Sumenep, NU Online Jatim
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Hakim Mahfudz menjelaskan ulang tentang sejarah Hari Santri dan difatwakannya Resolusi Jihad. Karena masih ada sebagian warga, termasuk seorang perwira yang bertanya tentang peringatan tersebut yang tiap tahun disemarakkan pada bulan Oktober. Padahal momentum tersebut untuk mengenang dan meneladani santri yang berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Dirinya menceritakan, saat membuka catatan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari di Tebuireng, peristiwa besar yang diperingati pada bulan Oktober, banyak para masyayikh berjihad mempertahankan kemerdekaan. Bahkan dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah disebutkan bahwa sekitar tahun 1912 banyak aliran masuk ke Indonesia dengan membawa pemikiran baru yang membuat umat Islam bingung.
“Mbah Hasyim memuji pemikiran modernisasi, tapi tidak sependapat untuk meninggalkan madzhab. Pada tahun 1912 banyak sekali pertentangan dan perdebatan organisasi yang membawa pemikiran yang berbeda-beda. Para masyayikh di Indonesia berusaha menjaga agar tidak ada perpecahan antar umat Islam. Kendati sebelumnya berpaham Islam Aswaja,” ujarnya saat mengisi ceramah kesantrian di acara Puncak Hari Santri 2023 yang ditayangkan TVNU Sumenep diakses NU Online Jatim, Sabtu (04/11/2023).
Untuk mengembalikan pada semula sangat sulit. Di saat Raja Arab Saudi ingin meluluhlantahkan makam baginda Nabi Muhammad SAW, seorang santri menjadi delegasi Komite Hijaz. Di sanalah seluruh masyayikh sepakat mendirikan NU pada 31 Januari 1926 yang menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyelamatkan Islam Aswaja.
“Organisasi yang awalnya bertentangan, saat itu mengangguk. Pada tahun 1935-1937 semua organisasi menyatu di bawah Federasi Majelis Islam Indonesia. Pada tahun 1938 semua umat Islam menyatu. Di masa Jepang, tahun 1943 pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Masyumi yang notabenenya orang-orang NU,” terangnya.
Atas rahmat Allah SWT, Jepang mengaku kalah pada tahun 1945. Pada saat itu Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tak lama kemudian, Inggris dan Belanda masuk ke Indonesia dalam waktu yang singkat. Pada tanggal 11 September 1945, Mbah Hasyim menyerukan fatwa jihad pertama. Isi dari fatwa tersebut adalah hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan adalah fardhu ‘ain bagi umat Islam, baik kaya ataupun miskin.
Tak hanya itu, isi dari fatwa itu juga menyatakan, hukum yang meninggal saat melawan Belanda dan komplotannya adalah mati syahid. Sedangkan hukum orang yang memecahkan persatuan bangsa adalah wajib di bunuh. Jadi, fatwa tersebut mendorong kepada semua orang Islam agar ikut andil dalam berjihad.
Saat Inggris dan Belanda berhasil masuk ke Surabaya, menjadi ancaman yang serius. Saat itu PBNU mengadakan rapat bersama seluruh konsulat dari Jawa dan Madura. Dari sanalah muncul fatwa Resolusi Jihad yang ditujukan kepada pemerintah.
“Kendati memiliki alat perang seadanya. Arek-arek Suroboyo menolak. Tanpa dipungkiri juga, santri di pesantren pernah dilatih oleh Jepang untuk memiliki milisi yang dikenal dengan pasukan hizbullah dan sabilillah. Pasukan inilah yang banyak berperan menghadang pasukan musuh,” ungkapnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng ini menyatakan, ultimatum yang dikeluarkan pihak musuh disambut gegap gempita oleh santri. Pada tanggal 10 November, terjadilah pertempuran besar setelah Mbah Hasyim menyerukan fatwa Resolusi Jihad kedua. Isinya adalah berperang melawan penjajah hukumnya fardhu ‘ain bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu menjadi fardhu kifayah.
Hal yang unik dan di luar nalar manusia, pesawat terpur Inggris jatuh tumbang satu persatu, termasuk tewasnya Jenderal Mallaby. Sebagaimana cerita yang masyhur, pasukan Hizbullah dan Sabillah menjadi tulang punggung peperangan.
https://jatim.nu.or.id/madura/ketua-pbnu-jelaskan-sejarah-hari-santri-dan-fatwa-resolusi-jihad-9rK08