Sahabat Abu Sufyan mengisahkan, ketika dirinya berada di Syam bersama rombongan perniagaannya, datanglah utusan dari Heraklius Kaisar Romawi memintanya menghadap Kaisar. Saat itu adalah ketika Rasulullah melakukan gencatan senjata atau perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy.
Kemudian Abu Sufyan dan rombongannya menghadap Kaisar yang saat itu berada di Iliya (Yerusalem). Kaisar mengundang mereka ke hadapannya, di sana juga hadir para pembesar kekaisaran Romawi. Kaisar juga menghadirkan penerjemahnya.
Kaisar bertanya, “Siapa di antara kalian yang nasabnya paling dekat dengan orang yang mengaku nabi ini?”
Abu Sufyan menjawab, “Aku yang paling dekat dengannya.”
Kaisar, “Dekatkan dia padaku, dan kawan-kawannya berada di belakangnya.”
Kaisar berkata pada penerjemahnya, “Katakan pada mereka (kawan-kawannya) bahwa aku hendak bertanya tentang nabi ini pada Abu Sufyan, jika dia berbohong maka katakan dia berbohong.”
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, andai aku tidak khawatir kelak aku dikisahkan bahwa aku berbohong, pastilah aku berbohong mengenai nabi. Pertama yang ditanyakan adalah. . .” Kaisar, “Bagaimana nasab dia (nabi) di tengah kalian?”
Abu Sufyan, “Nasabnya paling baik.”
Kaisar, “Adakah di antara kalian sebelumnya yang mengajak dengan ajakan nabi ini?”
Abu Sufyan, “Tidak ada.”
Kaisar, “Adakah leluhurnya yang menjadi raja?”
Abu Sufyan, “Tidak ada.”
Kaisar, “Pengikutnya apakah golongan terpandang ataukah golongan lemah?”
Abu Sufyan, “Pengikutnya golongan lemah.”
Kaisar, “Mereka bertambah atau berkurang?”
Abu Sufyan, “Mereka bertambah.”
Kaisar, “Adakah mereka yang keluar dari agama itu sebab membencinya?”
Abu Sufyan, “Tidak ada.”
Kaisar, “Apa kalian pernah mencurigainya berdusta sebelum dia mengajak ajarannya ini?”
Abu Sufyan, “Tidak.”
Kaisar, “Apakah dia berkhianat?”
Abu Sufyan, “Tidak, kami sedang di masa gencatan dan tidak tahu apa yang dia lakukan.” Hanya ini yang bisa aku katakan.
Kaisar, “Apakah kalian memeranginya?”
Abu Sufyan, “Iya.”
Kaisar, “Lalu bagaimana hasilnya?”
Abu Sufyan, “Peperangan antara kami dengannya bergantian, kadang dia menang kadang kami menang.”
Kaisar, “Apa yang dia perintahkan?”
Abu Sufyan, “Dia berkata, Sembahlah Allah jangan sekutukan dengan apa pun, tinggalkan ajaran buruk nenek moyang kalian. Dia memerintah kami melakukan salat, jujur, menjaga dari hal haram juga hal yang tidak pantas dan memerintah menyambung kerabat.”
Kaisar berkata pada penerjemahnya, “Katakan padanya, aku bertanya padamu tentang nasabnya? Jawabmu nasabnya paling baik, para rasul memang diutus dari nasab terbaik kaumnya.”
“Aku bertanya apakah di antara kalian sebelumnya ada yang mengajak dengan hal yang sama? Jawabmu tidak ada. Andai sebelumnya ada yang mengajak hal yang sama, maka aku katakan bahwa dia menirukan ajakan yang sama dengan sebelumnya.”
“Aku bertanya apakah leluhurnya ada yang jadi raja? Jawabmu tidak. Andai leluhurnya ada yang menjadi raja, maka aku katakan dia orang yang hendak mengembalikan kerajaan leluhurnya.”
“Aku bertanya apakah kalian pernah mencurigainya berdusta sebelum dia menyerukan seruannya? Jawabmu tidak. Aku mengerti bahwa dia bukan orang yang menghindari dusta tentang manusia lalu kemudian dia dusta tentang Allah.”
“Aku bertanya apakah pengikutnya golongan terpandang atau golongan lemah? Jawabmu para pengikutnya golongan lemah, memang mereka itu pengikut para rasul.”
“Aku bertanya apakah pengikutnya bertambah atau berkurang? Jawabmu mereka bertambah. Demikianlah perihal keimanan hingga sempurna.”
“Aku bertanya apa ada yang keluar agamanya sebab benci? Jawabmu tidak ada. Memang demikian ketika iman merasuk hati.”
“Aku bertanya apakah dia berkhianat? Jawabmu tidak. Memang para rasul tidak berkhianat.”
“Aku bertanya apa yang diperintahkannya? Jawabmu dia memerintah sembahlah Allah, jangan kalian sekutukan dengan apa pun, dan mencegah menyembah berhala. Dan memerintah salat, jujur, menjaga diri dari hal haram dan tidak pantas.”
“Jika jawabanmu adalah benar, maka dia kelak akan menguasai tempat kakiku ini berpijak. Aku telah mengetahui dia akan muncul, namun tidak aku duga dia dari golongan kalian. Andai aku tahu bisa menuju padanya, pasti aku berusaha keras bertemu dengannya. Andai aku di sisinya, akan aku basuh telapak kakinya.”
“Kemudian Kaisar meminta didatangkan surat yang dikirimkan nabi padanya yang dibawakan sahabat Dihyah melalui pembesar kota Busra. Kemudian Kaisar membacanya, di dalamnya tertulis:”
“Dengan menyebut nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba dan utusan Allah kepada Heraklius yang diagungkan Romawi. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sungguh aku menyerumu dengan seruan Islam. Masuklah Islam, engkau akan selamat, Allah akan memberimu pahala dua kali. Jika engkau berpaling maka sungguh engkau berdosa sebanyak dosa penduduk negaramu.”
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.’” (QS. Ali Imran: 64)
Abu Sufyan berkata, “Setelah Kaisar selesai bicara dan selesai membaca surat, gaduhlah suasana dan suara ribut. Kami dikeluarkan dan aku berkata pada kawan-kawanku, sungguh urusan nabi urusan serius. Raja Romawi pun takut padanya. Lantas aku yakin bahwa perihal nabi akan tampak sampai Allah memasukkan Islam padaku.
Penulis: Hafidz Alwi
Sumber: Sahih Bukhari hadis ketujuh berikut syarahnya; Fathul Bari Imam Ibnu Hajar dan komentar Syekh Mustofa al-Bugha.
https://jabar.nu.or.id/hikmah/ketika-kaisar-romawi-buktikan-kebenaran-rasulullah-saw-ZBfpn