KH Badri Mashduqi, Kiai Cerdas Hafal Nadham Alfiyah dalam 25 Hari

Oleh: Alfan Jamil *)

 

KH Badri Mashduqi selaku pendiri Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan, Probolinggo adalah seorang ulama kharismatik yang dikagumi oleh banyak orang. Ia juga salah satu tokoh NU yang alim dan menguasai ilmu fikih, utamanya fikih mazhab asy-Syafi’i. Sewaktu nyantri dan belajar di beberapa pesantren, sosok Badri Mashduqi memang sudah dikenal cerdas, rajin puasa, dan aktif dalam forum diskusi.

 

Beberapa Pesantren yang pernah ia jelajahi yaitu Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo (1950), Pondok Pesantren Bata-Bata Pamekasan (1956), Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan (1959), dan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo (1965).

 

Ketika menuntut ilmu di Pesantren Bata-Bata, Kiai Badri sering berpuasa dan mampu menghafal nadham Alfiyah Ibnu Malik yang berjumlah 1002 bait dalam waktu yang amat cepat. KH Hasan Abdul Wafi, penganggit shalawat an-Nahdliyyah yang masih terbilang paman dari Kiai Badri, juga mengafirmasi perihal tersebut. Kiai Hasan Abdul Wafi pernah menuturkan dengan bahasa Madura: “Badri ngapallagi Alfiyah, saebu bait, bektonah saghemi’ are, seddheng sengko’ pa’polo are.” Yang artinya; Badri menghafal Alfiyah 1000 bait dalam 25 hari, sedangkan saya dalam 40 hari.

 

Ketika Makan pun Baca Kitab

Selepas nyantri di Sidogiri pada tahun 1959, Kiai Badri muda melanjutkan studinya ke Pesantren Nurul Jadid Paiton. Terhitung mulai tahun 1959 sampai tahun 1965 ia menimba ilmu di bawah asuhan dan didikan KH Zaini Mun’im dan KH Hasan Abdul Wafi. Di Pesantren Nurul Jadid semua santri bisa memilih dan mempelajari beragam bidang keilmuan dan keahlian.

 

Keragaman inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Kiai Badri saat itu. Tidak hanya menambah kematangan dalam bidang ilmu agama saja tetapi beliau juga mengeksplor seluruh potensinya di Pesantren Nurul Jadid. Ia banyak menimba pengalaman baik sebagai guru, aktivis dakwah, maupun sebagai organisatoris. Banyak hal yang diperolehnya di Pesantren Nurul Jadid, tentu dengan proses yang tidak amat singkat.

 

Selain itu, Kiai Badri merupakan sosok yang sangat gemar membaca. Ia sering mengunci diri dalam kamarnya, bukan untuk main-main, tetapi untuk menjejerkan kitab-kitab, buku, majalah, dan koran di hadapannya, seakan di dalam kamarnya ada seorang guru yang tengah mengajarnya.

 

Santri-santri lain sering dibuat heran oleh laku Kiai Badri kala itu. Menurut salah satu teman akrabnya, yang bernama Mudawwir, Kiai Badri tidak pernah lepas dari bacaan, entah berupa kitab, buku, koran, dan majalah.

 

“Badri hanya pada waktu tidur dan mandi saja yang tidak baca buku, kitab, dan majalah. Waktu makan pun dia membaca. Orangnya memang sedang makan, namun pada saat yang sama ia juga sedang membaca bacaan. Saya sendiri mengaji Jurumiyah, dan Al-Kailani kepada Badri Mashduqi,” kata Mudawwir.

 

Singa Podium dan Bahtsul Masail

Di usianya yang cukup muda, Kiai Badri sudah dijuluki sebagai singa podium. Kepandaiannya dalam mengolah kata untuk disampaikan kepada khalayak menjadikannya sosok tersohor. Bagi warga NU wilayah Madura, Probolinggo, Jember, Bondowoso, dan Situbondo, nama Kiai Badri Mashduqi sudah tidak asing lagi. Ia kerap kali menghadiri acara-acara ke-NU-an dan tampil sebagai tokoh NU yang kharismatik.

 

Salah satu karakter yang ia miliki adalah keberanian dalam berpendapat, membela kebenaran, dan memperjuangkan syari’at Islam. Ternyata keberaniannya juga sering muncul dalam forum-forum diskusi ilmiah dan bahtsul masail. Kiai Badri berani berbeda pendapat dengan orang lain bahkan dengan kiai yang lebih sepuh demi mencari kebenaran yang hakiki.

 

Dalam pandangan Kiai Husein Muhammad —Intelektual NU yang akrab disapa Buya Husein— Kiai Badri adalah sosok yang memiliki gairah keilmuan sangat tinggi. Buya Husein mengaku sering berbeda pendapat dengan Kiai Badri, bahkan pendapatnya sering ditentang oleh Kiai Badri. Walaupun begitu, hubungan di antara keduanya tetap terjalin dengan baik dan penuh kehangatan. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa perbedaan pendapat itu sangat wajar dan tidak identik dengan permusuhan.

 

Sebagai penutup, menurut hemat penulis, generasi saat ini penting untuk banyak membaca biografi para ulama, kiai, dan tokoh-tokoh terkemuka baik dari sisi perjuangan, kegigihan mereka dalam pengembaraan keilmuan, maupun akhlaknya. Kalau bukan kita sebagai generasi muda, siapa yang akan meneladani dan meneruskan perjuangan mereka. Wallahu a’lam bis shawab.

 

*) Alfan Jamil, dosen Kajian Fikih Ulama Nusantara di Ma’had Aly Nurul Jadid Probolinggo dan pengajar di Pesantren Darul Lughah Wal Karomah Kraksaan.


https://jatim.nu.or.id/tokoh/kh-badri-mashduqi-kiai-cerdas-hafal-nadham-alfiyah-dalam-25-hari-hOGvZ

Author: Zant