Idul Fitri: Momentum Untuk Saling Membahagiakan dan Mempererat Persaudaraan

Tidak terasa, hari ini adalah hari terakhir dari puasa Ramadlan dan esok kita merayakan Idul fitri. Ramadlan yang penuh berkah berlalu. Bukan hanya umat Islam yang menjadi sibuk oleh segala tradisi berlebaran itu, melainkan juga non muslim yang terlihat ikut bergembira dan dengan suka rela mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Itulah ciri khas budaya kita yang lebih mengedepankan rasa persaudaraan dan menghindarkan segala yang berpotensi merusakkannya. 

Baik muslim maupun non muslim terlihat berbaur sangat akur, tanpa rasa permusuhan dan saling berinteraksi (ber-muamalah) secara baik-baik di pasar-pasar tradisional hingga mall-mall yang  penuh sesak sejak awal Ramadlan hingga menjelang lebaran dan setelahnya . Para pedagang menangguk keuntungan dari para pembeli yang berjubel mengantri. Rumah-rumah mereka pun dibersihkan, dicat ulang, dirapikan, dihiasi dan bahkan pembangunannya segera dituntaskan sekedar untuk menyambut lebaran itu.

Jalan-jalan raya, pelabuhan-pelabuhan laut dan bandar-bandar udara pun dipenuhi oleh para pemudik. Ada banyak aktifitas lain dilakukan seperti mempersiapkan kue-kue lebaran dengan membuatnya sendiri dan atau membelinya. Para orang tua yang berkemampuan pun disibukkan memilih dan membelikan beragam pakaian untuk anak-anak mereka dan untuk diri mereka sendiri agar tampil pantas dan wajar saat saling bertemu, bertamu, atau menerima tamu.

Banyak juga di antara kita yang berbagi hadiah-hadiah lebaran seperti parcel atau THR dan zakat fitrah. Nabi pernah berpesan, “saling berbagi hadiah lah, agar kalian bisa saling mencintai,” Pendek kata pada hari lebaran semuanya harus ikut bergembira, bersuka cita, dan tidak boleh ada saudara-saudara  kita yang bersedih dan menderita pada hari raya.

“Pada harta orang-orang kaya itu ada kewajiban yang dimaklumi untuk diberikan kepada orang yang (berani) memintanya (karena sangat membutuhkan) dan orang yang membutuhkan namun tidak memintanya (karena menjaga kehormatan).” Demikian disebutkan dalam firman Allah. Sedangkan Rasulullah SAW pun berpesan kepada kita “cukupilah mereka (kaum fakir-miskin) agar mereka tidak meminta-minta pada hari raya.” Demikian pesan Rasulullah kepada kita semua.

Siapa yang bisa melaksanakan kewajiban berbagi atau memberi hendaklah dilakukan dengan ikhlas karena Allah, bukan karena ingin puja-puji, dan  jangan pernah menyombongkan diri, sedangkan siapa saja yang menerima apa yang menjadi haknya jangan pula berkecil hati, merasa hina dan rendah diri. Orang-orang  yang dianugerahi kelapangan rizki wajib bersyukur antara lain dengan cara berbagi atau bersedekah, sedangkan mereka yang sempit dan sangat terbatas rizkinya wajib bersabar dan tidak perlu iri dengki. Bila saja orang-orang kaya memerhatikan nasib kaum yang miskin, niscaya harta benda bahkan nyawa mereka akan aman dan kejahatan tidak merajalela. Siapa saja yang belum mampu bersedekah dengan hartanya, hendaklah is bersedekah dengan ucapan dan sikap baiknya. Memasukkan rasa gembira ke dalam hati orang yang beriman adalah sedekah.

Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu. Meringankan bebannya dengan akal pikiran atau tenagamu juga merupakan sedekah. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada mereka juga menjadi sedekah.

Selain itu, telah sejak lama mentradisi di negeri kita, bahwa berlebaran adalah momentum untuk halal bi halal yang biasanya diisi dengan aktifitas saling bersilaturrahmi, saling kunjung mengunjungi, saling maaf memaafkan, dan yang tidak boleh terlewatkan adalah untuk saling membahagiakan. Tentu saja aktifitas tersebut tidak terlarang bila dilakukan pada waktu lainnya, namun tidak patut melarang tradisi baik ini dengan alasan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Meski dalam berlebaran itu telah mentradisi bahwa yang muda mengunjungi yang tua sebagai bentuk penghormatan, namun juga tidak ada salahnya bila sesekali yang  tua atau yang dituakan “sedikit mengalah” mengunjungi yang muda sebagai perwujudan rasa kasih sayang. Siapa yang tidak datang maka jika sempat datangi saja. Dalam membangun persaudaraan  maka sikap “saling” tersebut harus terus dijaga. Jangan seperti Ka’bah di Makkah yang selalu mau dikunjungi namun tidak pernah mau mengunjungi.

Berlebaran dalam suasana liburan harus diisi dengan kegiatan-kegiatan positif. Perjumpaan dengan orang lain harus diisi dengan aktifitas untuk berpesan mengenai tiga hal,  yakni saling nasehat menasehati untuk melaksanakan kebenaran (tawashau bil-haqqi), bersabar (tawashau bish-shobri) dan menebarkan sikap saling menyayangi (tawashau bil-marhamah). Dalam perjumpaan dengan setiap orang pada hari raya atau pada saat lainnya hendaklah kita menjaga lidah dari menyakiti perasaan orang lain dan menahan diri dari apa saja yang merugikan atau membahayakan orang lain.  

Allah telah memerintahkan kepada kita “berkatalah kalian kepada manusia dengan perkataan yang baik.” Sehingga tidak patut kiranya jika momen lebaran digunakan untuk kegiatan negatif seperti menggunjing, marah-marah, menebar kebencian, memfitnah, mengadu domba dan lain-lain berupa maksiat kepada Allah atau merugikan orang lain. Tidak ada kebajikan dalam ucapan manusia kecuali yang berisi perintah untuk bersedekah, perintah berbuat baik, atau untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih.

Saat berlebaran adalah sebagaimana saat lainnya, bukan momentum untuk memamerkan segala yang dipunyai dan bukan pula waktu untuk  menonjolkan diri,  dan bukan saat untuk merasa lebih dalam segalanya dari orang lain. Sepanjang hayat harus ada kesadaran diri bahwa “banyak orang melebihi kita”. Seseorang hanya bisa menghormati orang lain jika ia telah memiliki sifat rendah hati, menyadari sepenuh hati bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa dan  jauh dari segala sifat kesempurnaan. 

Sebaliknya, setelah berakhirnya ibadah puasa Ramadlan kita berkewajiban untuk menjadi manusia yang mulia di sisi Allah dan merasa hina di hadapan manusia lain. Pandang lah orang lain  dengan  pandangan penuh penghormatan, tanpa diskriminasi,  dan dengan rasa kasih sayang karena banyaknya kekurangan dalam diri kita, dan jangan memandang  orang lain dengan pandangan yang menghinakan atau penuh kebencian karena pada diri mereka ada banyak kelebihan yang mungkin saja tidak ada pada diri kita. Terhadap orang yang dikenal jahat pun kita perlu bersikap baik, apalagi terhadap orang baik-baik. Rasanya tidak ada penjahat yang sama sekali tidak pernah berbuat baik dan sebaliknya tidak ada orang baik yang tidak pernah berbuat salah. Semoga momentum idul fitri menjadikan kita semua berbahagia, membahagiakan orang lain,  dan lebih mempererat persaudaraan antara sesama warga bangsa ini.

KH Ahmad Ishomuddin 

https://jabar.nu.or.id/hikmah/idul-fitri-momentum-untuk-saling-membahagiakan-dan-mempererat-persaudaraan-B5XfD

Author: Zant