. وَعَلَى هَذَا فِي كَيْفِيَّتِهِ وَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: يُدْفَعُ إِلَيْهِ قَدْرٌ مِنَ الْمَالِ، وَيُمْتَحَنُ فِي الْمُمَاكَسَةِ وَالْمُسَاوَمَةِ. فَإِذَا آنَ الْأَمْرُ إِلَى الْعَقْدِ، عَقَدَ الْوَلِيُّ. وَالثَّانِي: يَعْقِدُ الصَّبِيُّ وَيَصِحُّ مِنْهُ هَذَا الْعَقْدُ لِلْحَاجَةِ
Artinya, ” Adapun waktu ikhtibar atau pengujian itu ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Pendapat pertama setelah baligh, sedangkan pendapat kedua dan ini yang lebih shahih adalah sebelum baligh. Berangkat dari pendapat ini (sebelum baligh) terkait cara pengujiannya ada dua pendapat. Penbdapat pertama yang lebih shahih ialah dengan memberikannya harta dan mengujinya untuk melakukan penawaran, jika sudah waktunya akad maka walinya yang melakukan akad. Adapun pendapat kedua yang melakukan akad adalah anak kecil tersebut dan akadnya pun sah karena adanya hajat.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz IV, halaman 181).
Syekh Ahmad Khatib As-Syirbini (wafat 977) dalam kitabnya, Muhgnil Muhtaj menyebutkan pendapat Imam Al-Mawardi dalam pembahasan permasalahan yang sama sebagai berikut:
نقل عن الماوردي أنه يدفع إليه نفقة يوم في مدة شهر ثم نفقة أسبوع ثم نفقة شهر
Artinya, ” Dinukil dari Imam Al-Mawardi: (pengujian anak kecil dalam pengelolan harta) ialah dengan diberinya nafakah satu hari dalam waktu satu bulan, kemudian nafkah satu minggu, kemudian nafkah satu bulan.” (Ahmad Khatib As-Syirbini, Muhgnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah: 1415 H], juz III, halaman 138).
Hukum Transaksi Keuangan Anak
Adapun hukum transaksi anak yang belum baligh adalah sah, akan tetapi terbatas dalam hal-hal yang remeh. Sedangkan untuk sesuatu yang besar juga sah tapi seizin walinya, sebagaimana di jelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsidin:
ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما
Artinya, “Dinukil dalam kitab Al-Majmu’ dari Imam Ahmad dan Imam Ishaq tentang keabsahan jual beli anak kecil pada sesuatu yang sedikit atau remeh tanpa seizin walinya, dan sesuatu yang besar dengan seizin walinya.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Mustarsidin, [Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiyah: 1433 H], halaman 155).
Kesimpulan
Walhasil, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum orang tua memberikan kartu ATM atau memberikan pengelolaan harta kepada anak yang belum baligh tidak diperbolehkan, kecuali untuk tujuan menguji (ikhtibar) kemampuannya dalam mengelola harta sesuai kecakapannya.
Adapun transaksi keuangan anak kecil hukumnya diperinci. Untuk hal-hal yang bernilai kecil atau remeh hukumnya sah meskipun tanpa seizin walinya, sedangkan untuk hal-hal yang bernilai besar maka hukumnya tidak sah. Wallahu a’lam.
Untuk diketahui, tulisan ini secara umum merujuk pada sumber utama, yaitu Keputusan Bahstul Masail Kubro (BMK) Pondok Pesantren Al-Iman Bulus Gebang Purworejo tentang ATM Junior, yang diselenggarakan pada 24-25 Desember 2022.
Ustadz Muhammad Hanif Rahman. Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo. Tulisan Muhammad Hanif Rahman.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.