Dengan uang kurang dari 2 juta rupiah sebulan, kira-kira apa yang bisa Anda lakukan di Jawa Barat?
Rasanya sulit. Uang 2 juta bukan hanya pas-pasan, tetapi lebih buruk daripada itu. Di Tasik saja, ngontrak rumah sangat sederhana di pinggir kota mencapai 1 juta rupiah per bulannya. Sisanya yang kurang dari 1 juta berarti untuk hidup sehari-hari.
Kondisi yang sama terjadi di Cianjur dan kota-kota lainnya di Jawa Barat.
Dalam hal ini Jawa Barat hanyalah contoh karena saya mengetahuinya secara baik. Saya tinggal di sini. Namun, kondisi serupa tidak jauh berbeda dengan propinsi lainnya.
Sementara itu, bagaimana bisa para pejabat negara, BUMN, dan tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dengan mereka terlihat hidup bermewah-mewahan? Apakah mereka bekerja lebih lama dan lebih berat dibanding para buruh itu? Atau mereka lebih pintar mengakali situasi sehingga bisa mencari celah untuk memperkaya diri sendiri?
Tidak sulit merasakan betapa ketimpangan itu begitu dekat dan nyata. Semuanya terlihat telanjang di media sosial lewat foto, video, kata-kata, dan narasi-narasi lainnya.Menjengkelkan.
Dalam situasi seperti ini, apa yang bisa dilakukan agama? Kemungkinan jawabannya dua:
Pertama, agama menyuruh para pemeluknya untuk bersabar, toleran, dan damai. Pokoknya bekerjalah secara giat, juga berdoa. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja; kalau tidak di dunia ya nanti di akhirat kelak. Serahkan semuanya kepada ulil amri, mereka bisa mengaturnya.
Kedua, agama menginspirasi pemeluknya untuk protes, melawan, dan bahkan perang. Lebih dari yang lain, agama adalah bensin yang bisa menyulut kemarahan secara cepat. Di masyarakat religius, perjuangan kelas yang terdengar asing itu bisa berjalan dengan menggunakan bahasa identitas, meski bisa juga terjatuh pada sektarianisme yang berbahaya.
Dua fungsi agama tersebut saling bersaing mempengaruhi pemikiran umat ketika mereka menghadapi ketimpangan atau perasaan tidak adil. Namun, secara umum fungsi yang pertama lebih powerfull, khususnya di Indonesia. Fungsi yang kedua akan segera dituduh sebagai politik identitas yang merusak integrasi bangsa.
Tetap semangat, meski hidup begini-begini saja.
Amin Mudzakir, salah seorang Peneliti BRIN