Menjelang pemilihan umum (Pemilu), perbedaan pilihan akan banyak muncul di permukaan. Itu bukan masalah, melainkan sebuah keniscayaan. Pelangi indah karena banyaknya warna yang saling terpadu. Tanpa ada satu warnapun yang mendominasi. Musik akan berirama indah karena tersusun dari not musik yang berbeda dan saling melengkapi. Begitulah perbedaan bekerja, saling mengisi kekurangan satu sama lain untuk menciptakan harmoni (keselarasan).
Setiap manusia memiliki kecenderungan terhadap suatu hal, apalagi soal pilihan. Memaksa sifat alamiah tersebut sama saja berbuat zalim kepada orang lain. Dalam hal apapun pemaksaan tidaklah dibenarkan. Berbeda dalam pilihan itu wajar, yang tidak dibenarkan adalah memaksa orang lain untuk memiliki pilihan yang sama. Di sinilah pentingnya rasa saling menghormati atas keputusan orang lain.
Realitas Sosial tentang Perbedaan Pilihan
Belum lama ini penulis pernah mendengar cerita dari seseorang atas kejadian yang menimpa dirinya dan keluarganya. Singkat cerita, ada suami memaksa istri dan anaknya untuk memiliki pilihan yang sama dalam suatu kontestasi politik. Alih-alih memberikan alasan logis, justru sang suami menyatakan sikap untuk tidak menafkahi keluarga jika permintaan tersebut tidak dipenuhi. Bukan tanpa sebab, istri dan anaknya memiliki alasan yang kuat dalam kecenderungan pilihannya. Setelah kontestasi selesai, ancaman atas keidakpercayaan suami terhadap pilihan istri dan anaknya berdampak cukup panjang. Relasi dalam keluarganya menjadi kurang baik dan sering terjadi perselisihan.
Begitu besar dampak dari perbedaan pendapat dan pilihan yang tidak bisa diterima oleh seseorang. Dengan memanfaatkan kekuatannya, dirinya merasa pantas untuk menekan bahkan mengancam orang-orang yang seharusnya dilindungi. Ini adalah salah satu bukti saat memandang perbedaan sebagai masalah.
Mengatasi Perbedaan Pendapat ala Rasulullah
Jika kita telisik lagi, Rasulullah tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat. Bahkan dalam suatu kasus, Nabi membenarkan kedua pendapat yang berbeda asal tidak bertentangan dengan syariat. Penlis teringat cerita sahabiyyah yang disampaikan oleh Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan dalam suatu perhelatan maulid. Persisnya, cerita tersebut diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Nabi mengutus beberapa sahabat untuk mengunjungi perkampungan Bani Quraizhah. Nabi berpesan untuk tidak melakukan shalat Ashar selain di perkampungan Bani Quraizhah.
Tingginya rasa cinta dan kepatuhan sahabat terhadap Nabi, perintah tersebut langsung diterima tanpa mempertanyakan alasannya. Para sahabat seakan sudah mengetahui maksud Nabi. Begitulah rasa cinta, memandang segala sesuatu dengan nilai kasih sayang. Bukan dengan curiga dan keburukan.
Di tengah perjalanan, waktu shalat Ashar sudah masuk. Ada salah satu sahabat yang menginginkan untuk melaksakan shalat Ashar di perjalanan. Ia khawatir waktu shalat Ashar akan habis. Di sisi lain ada sahabat yang tetap ingin melaksanakan shalat Ashar ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Bukan masalah waktu, melainkan mereka menganggap bahwa ini adalah pesan yang diamanatkan nabi sebelum pemberangkatan.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat masih tetap teguh dengan pendiriannya masing-masing. Alhasil, ada yang memaknai pesan nabi secara kontekstual dengan memilih untuk melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan. Ada juga yang memaknai pesan nabi secara tekstual sehingga memilih untuk shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah.
Perbedaan pendapat ini kemudian diadukan kepada Rasulullah untuk menemui titik temu. Dengan rasa kasih sayang, Nabi membenarkan kedua pendapat tersebut asalkan tidak bertentangan dengan syariat.
Refleksi atas Perbedaan Pilihan
Dalam setiap ruang perbedaan, harus ada nilai kebaikan yang dipegang. Jangan sampai sifat keras dan egois menjadi kompas dalam pengambilan sikap. Nabi menunjukkan bahwa perbedaan tidak mesti diselesaikan dengan perselisihan. Kontestasi politik yang semakin memanas tidak lantas membuat hati kita ikut panas bukan? Tidak perlu gontok-gontokan, apalagi saling menjatuhkan lawan. Jadi ingat dawuhnya Gus Iqdam, tidak perlu mati-matian untuk mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati, mungkin kurang lebihnya demikian.
Perintahnya, agar setiap manusia memilih ulil amri yang baik. Bukan siapa ulil amrinya. Namun, seringkali perintah ini dijadikan dasar untuk memaksa orang lain agar memiliki pilihan yang sama. Fitrahnya manusia memiliki akal dan hati yang bekerja secara alami, nampaknya akan sulit untuk memaksa orang lain agar sesuai dengan keinginan kita. Jadi, biasa-biasa saja dalam menanggapi suatu perbedaan. Sifat fanatisme buta seringkali mengaburkan nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama. Ia merasa pendapatnya paling benar. Tidak jarang, pendapat tersebut berangkat dari kepentingan masing-masing yang ingin didapatkan.
Mari kita refleksikan bersama situasi politik saat ini. Mengapa pendukung yang sangat fanatik berlaku sedemikian rupa? Mencari celah kekurangan lawan untuk dihujat habis-habisan dan menggoreng berita yang belum tentu kebenarannya. Katanya pemilu merupakan pesta rakyat, mengapa harus ada keributan dalam suatu pesta? Bukankah pesta itu identik dengan hal-hal yang menggembirakan dan bersuka ria?
Setiap manusia memiliki hak dasar, termasuk di dalamnya ada hak untuk memilih. Memaksa pilihan seseorang sama halnya mengancam keseimbangan dasar seseorang. Saya kira, pilihan dalam setiap kontestasi politik bukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Jangankan kontestasi politik, perkara fiqih saja sangat beragam madzhabnya. Maka sangat diperbolehkan jika berbeda pilihan. Jangan merugikan keselamatan orang lain hanya untuk memenuhi keinginan yang belum tentu membawa kebaikan. Biarkan orang lain memilih atas dasar kesadarannya. Jika memang perlu diarahkan, maka arahkan dengan santun tanpa pemaksaan. Dengan begitu, kerukunan antara satu dengan yang lain dapat dipertahankan.
Dalam kesempatan Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh mengisi acara di PCNU Kota Pekalongan beberapa waktu yang lalu menyampaikan, warga NU sudah sangat dewasa dalam menyikapi hajatan 5 tahunan baik pilpres, pileg, maupun pilkada hingga pilkades, tidak perlu ada arahan khusus. Kiai Ubaidullah dalam hal ini NU menyerahkan sepenuhnya hak politik nahdliyin sesuai kemantaban pilihan hatinya. Yang terpenting menurutnya, pilihlah pemimpin yang paling minim risikonya. Sebab katanya, kalau toh harus diarahkan pada pilihan pemimpin tertentu juga belum tentu ‘manut’. Wallahu a’lam bis shawab
Siti Nisrofah, mahasiswi pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) KH Abdurrahman Wahid Pekalongan
https://jateng.nu.or.id/opini/indahnya-perbedaan-dalam-sebuah-pilihan-b3u8X