Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas ibn Muhammad ibn Al-Mukhtar At-Tijani. Ia lahir di ‘Ain Madi bagian selatan Aljazair pada 1150 H/1737 M. Ayahnya, Muhammad ibn Mukhtar, dikenal alim dan saleh. Ia wafat karena terjangkit penyakit menular (tha’un), ketika At-Tijani berusia 16 tahun. Ibunya, Sayyidah Aisyah binti Abdullah As-Sanusi, seorang wanita berkulit hitam dari suku Tijani. Oleh karena itu, ia disebut At-Tijani. At-Tijani dikatakan sebagai keturunan ke-21 Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Tijaniyah di Indonesia pada mulanya hanya terdapat di Pulau Jawa. Persebaran awalnya, tarekat ini dibawa ke Indonesia pada 1923 M oleh Kiai Anas ibn Kiai Abdul Jamil (1883-1945 M) dari Buntet, Cirebon, Jawa Barat.
Kiai Anas terlahir dengan nama Muhammad Anas. Ibunya bernama Nyai Qori’ah dan ayahnya bernama Kiai Abdul Jamil. Ia adalah putra kedua dari empat bersaudara yang dilahirkan pada tahun 1883 M di Desa Pekalangan Cirebon. Kakaknya bernama KH. Abbas dan kedua adiknya bernama KH. Ilyas dan KH. Akyas. Keempat kakak adik ini sejak usia muda sudah memimpin pesantren secara estafet dari para pemimpin sebelumnya. Ayahnya, KH. Abdul Jamil adalah putra KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri pesantren Buntet, Kiai Muqayyim.
Dalam catatan literatur pustaka, biografi Kiai Anas digambarkan dengan sangat singkat. Tidak banyak informasi yang ditemukan tentang Kiai Anas. Sumber Itupun tidak dilengkapi dengan data tertulis maupun gambar (foto) diri sang ulama. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan.
Pertama, semua data yang tersimpan dibakar habis oleh Belanda pada tahun 1947. Kedua, kehidupan pribadinya yang menempuh kehidupan sufi sehingga unsur-unsur formalitas budaya manusia pada umumnya dijauhi.
Dalam jurnal Aah Syafaah (2012) menyebutkan bahwa ia adalah salah seorang wali Allah dan memiliki kekeramatan. Satu di antaranya adalah pada saat penggalian kubur di samping kuburan Kiai Anas, didapati sorbannya masih utuh setelah 25 tahun beliau dimakamkan.
Sedangkan menurut penuturan Pijper yang menjumpainya pada Tahun 1927 dan saat itu Kiai Anas berusia 44 tahun, Kiai Anas adalah seorang Kiai yang masih muda, bertubuh kecil dengan raut muka tajam tetapi agak pucat. Lebih jauh dikatakan bahwa Kiai Anas adalah pribadi yang sederhana, rendah hati, wibawa, ulet, tekun dan tidak menampakkan kekerasan dalam setiap tindakannya serta selalu berpandangan jauh ke depan.
Kiai Anas menempuh jenjang pendidikan kepesantrenannya setelah terlebih dahulu dibekali dasar agama yang cukup oleh ayahnya sendiri, KH. Abdul Jamil. Pendidikan pesantrennya dimulai di pesantren Sukanasari Plered Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha selama empat tahun. Kemudian ia pindah ke pesantren di Tegal di bawah asuhan Kiai Sa’id. Setelah itu, ia pindah ke pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), tokoh kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Pengenalan Kiai Anas terhadap Tarekat Tijaniyah, dilakukannya pada saat ia menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1924. Kepergiannya ini menuruti anjuran kakaknya, Kiai Abbas, yang terlebih dahulu berjumpa dengan Syekh Ali tetapi tidak mengambil baiat Tarekat Tijaniyah tersebut meskipun sudah menyenangi tarekat ini. Hal yang disebabkan tanggung jawabnya sebagai mursyid Tarekat Syattariyah di Pesantrennya.
Atas perintah Kiai Abbas, pada 1924. Kiai Anas pergi ke Tanah Suci untuk mengambil talqin Tarekat Tijaniyah dan bermukim di sana selama tiga tahun. Pada bulan Muharram 1346 H/Juli 1927 M, Kiai Anas pulang kembali ke Cirebon. Kemudian, pada Bulan Rajab 1346H/Desember 1927, atas izin Kiai Abbas kakaknya, Kiai Anas menjadi guru Tarekat Tijaniyah.
Kiai Anas inilah yang membawa, merintis dan memperkenalkan pertama kali Tarekat Tijaniyah di Cirebon. Ia mengajarkan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Tanah Suci, terutama kitab-kitab pegangan pokok Tijaniyah, seperti kitab Jawâhir al-Ma’âni, Bugyah al-Mustafid, dan Munyah al-Murid. Kiai Anas mengambil talqin dari Syekh Alfa Hasyim di Madinah.
Dalam Tarekat Tijaniyah dikenal istilah muqaddam min muqaddam artinya seorang ikhwan Tijaniyah bisa melakukan bai’at lebih dari sekali kepada muqaddam lainnya dengan alasan ketakwaan, senioritas usia, ataupun disiplin ilmu yang dimiliki muqaddam senior tersebut. Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa Kiai Anas melakukan bai’at tarekatnya dua kali yaitu dari Syekh Alfa Hasyim di Madinah dan dari dari Syekh Ali al-Thayyib, murid dari Syekh Alfa Hasyim ketika ia datang ke Indonesia tahun 1937.
Langkah pertama yang dilakukan Kiai Anas setelah kepulangannya dari Makkah adalah menyebarkan ajaran Tarekat Tijaniyah di lingkungan Buntet, Cirebon, Jawa Barat, sehingga pada akhirnya berkembanglah dua tarekat secara bersamaan; Tarekat Syathariyah dipimpin oleh Kiai Abbas dan Tarekat Tijaniyah oleh Kiai Anas.
Sementara kedua tarekat itu terus berkembang, tiba pula saat yang tepat bagi Kiai Abbas, kakaknya Kiai Anas untuk mengambil bai’at Tarekat Tijaniyah bukan dari adiknya, melainkan dari Syekh Ali At-Thayyib sendiri sewaktu Syekh Ali berkunjung ke Bogor pada tahun 1937.
Sementara jalur sanad Tarekat Tijaniyah Syekh Ali at-Thayyib ialah, Syekh Ali menerima dari Syekh Muhammad Alfa Hasyim, dari Syekh Al-Haj Sa’id, dari Syekh Umar ibn Sa’id (al-Futi), dari Muhammad Al-Ghali, dari Syekh Ahmad At-Tijani.
Keberadaan tarekat ini mendapat sambutan baik, sehingga pengikutnya bukan saja dari Cirebon, Jawa Barat, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa ulama diangkat muqaddam oleh Kiai Anas, seperti adiknya sendiri, Kiai Akyas dan adik iparnya, Kiai Hawi, Kiai Murtadha, Kiai Abdul Khair (Buntet, Cirebon), Kiai Muhammad Shalih (Pesawahan, Cirebon), Kiai Bakri (Kesepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad Rais (Cirebon), Kiai Ismail Badruzzaman (Garut, Jawa Barat), Kiai Muhammad (Brebes, Jawa Tengah), Kiai Sya’rani dan Syekh Ali Basalamah (Jati Barang, Brebes), Kiai Jauhari (Prenduan Sumenep, Jawa Timur) dan Kiai Khazin (Banyuanyar, Probolinggo).
Pesantren Buntet, Cirebon, tetap menjadi pusat penyebaran Tijaniyah di Jawa. Setelah generasi pertama muqaddam tarekat ini meninggal dunia yaitu Kiai Anas, Kiai Abbas dan Kiai Akyas dan Kiai Hawi, maka dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Kiai Hawi telah mengangkat sekurang-kurangnya tujuh muqaddam, yaitu putranya sendiri, Kiai Fahim Hawi (Buntet), Kiai Junaid ibn Kiai Anas (Sidamulya, Cirebon), KH Abdullah Syifa (Buntet), Kiai Muhammad Yusuf (Surabaya), Kiai Muhammad Basalamah (Brebes), Kiai Baidhawi (Sumenep) dan Kiai Rasyid (Pesawahan, Cirebon), dan Ny. Hamnah (Kuningan). Muqaddam terakhir ini membentuk kelompok Tijaniyah dari kalangan wanita di Kecamatan Lebakwangi, Kuningan, Jawa Barat pada 1988 M, kemudian dilanjutkan oleh Ny. Hanifah, pengganti Ny. Hamnah.
Sumber:
Ahmad Asmuni, Hajam. (2022) Tarekat Tijaniyah Di Pesantren Buntet: Melacak Genealogi dan Polarisasinya, Kota Cirebon: Nurjati Press
Hasan, H.Ahmad Zaini. (2014). Perlawanan Dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet, Dan Bela Negara. Lkis Pelangi Aksara.
Masyhuri, A. Aziz. (2014) Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz.
Saepudin, Saepudin. (2018). Dinamika Pemahaman “Al-Khasaiṣ” Dalam Ajaran Tarekat
Tijaniyah: Studi Pemahaman Mursyid Di Daerah Cirebon. Uin Walisongo.
Syafaah, Aah. (2012). Peran Kh. Anas Sebagai Muqoddam Tijaniyah Dalam Aspek Politik, Sosioekonomi Dan Keagamaan Di Pesantren Al-Ishlah Sidamulya Astana Japura Cirebon (1883-1947). Holistik, 13(2).
Penulis: Khumaedi NZ (PC MATAN Cirebon)