Berbicara tentang Nahdlatul Ulama (NU) nyaris tidak bisa terlepas dari masalah keberkahan (tabarukan), wasilahan (tawasulan) dan mahabbah. Bagi orang yang mendewakan rasio, masalah tersebut bisa disebut aneh, langka dan tidak ilmiah (unscientific). Tapi mayoritas warga NU (nahdliyin) selain rasio juga menggunakan bahasa iman, karena tidak semuanya bisa dibendakan/dimaterialkan.
Mereka yang datang pada acara puncak resepsi Harlah 1 Abad NU di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur Selasa (7/2/2023), mayoritas nawaitunya ngalap berkah atau mencari keberkahan. Berkah adalah sesuatu yang immaterial. Berkah adalah tetapnya kebaikan Tuhan di dalam sesuatu (tsubut al-khair al-ilahi fi syai’). Berkah adalah kenikmatan (al-nikmah) . Berkah adalah sesuatu yang dilakukan dan diyakini menghasilkan kebaikan (ziyadatul khair).
Atas nama keberkahan, memuliakan (al-khurumat) dan cinta (al-hubb) mereka datang dari seluruh pelosok Jawa dan luar Jawa tanpa menghiraukan keadaan cuaca, kemacetan lalu lintas, susahnya mendekati stadion, apalagi masuk di dalamnya dan terbatasnya fasilitas. Ulama, kiai, pejabat, publik figur tanpa mengeluh berdesak-desakan penuh peluh, berdiri berjam-jam, duduk di trotoar, di tengah jalan bersimpuh. Bahkan ada bupati yang tidur di pelataran rumah penduduk empat hari sebelum puncak resepsi, dalam kapasitasnya sebagai anggota Banser.
Memungut Sampah
Ada pula yang ngalap berkah dengan cara simpel, tanpa peluh, tanpa berdesak desakan, bahkan tanpa desahan nafas. Mereka cukup melambaikan tangan, bersedekap dan tersenyum sumringah melalui poster, banner, baliho dan media lainnya yang terpampang di sepanjang jalan. Mereka bagai artis atau pejabat publik yang sedang melakukan sosialisasi. Ada lagi yang ngalap berkah dengan cara yang langka ‘aneh’ (tanda kutip) dan ‘ekstrem’ (tanda kutip). Mereka tidak saja berkeringat, tapi melakukan aktivitas yang bisa bikin ‘boyok pegel’.
Saya melihat anak anak yang berseragam Pramuka dan ibu-ibu berseragam kaos lengan panjang, dengan tekun memungut lembaran plastik yang berserakan di jalan sebagai alas bagi jamaah, mengais botol minuman dan menjumput penuh tawadlu bekas bungkus makanan. Lalu mengangkutnya dengan kantong plastik besar di pinggir jalan. Mereka ikhlas tidak bisa melihat hingar bingar di dalam stadion Delta yang bertabur artis, pejabat elite, dan publik figur. Mereka rela tidak ikut larut dalam senandung sendu shalawat asyghil. Insyaallah mereka bangga bisa melakukan kegiatan itu demi mahabahnya kepada jamiyah yang diyakini memberikan berkah, karena didirikan para ulama dan auliya.
Saya teringat ungkapan bapak saya bahwa berkhidmah kepada NU tidak harus menjadi pengurus (basis struktural), tetapi cukup menjadi warga biasa (basis massa). Tidak harus memimpin, cukup menjadi yang dipimpin, karena belum tentu pahala yang menjadi pengurus, yang memimpin lebih besar dari yang dipimpin. Sebaliknya bisa jadi pahala yang dipimpin lebih besar dari pahala yang memimpin.
Mereka menamakan dirinya ‘pasukan semut’ khidmah yang sangat luar biasa di 1 Abad NU (Foto: ngopibareng.id)
Teringat ungkapan itu aku berfikir, para pemungut sampah yang berserakan itu pada hakekatnya adalah orang orang hebat, orang orang cerdas dan pemimpin bijaksana. Mereka mau mengambil hal-hal yang oleh orang lain dianggap tidak baik/remeh, tidak populer, yang tidak enak, sementara yang lain memilih cara yang enak, yang ringan, yang populer. Saya kagum kepada mereka dan hati saya tergerak mendoakannya seraya mendekat untuk menyapanya.
Berdasarkan informasi melalui berbagai media mainstream, jumlah sampai yang dihasilkan dari puncak resepsi tersebut mencapai 500 ton. Jumlah tersebut berhasil ditangani secara baik selama dua hari dengan melibatkan relawan dan tenaga organik kabupaten setempat. Jumlah yang sangat besar. Jika Allah memberikan satu pahala untuk setiap satu kilogram sampah, maka mereka yang memungutnya akan mendapatkan pahala 500. 000 kebaikan.
Misalkan, partai politik (parpol) ngalap berkahnya NU dengan cara menjadi tukang pungut sampahnya NU atau membentuk relawan pemungut sampah pada perhelatan akbar tersebut, setidaknya ada dua keberkahan yang didapatnya. Yaitu keberkahan duniawi dan keberkahan ukhrawi. Keberkahan duniawi antara lain berupa simpati dan kursi (legislatif). Jika satu kilogram sampah ‘pahalanya’ berupa satu dukungan suara (vote) dalam pemilihan legislatif, maka akan mendapatkan dukungan 500 ribu dukungan suara. Jika suara tersebut dikonversi menjadi kursi legislatif, maka dimungkinkan mendapatkan 5 kursi DPR/MPR, melalui mekanisme perebutan sisa suara per Dapil, 5 kursi DPRD propinsi dan lebih dari 10 kursi DPRD kabupaten/kota.
Keberkahan akhirat, berupa doa para kiai/ulama, menjadi santrinya Syekh Hasyim Asyari dan masuk surga bersamanya serta mendapatkan maghfirah Allah. Sepertinya kecerdasan pimpinan Parpol belum dipraktikkan, masih memilih pendekatan tradisional-konvensional yang pragmatis-transaksional. Padahal pendekatan tabarukan dengan cara memungut sampah bisa lebih maslahah dari pada menyoal relasi antara NU dengan parpol, antara aspek historis dengan dinamika yang terjadi sekarang ini.
NU itu seksi, selain besar jumlah anggota juga besar barakahnya. Pandai-pandai saja membaca kapan keberkahan NU bisa didapat. Wallahu a’lam bis shawab
Mufid Rahmat, mantan Ketua PW GP Ansor Jateng, aktivis NU dan penulis buku ‘Semua Akan NU Pada Waktunya’ (LKiS, 2021)
https://jateng.nu.or.id/opini/jika-saja-misalkan-parpol-mau-memungut-sampahnya-nu-Doeoi